Menuju konten utama

Negara yang Keranjingan Sensor

Rokok di-blur, dada wanita di-blur. Ada peran Lembaga Sensor Film di sana yang menentukan tayangan mana yang boleh dan yang tidak boleh ditonton oleh ratusan juta orang Indonesia. Nama lembaga boleh ganti, tapi kekuasaannya tidak.

Negara yang Keranjingan Sensor
PPFI berharap adanya judicial review atas Undang-Undang (UU) No 33 tahun 2009 tentang Perfilman, demi mendukung keberadaan iklim perfilman yang sehat. Warkop DKI Reborn bisa menembus 6,8 juta penonton. Hal ini terjadi karena adanya sinergi yang baik dari pemilik jaringan bioskop dengan perusahaan film. [Gambar/Falcon Pictures]

tirto.id - Rabu, 30 April 2008, serombongan pria mengenakan jubah putih bertempik sorak di ruang sidang Mahkamah Konstitusi. "Allah Maha Besar! Allah Maha Besar!" teriak mereka menyambut amar majelis hakim.

Permohonan uji materi atas UU No. 8 tahun 1992 tentang perfilman yang diajukan sejumlah sineas Indonesia telah ditolak. Pria-pria yang mengaku bagian dari Front Pembela Islam itu bergembira karena undang-undang tersebut, tepatnya aturan-aturan tentang sensor film, tetap berlaku.

Namun, meski sah, majelis hakim mendesak agar undang-undang itu segera diganti dengan yang baru, yang "lebih sesuai dengan semangat zaman dan sejalan dengan demokratisasi serta penghormatan terhadap hak asasi manusia.”

Satu setengah tahun kemudian, Dewan Perwakilan Rakyat mengesahkan undang-undang perfilman yang baru, UU No. 33 tahun 2009, dilengkapi keterangan tentang penyesuaian dengan semangat zaman di bagian pendahuluan.

Tentang sensor, UU No. 8 tahun 1992 pasal 33 ayat 2 menyatakan, “Penyensoran dapat mengakibatkan sebuah film: diluluskan sepenuhnya, dipotong pada bagian gambar tertentu, dihapus pada bagian suara tertentu, atau ditolak seluruhnya.” Dengan kata lain, aturan itu memungkinkan film diperlakukan seperti mentimun.

Dan UU No. 33 tahun 2009 menggunting otoritas keblinger tersebut. Pasal 60 ayat 2 mengharuskan sensor dikerjakan berdasar dialog dengan para pembuat film, dan ayat berikutnya mengubah wujud penyensoran, dari “pemotongan” dan “penghapusan” menjadi “pengembalian” film kepada pembuatnya. Namun, bila pengembalian dirasa tak memadai, lembaga sensor berhak mengusulkan supaya pemerintah menjatuhkan sanksi administratif kepada pihak pembuat film.

Siapa pun yang tak sudi mengalami “pengembalian” dan/atau “sanksi administratif”, hendaknya mematuhi enam perintah berikut: jangan membuat film yang 1) mendorong khalayak supaya melakukan kekerasan, perjudian, dan penyalahgunaan narkoba; 2) menonjolkan pornografi; 3) memicu konflik horisontal; 4) menistakan nilai-nilai agama; 5) mengajak khalayak melawan hukum; dan 6) merendahkan harkat dan martabat manusia.

Infografik UU Perfilman dan Masalah Sensor

Itu berarti, sekalipun menjadikan proses sensor lebih beradab, UU No. 33 tahun 2009 tidak mempersempit cakupan jerat. Dan yang paling mengerikan, pasal 80 menyatakan ancaman pidana bagi orang-orang yang “dengan sengaja mengedarkan, menyewakan, atau mempertunjukkan kepada khalayak” film-film yang tidak lulus sensor.

Beleid sensor di atas tidak tiba-tiba diketok palu. Seabad yang lalu, pemerintah Hindia Belanda menetapkan Ordonansi Film, Staatblad Van Nederland Indie No. 276. Itulah peristiwa yang menandai awal penerapan sensor di Indonesia.

Seperti Ahasveros, lembaga itu bertahan meski waktu jalan dan kekuasaan terus berganti. Pada 1946 hingga 1994, ia memakai nama Badan Sensor Film. Kemudian, mengikuti Peraturan Pemerintah (PP) No. 7 tahun 1994, ia menjelma jadi Lembaga Sensor Film (LSF).

Sekalipun Undang-undang Perfilman diperbarui dan PP No. 18 tahun 2014 sudah menggantikan PP No. 7 tahun 1994, rupanya keadaan tak banyak berubah. LSF tetap saja mengusung semangat paranoid Orde Baru. Dalam pasal 7 dan bagian penjelasan PP No. 18 tahun 2014, tercantum tugas LSF sebagai “pelindung masyarakat dari pengaruh negatif film.”

“Walau tidak boleh membatasi kreativitas, tetap saja film itu tidak bebas nilai," ujar Menteri Pendidikan Muhadjir Effendy pada peringatan 100 tahun sensor film Indonesia, Sabtu lalu. Maka, menurutnya, sensor film oleh negara melalui LSF tetap diperlukan.

Tentu saja di dunia ini tidak ada yang bebas nilai. Persoalannya, apa yang membuat alat negara berhak mengatur nilai-nilai yang patut dan tidak patut diyakini oleh masyarakat? Atau, jika merujuk pernyataan Muhadjir Effendy, pertanyaannya bisa disodorkan balik: memangnya kebijakan sensor negara bebas nilai?

Baca juga artikel terkait SENSOR atau tulisan lainnya dari Dea Anugrah

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Dea Anugrah
Penulis: Dea Anugrah
Editor: Zen RS