Menuju konten utama

 Bossa Nova: Goyang Samba, Politik, dan Masa Senjakala

Lahir karena euforia ledakan ekonomi, bossa nova pernah jadi ragam musik paling populer di dunia.

 Bossa Nova: Goyang Samba, Politik, dan Masa Senjakala
Carlos Jobim di Rio de Janeiro, Brazil; 1994. AP Photo/Dilmar Cavalher

tirto.id - Bagi generasi muda Brasil era 1940-an, Frank Sinatra, penyanyi jazz kondang asal AS, adalah idola. Citra Sinatra, di mata anak-anak muda Brasil, nyaris sempurna. Namanya dielu-elukan dan karyanya diputar sepanjang waktu. Euforia semacam itu juga hinggap di diri Joao Gilberto. Pemuda dari Bahia—salah satu kawasan termiskin di Brasil—ini menyerap pesona Sinatra dengan paripurna. Ia melakukan apa saja agar bisa seperti Sinatra: mendengarkan semua lagunya, belajar bernyanyi, hingga menyelami kunci-kunci gitar secara otodidak.

Guna mewujudkan mimpinya, Gilberto lantas hijrah ke Rio de Janeiro untuk mengembangkan kariernya sebagai solois. Langkah awal yang ia ambil adalah bergabung dengan kelompok vokal Os Garotos da Lua (The Boys From The Moon). Bersama kelompok ini, Gilberto perlahan mencuri perhatian. Ia dikenal publik karena karakter vokalnya yang sangat lembut dan permainan gitarnya yang punya ritme ringan serta bersahaja.

Saat nama Gilberto melambung, di Rio, muncul juga musisi yang tak kalah bernas bernama Antonio Carlos Jobim. Gaya bermusik keduanya hampir sama. Tapi, Jobim bisa dikata punya kemampuan lebih lengkap: ia komposer, arranger, pianis, dan bisa menyanyi. Jobim juga menjalankan perusahaan rekaman, Continental, bersama Vinicius de Moraes, penyair cum diplomat. Keduanya bahkan terlibat dalam pembuatan scoring di film Black Orpheus, yang pada 1958 diganjar Palme d'Or dan Oscar.

Waktu akhirnya mempertemukan Jobim dan Gilberto untuk bikin karya bersama. Pada 1959, mereka bekerja untuk merilis album bertajuk Chega de Saudade—dalam bahasa Inggris berjudul No More Blues. Gilberto diajak bergabung karena dianggap punya karakter vokal yang pas untuk membawakan keseluruhan lagu yang ditulis oleh Jobim dan Vinicius itu.

Hasilnya memang tak istimewa, terutama dari segi penjualan. Namun, dampak yang ditimbulkan album itu tak main-main: lahirnya ragam musik baru di Brasil yang sekarang kita kenal dengan bossa nova.

Keinginan Memodernisasi Brasil

Seperti dicatat Ruy Castro dalam Bossa Nova: The Story of the Brazilian Music That Seduced the World (2013), sejak saat itu, bossa nova, yang berarti “ketukan baru,” dirayakan anak-anak muda Brasil. Di Rio, akhir 1950-an, pelajar kelas menengah, seniman, hingga musisi lokal melanjutkan apa yang sudah ditulis Jobim dan Gilberto dengan memperluas kekayaan ritme dan harmoni dari bossa nova.

Keadaan itu mendorong munculnya musisi bossa nova baru macam Sergio Mendes, Roberto Menescal, Walter Wanderley, hingga Astrud Gilberto. Mereka bermain di tiap sudut kota: bar, flat, dan juga kafe-kafe di pinggir pantai yang eksotis lagi sensual. Tak sebatas di Rio, gebyar bossa nova juga menular sampai kota-kota lain seperti São Paulo.

Dorongan untuk membikin warna musik yang baru bisa dibilang merupakan faktor utama lahirnya bossa nova, yang tersusun atas perpaduan irama tradisi samba, jazz Amerika, dan lirik berbahasa Portugis. Meski demikian, lahirnya bossa nova tak bisa dilepaskan dari kondisi sosial-politik di Brasil kala itu.

Mengutip Mitch Huber, Heather Brown, Rebecca Roche, dan Jacob Murillo dalam "Bossa Nova and Hope in Brazil," Brasil dekade 1950-an adalah negara yang bercita-cita untuk jadi negara modern. Di bawah kepemimpinan Juscelino Kubitschek, upaya ke arah sana digenjot secara masif. Kubitschek menjanjikan kemajuan “50 tahun dalam lima bidang” yang lantas dituangkan dalam ikrar “Plano de Metas”—berarti rencana dan tujuan. Lima bidang yang dikejar Kubitschek yakni energi, pangan, industri, pendidikan, dan transportasi.

Harapan Kubitschek jelas: menggenjot kelima bidang tersebut ditujukan untuk meningkatkan perekonomian Brasil lewat pemasukan pajak dan modal asing. Kendati upaya Kubitschek menciptakan inflasi yang tak diinginkan, perekonomian Brasil nyatanya mulai menggeliat. Ini bisa disaksikan tatkala Produk Domestik Bruto (PDB) Brasil meningkat dari 6,9 persen pada 1955 menjadi 9,7 persen lima tahun kemudian. Pertumbuhan sektor industri pun mencapai 80 persen.

Segala pencapaian tersebut membikin masyarakat Brasil diselimuti euforia. Mereka menjadi lebih percaya diri dan optimistis dalam menjalani rutinitas sehari-hari. Perasaan ini lalu ditumpahkan melalui bossa nova. Musik bossa nova adalah musik yang penuh harapan dan bercerita soal ide-ide akan cinta, keindahan, dan lautan. Semua bergembira, semua berdansa bersama.

Bossa nova, pada akhirnya, lebih dari sebatas ragam musik. Bagi masyarakat Brasil saat itu, bossa nova merupakan penanda awal dari Brasil yang baru; urban, modern, berusaha lepas dari bayang-bayang kolonial, dan terbuka untuk masa depan. Musik bossa nova merupakan pilihan musik bagi masyarakat yang berkelas, pintar, dan punya sensibilitas kosmopolitan: imbas dari ledakan ekonomi yang membanjiri seluruh kota di Brasil.

Mengglobal dan Tertekan Junta

Memasuki pertengahan 1960an, bossa nova kian tak terbendung. Tak hanya berjaya di dalam negeri, musik ini pun menancapkan dominasinya di mancanegara.

Pemicunya adalah album Getz/Gilberto yang dirilis pada 1964 dan dibikin oleh Jobim, Gilberto, Astrud (yang juga istri Gilberto), serta saksofonis asal AS, Stan Getz. Album tersebut bisa dibilang bukti bagaimana jazz konvensional menyatu dengan irama bossa yang aduhai sekaligus menjadikan Getz/Gilberto sebagai salah satu rekaman jazz paling seksi yang pernah dibuat.

Anda tak percaya? Coba dengarkan satu per satu track dalam album ini dan seketika Anda akan menemukan cahaya terang berwujud vokal Astrud yang “berat” dan “dalam,” petikan gitar Gilberto yang tenang namun mematikan, solo piano Jobim yang syahdu, hingga tiupan tenor Getz yang tiada tanding.

Kedahsyatan album ini berbanding lurus dengan respons pasar. Album Getz/Gilberto duduk nyaman selama 96 minggu di tangga lagu AS. Sementara salah satu balada di dalamnya, “The Girl from Ipanema,” lagu yang menang Grammy kategori Record of the Year pada 1965.

Eksistensi bossa nova kian diakui ketika musisi-musisi jazz AS mulai memakai ragam musik ini sebagai fondasi berkarya. Tercatat ada Oscar Peterson sampai Dave Brubeck yang pernah merilis album beraroma bossa nova. Kehadiran bossa nova sekaligus menjadi angin segar di tengah dominasi permainan free jazz yang dimotori John Coltrane.

Ironisnya, saat bossa nova mencapai popularitas terbesarnya di dunia, musik ini justru perlahan berantakan di rumahnya sendiri. Terpikat oleh peluang, kejayaan, dan kebebasan, para eksponen bossa nova mulai meninggalkan Brasil dan mengejar peruntungan negara lain. Musik ini lantas jadi komoditas yang diperdagangkan.

Infografik Bossa Nova

Infografik Bossa Nova

Walhasil, bossa nova kehilangan daya tariknya. Lebih-lebih, bagi masyarakat Brasil, bossa nova tak lagi dianggap otentik karena sudah banyak dimainkan musisi dari luar dengan standarnya masing-masing. Di tengah ‘kekosongan’ itu, ragam musik lain macam rock, tropicalia, hingga country masuk dan menarik minat telinga masyarakat Brasil, khususnya anak-anak muda.

Faktor lain yang tak bisa ditepikan yakni naiknya junta militer ke tampuk kekuasaan pada 1964 hingga 1985. Sensor, represi, penangkapan, dan pengasingan yang ditujukan kepada mereka yang mbalelo adalah gambaran kehidupan di Brasil waktu itu.

Kenyataan tersebut membikin bossa nova, yang identik dengan ketenangan, matahari, laut, dan romantisme, tampak tak relevan untuk dimainkan di tengah situasi yang diliputi keresahan maupun ketidakstabilan. Ketakutan yang mendominasi publik pada akhirnya menggeser pamor bossa nova dan memunculkan ragam musik baru, yang lebih agresif, bernama tropicalia.

Kendati beredar dalam waktu yang relatif pendek, bossa nova adalah bagian dari sejarah yang tak bisa dihapus. Lahirnya bossa nova menjadi gambaran ketika harapan dan mimpi untuk menjadi besar bukanlah hal yang mustahil. Di saat bersamaan, bossa nova juga membuktikan bahwa negara dunia ketiga seperti Brasil bisa menciptakan seni yang adiluhung dengan caranya sendiri dan kemudian dirayakan di seluruh dunia.

“Bossa nova adalah musik yang sakral bagi banyak orang Brasil. Ini adalah musik yang politis, puitik, dan nasionalistik. Bossa nova merupakan bentuk seni modernis yang entah bagaimana menjadi salah satu musik paling populer di dunia,” kata penyanyi bossa Brasil, Caetano Veloso.

Baca juga artikel terkait JAZZ atau tulisan lainnya dari Faisal Irfani

tirto.id - Musik
Penulis: Faisal Irfani
Editor: Nuran Wibisono