Menuju konten utama

Negara Berpenghasilan Menengah Rentan Konflik, Indonesia?

Kendati secara umum jumlah konflik dengan kekerasan sudah menurun di seluruh dunia, namun beberapa indikator potensi konflik patut diwaspadai. Bagaimana dengan kondisi di Indonesia?

Negara Berpenghasilan Menengah Rentan Konflik, Indonesia?
Pengunjuk rasa memblokir jalanan dengan membakar ban setelah Riyal Yaman terpuruk atas mata uang asing, di Aden, Yaman, Minggu (2/9/2018). ANTARA FOTO/REUTERS/Fawaz Salman

tirto.id - Si vis pacem para bellum. Jika Anda menginginkan perdamaian bersiaplah untuk berperang. Jargon yang telah melekat lama pada sejarah panjang peradaban manusia itu boleh jadi benar. Pasalnya, dunia saat ini jauh lebih damai selepas rampungnya Perang Dunia I dan II karena sejumlah faktor.

Berdasarkan analisis The Economist terhadap semua perang internasional dan sipil sejak 1900 hingga 2017, tercatat bahwa kurang dari satu dari 100.000 orang meninggal dunia dalam konflik bersenjata sejak tahun 2000.

Jumlah itu seperenam dari jumlah korban meninggal dunia pada periode 1950-2000 dan seperlimapuluh dari jumlah korban meninggal dunia pada periode 1900-1950.

Senjata nuklir disinyalir sebagai salah satu faktor yang memengaruhi turunnya jumlah konflik bersenjata atau perang di seluruh dunia. Tidak bisa dipungkiri, selain menutup tirai Perang Dunia II, bom atom yang dijatuhkan di Kota Hiroshima dan Nagasaki, Jepang, sekaligus memaksa negara-negara di seluruh dunia lebih berhati-hati untuk memulai konflik bersenjata.

Namun, perlu dicatat pula bahwa jumlah konflik bersenjata ternyata juga menurun pada negara-negara yang tidak memiliki teknologi persenjataan nuklir. Masih dari analisa The Economist, situasi ini mungkin menunjukkan pengaruh positif dari persebaran sistem demokrasi serta norma-norma global, yang salah satunya terwujud melalui terbentuknya Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Yang menarik, ketika dibandingkan dengan kekayaan dan tingkat demokrasi yang juga dikumpulkan The Economist, data menunjukkan adanya korelasi kuat antara demokrasi dengan perdamaian, kendati ada beberapa perkecualian (termasuk perang sipil di Amerika Serikat).

Negara-negara yang paling rentan perang rupanya bukan yang memiliki sistem otokrasi ataupun demokrasi penuh, melainkan yang berada di tengah-tegah spektrum kedua kutub tersebut. Temuan serupa berlaku pula dalam hal kemakmuran. Negara-negara berpenghasilan menengah lebih rentan perang daripada yang sangat miskin atau kaya.

Negara-negara dengan Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita sebesar 4.000 dolar AS hingga 8.000 dolar AS menjadi negara yang mengalami periode konflik bersenjata terlama sebanyak 12 persen waktu dari rentang 1900-2017. Contohnya adalah Britania Raya (1914), Rusia (1941), Iran (1980), dan Suriah (2011).

Sementara banyak negara yang mengadopsi sistem demokrasi terperangkap dalam konflik dengan kekerasan sebanyak 18 persen waktu dari periode yang sama, misalnya Jerman (1914), Jepang (1941), dan Yaman (2015).

Sosio-Ekonomi, Demokrasi, dan Politik

Dalam buku berjudul Economics of War and Peace: Economic, Legal, and Political Perspective (2010), pakar isu perang dan perdamaian dari Australian National University (ANU) Benjamin E. Goldsmith menyatakan faktor ekonomi berperan besar menentukan perang dan perdamaian.

Namun, lanjutnya, faktor ini tersaring norma-norma dan institusi yang merupakan produk dari kebijakan yang lahir dari proses politik. Bagi Goldsmith, politik adalah faktor penentu utama konflik bersenjata, sementara ekonomi adalah menjadi faktor penyerta.

Terkait hal tersebut, ia mengutip tulisan Leanne Piggott berjudul “Terrorism and Violent Internal Conflict in Post-Soeharto Indonesia: Beyond the Jihadi Prism of Analysis” (2010) dalam buku yang sama yang menunjukkan bahwa ekonomi bukan faktor pendorong utama konflik di Aceh.

Faktor pendorong utama justru ideologi serta kapasitas pengorganisasian kelompok-kelompok yang terlibat dalam konflik dan memang ingin merubah status quo di Aceh kala itu. Faktor utama inilah, lanjutnya Piggott, yang kemudian memengaruhi faktor ekonomi dalam konflik di Aceh.

Piggott, seorang Associate Professor di Center for Social Impact, memang menulis bahwa Gerakan Aceh Merdeka (GAM) menggunakan faktor ekonomi—dalam hal ini terkait dengan eksploitasi dan pengelolaan sumber daya alam yang tidak adil—sebagai salah satu ‘alat’ legitimasi dari tindakan mereka.

Infografik Negara yang rentan perang

Bagaimana Indonesia?

Masih dari The Economist, meski tidak menyebut secara rinci, sejumlah studi menemukan bahwa perang sipil lebih lumrah terjadi ketika perubahan mendadak terjadi pada rezim sehingga menciptakan situasi yang tak stabil.

Ini tampaknya juga berlaku di Indonesia. Jika menilik sejarah, konflik dengan kekerasan yang menelan korban masif memang memuncak di tengah dan setelah pergantian rezim baik Sukarno maupun Soeharto. Tragedi 1965 dan 1998, serta konflik yang melibatkan gerakan separatis seperti GAM adalah beberapa contohnya.

Di sisi lain, meski masih dikategorikan sebagai negara berkembang, perekonomian Indonesia sendiri saat ini boleh dibilang cukup kuat secara fundamental. Menurut data dari World Bank, PDB per kapita Indonesia pada 2017 adalah 3.846,9 dolar AS dan trennya masih terus bergerak ke arah yang positif dengan pertumbuhan rata-rata sekitar 4 persen setiap tahun.

Kendati demikian, Yenny Tjoe, pengajar di Departemen Ekonomi Internasional di Griffith University menyatakan bahwa Indonesia masih memiliki problem akut pada isu ketimpangan ekonomi.

Indeks Gini Indonesia, tulisnya di The Conversation, meningkat dari 30,0 pada sekitar 1990-an menjadi 39,0 pada 2017 menurut perkiraan World Bank. Data Badan Pusat Statistik (BPS) juga menunjukkan hal serupa, dari 32,0 pada tahun 1990 menjadi 39 pada 2017.

Jika menilik pada temuan The Economist terkait GDP, maka Indonesia mungkin akan memasuki masa-masa rentan konflik. Terlebih disparitas ekonomi masih cukup terasa. Namun, melihat temuan Goldsmith, perhatian perlu lebih difokuskan pada kondisi politik hari ini.

Setelah 20 tahun mempraktikkan demokrasi, Indonesia mengalami tren konservatisme hari ini. Lebih lanjut, Verdi R. Hardiz dari Asia Institute di University of Melbourne dalam tulisannya yang berjudul “Imagine All the People? Mobilising Islamic Populism for Right-Wing Politics in Indonesia” (2018) menuliskan bahwa Indonesia saat ini tengah berada pada jalur demokrasi yang tidak liberal, situasi di mana sistem elektoral berjalan namun hak-hak sosial terpinggirkan.

Ia menegaskan, bahaya dari kondisi ini adalah lazimnya serangan-serangan terhadap hak-hak perempuan dan kelompok-kelompok minoritas di Indonesia. Sebagai catatan, politik sayap kanan di Indonesia memang kerap diasosiasikan dengan ide-ide populisme Islam.

Indonesia memang tengah berada dalam periode penting yang rentan konflik. Namun, apakah konflik tersebut akan bertransformasi menjadi konflik dengan kekerasan atau bersenjata? Dalam hal ini, tidak ada jawaban pasti.

Baca juga artikel terkait KONFLIK atau tulisan lainnya dari Ign. L. Adhi Bhaskara

tirto.id - Ekonomi
Penulis: Ign. L. Adhi Bhaskara
Editor: Windu Jusuf