Menuju konten utama
Pandemi COVID-19

Negara ASEAN Ramai-Ramai Turunkan Harga BBM, Kok Indonesia Belum?

Sejumlah negara ASEAN telah menurunkan harga BBM, tapi Menteri ESDM Arifin Tasrif berdalih bagi Indonesia tak mudah dilakukan karena harga minyak dunia masih bakal bergejolak hingga Juni 2020.

Negara ASEAN Ramai-Ramai Turunkan Harga BBM, Kok Indonesia Belum?
Petugas SPBU menunggu konsumen di SPBU COCO Pertamina, Kuningan, Jakarta, Rabu (29/4/2020). ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/aww.

tirto.id - Indonesia menjadi satu-satunya negara di ASEAN yang belum banyak mengutak-atik harga bahan bakar minyak (BBM) di tengah anjloknya harga minyak dunia dan pandemi Corona atau COVID-19.

Sampai Senin (4/5/2020) keputusan Kementerian ESDM tetap sama: harga BBM tidak akan turun meski Presiden Joko Widodo pada 18 Maret 2020 sempat menyinggung agar mengkaji penurunan harga.

Mengutip data Global Petrol Prices, harga bensin RON 95 Indonesia hanya turun per 3 Februari 2020 dari 0,67 dolar AS per liter menjadi 0,65 dolar AS per liter. Sementara itu, negara seperti Singapura sudah menyesuaikan harga bensin 6 kali sejak 3 Februari 2020. Dari 1,54 dolar AS per liter sampai tinggal 1,40 dolar AS per liter.

Vietnam per 3 Februari 2020 memiliki harga di kisaran 0,87 dolar AS per liter, tetapi per 27 April 2020, usai 7 kali turun harganya sudah menyalip Indonesia di kisaran 0,51 dolar AS per liter.

Myanmar yang tren harganya mirip Indonesia dengan kisaran 0,64 dolar AS per liter per 3 Februari 2020 sudah menurunkan 7 kali. Harga terakhir berada di angka 0,37 dolar AS per liter pada 27 April 2020.

Tren serupa pun masih diikuti oleh Filipina, Thailand, Malaysia, dan Kamboja yang juga sudah beberapa kali menurunkan harga dari posisi 3 Februari 2020 dengan kisaran 0,2 hingga 0,3 dolar AS per liter.

Anggota Komisi VII DPR RI dari Fraksi PKS Mulyanto pun mempertanyakan langkah pemerintah mempertahankan harga jual BBM. Menurutnya penurunan harga BBM sebanyak dua kali yang dilakukan selama Januari-Februari 2020 seharusnya berlanjut karena harga minyak dunia terus turun hingga akhir April 2020.

“Sudah sepantasnya Indonesia menurunkan harga BBM untuk yang ketiga kalinya. Permintaan ini sangat wajar dan objektif karena negara lain di ASEAN sudah melakukan penyesuaian harga,” ucap Mulyanto dalam rapat dengar pendapat Komisi VII DPR RI, Senin (4/5/2020).

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif mengatakan penurunan harga BBM saat ini tidak mudah dilakukan karena harga minyak dunia yang masih bakal bergejolak hingga Juni 2020.

Ia bilang OPEC bahkan sudah setuju untuk memotong produksi harian minyak dunia mulai Mei sampai Juni-Juli 2020 nanti. Ia bilang akhir tahun harga minyak Indonesia atau ICP bisa kembali di angka 40 dolar AS per barel minyak.

Di samping itu, Arifin juga mengaku tidak bisa mengikuti formula dalam Kepmen ESDM No 62K/MEM/2020 yang ia teken sendiri pada 28 Februari 2020. Dalam Kepmen, harga BBM Indonesia memperhitungkan harga trading minyak dan harga produk olahan BBM Singapura atau Mean Of Platts Singapore (MOPS).

Arifin mengakui kritik anggota DPR yang menyoroti harga MOPS berada di bawah harga ICP pada April 2020 ini yang di kisaran 20,66 dolar AS per barel minyak. Bila diterapkan praktis harga bensin di Indonesia bisa langsung terjun ke bawah.

Namun konsekuensinya, formula ini bakal memukul badan usaha di sektor migas. Ia bilang saat ini stok melimpah, tetapi di saat yang sama sumur minyak tidak mungkin disetop dan hasilnya harus diserap juga oleh Pertamina dan lainnya.

“Kami hitung juga kemampuan Pertamina, sekali lagi kita perhatikan ini dampak 2 bulan atau 3 bulan,” ucap Arifin dalam rapat dengar pendapat Komisi VII DPR RI, Senin (4/5/2020).

Direktur Eksekutif Reforminer Komaidi Notonegoro mengatakan secara formula dan perhitungan memang harga BBM layak untuk turun. Hanya saja, Komaidi bilang situasinya benar-benar tidak mudah.

Ia mencontohkan saat ini permintaan sedang turun-turunnya. Pada Januari-Februari 2020 saja permintaan BBM di Jakarta turun 59 persen dan kota besar lainnya berada di kisaran 30-65 persen.

Jika harga dipaksa turun, kata Komidi, maka praktis Pertamina bakal kehilangan pendapatan sehingga harga perlu dipertahankan lantaran bakal berpengaruh pada dividen tahun 2020.

Faktor lainnya juga mencangkup posisi Pertamina yang memiliki bisnis terintegrasi hulu-hilir. Saat harga minyak jatuh, bisnis hulu praktis sedang rugi-ruginya sehingga perlu dikonsolidasikan dengan hilir.

Belum lagi Pertamina sebagai penyalur BBM utama dijejali berbagai beban seperti BBM satu harga, penyaluran premium, sampai penugasan membangun rumah sakit selama Corona. Itu pun belum mencangkup utang kompensasi pemerintah.

“Kita bisa lihat ada suasana kebatinan pemerintah seperti ini,” ucap Komaidi saat dihubungi reporter Tirto, Rabu (6/5/2020).

Komaidi juga mengingatkan Pertamina juga menyerap cukup banyak minyak dari kontraktor migas dalam negeri dan belakangan porsi impor Pertamina terus ditekan sesuai kebijakan pemerintah.

Di sisi lain, kata dia, harga minyak dalam negeri berpatokan pada ICP yang notabene lebih tinggi harganya dari patokan Eropa (Brent) apalagi Singapura (MOPS).

“Kita belinya, kan, di dalam negeri acuan ICP, kekurangannya baru impor. Ini jadi masukan perbaikan regulasi acuan harga BBM pemerintah,” ucap Komaidi.

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services and Reform (IESR) Fabby Tumiwa juga pernah mengkritik pola kebijakan penetapan harga BBM pemerintah yang terjebak pada populisme. Fabby bilang selama ini saat harga bahan bakar primer turun, pemerintah dengan senang hati menurunkan harga BBM.

Ketika harga bahan bakar primer naik, pemerintah enggan menaikkan harga BBM dengan dalih masyarakat. Alhasil kerap kali APBN dikorbankan demi menutupi dengan kenaikan subsidi maupun membebaninya pada BUMN langsung.

Alhasil masyarakat pun terbiasa dengan murahnya harga bahan bakar fosil, padahal pemerintah punya tugas mengejar dan beralih ke energi terbarukan.

Fabby mencontohkan pada periode pertama, Jokowi justru pernah mencabut subsidi agar mengurangi tekanan APBN saat harga minyak dunia jatuh di angka 40 dolar AS per barel minyak di akhir 2015.

“Jadi jangan mikirnya populis terus. Setelah Corona masih ada masa depan,” ucap Fabby saat dihubungi reporter Tirto, Jumat (20/3/2020).

Baca juga artikel terkait HARGA BBM atau tulisan lainnya dari Vincent Fabian Thomas

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Vincent Fabian Thomas
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Abdul Aziz