Menuju konten utama

Natalius Pigai Diberondong Ujaran Rasis dari Pendukung Jokowi

Natalius Pigai jadi korban rasisme. Beberapa pelakunya adalah pendukung Presiden Joko Widodo.

Natalius Pigai Diberondong Ujaran Rasis dari Pendukung Jokowi
Ketua Tim Pemantauan dan Penyelidikan Peristiwa Bentrok TNI AU dan Warga Desa Sarirejo pada Komnas HAM, Natalius Pigai menjelaskan hasil penyelidikan di Kantor Komnas HAM, Jakarta, Senin (29/8). Komnas HAM berkesimpulan telah terjadi pelanggaran hak asasi manusia dengan adanya tindakan penganiayaan, penyiksaan serta pengrusakan harta benda milik warga, jurnalis dan fasilitas umum yang dilakukan terutama oleh anggota Lanud Kolonel Soewondo yakni oknum anggota TNI AU dan Paskhas dibantu oleh oknum Armed TNI AD di peristiwa bentrok yang terjadi pada 15 Agustus lalu di Kelurahan Sarirejo, Medan, Sumut. ANTARA FOTO/Widodo S. Jusuf/foc/16.

tirto.id - Natalius Pigai, eks Komisioner Komnas HAM asal Papua, baru-baru ini diperlakukan rasis di media sosial. Para pelakunya secara terbuka menyatakan diri sebagai pendukung Presiden Joko Widodo dan kerap melawan narasi-narasi yang kontra pemerintah.

Salah satu pelaku bernama Ambroncius Nababan. Ia adalah politikus Hanura sekaligus Ketua Umum Relawan Pro Jokowi-Ma'ruf (Projamin). Di akun Facebook, dia mengatakan: “Edodoeee Pace. Vaksin ko bukan sinovac pace tapi ko pu sodara bilang vaksin rabies. Sa setuju pace.”

Tangkapan layarnya diunggah ulang oleh Pigai di Twitter, dengan tambahan keterangan bahwa rasisme seperti ini telah dialami orang-orang kulit hitam Melanesia selama lebih dari 50 tahun.

Ambroncius sendiri membantah berkata rasis. “Saya bukan rasis,” ucap dia, Senin (25/1/2021), di Bareskrim Polri Jakarta ketika hendak menjalani pemeriksaan oleh polisi. Ia memang dipanggil aparat untuk dimintai keterangan soal unggahannya itu. Ambroncius menyatakan pernyataannya bersifat satire dan “orang cerdas” akan paham apa maksud dari sindirannya itu.

Ambroncius mengatakan dia mengunggah konten karena Pigai selalu mengkritik pemerintahan Jokowi. Menurutnya, organisasinya, Projamin, yang diakui oleh Kementerian Hukum dan HAM, wajib mengawal pemerintahan saat ini. Dia bilang siap melawan pihak-pihak yang menyatakan “seakan-akan pemerintah itu buruk.”

Kepada reporter Tirto, Senin, dia bilang menyerang Pigai khususnya karena ia “menolak vaksin Sinovac dan tak percaya vaksin Sinovac yang disuntikkan ke Presiden RI.” “Di situlah saya geram, marah. Ada orang yang mengatakan vaksin Sinovac itu tidak baik sehingga di daerah, ya, banyak yang tidak percaya.” .

Yusuf Leonard Henuk, dosen dari Universitas Sumatera Utara, turut menyerang Pigai lewat Twitter. Dia mengunggah foto seekor monyet yang sedang berkaca di spion dengan menambahkan keterangan: “Beta mau suruh ko pergi ke cermin.” Di unggahan lain, dia juga menyasar Pigai dengan menyebut: “Hatinya sudah hitam pekat seperti kulitnya, sehingga pantas dipermalukan.”

Yusuf, seperti Ambroncius, juga kerap mengkritik para pengkritik Jokowi. Baru-baru ini dia bahkan melamar menjadi menteri dengan mengirimkan CV ke Istana. Jabatan apa yang dia minta? “Ya, terserahlah,” katanya, 17 Januari lalu.

Hingga 25 Januari, terdapat tiga pihak yang melaporkan aksi rasisme ke Pigai ke polisi. Kadiv Humas Polri Irjen Pol Argo Yuwono mengatakan kasus tersebut akan ditangani oleh Bareskrim Polri. Kemarin malam polisi resmi menetapkan Ambroncius Nababan sebagai tersangka.

Ditarik lebih jauh ke awal tahun, seorang penggemar Jokowi yang lumayan terkenal di media sosial, Permadi Arya, juga sempat bertingkah rasis ke Pigai.

Rasisme Tak Pernah Usai

Pigai mengatakan kasusnya tidak semata-mata terkait dirinya sendiri. Dalam konteks yang lebih luas, dia bilang ini mewakili sikap rasis dari orang-orang non-Papua terhadap orang Papua yang harus dihentikan.

“Selama pemerintahan Joko Widodo, pembantaian, pembunuhan dan kejahatan HAM di Papua cenderung didasari rasisme. Kita harus hapuskan rasisme,” kata Pigai kepada reporter Tirto, Senin.

Pigai mengingatkan pemerintah agar tidak mengulangi keterlambatan penanganan aksi rasis seperti tahun 2019 lalu, yang akhirnya memicu protes besar warga Papua selama berbulan-bulan. Pada tahun itu korban rasisme adalah orang Papua di asrama mahasiswa Surabaya. Mereka diteriaki monyet dan kata-kata kasar lain hanya karena dituduh menurunkan bendera Indonesia ke got--yang tidak terbukti.

Aktivis Pembangunan Demokrasi dan Kemanusiaan Leonardus O Magai sepakat bahwa kasus Pigai hanya contoh kecil betapa rasisnya orang Indonesia terhadap Papua. Lebih parahnya lagi para pelakunya adalah kelompok terpelajar dan intelektual, katanya, seperti Yusuf Henuk.

“Semua orang itu berasal dari kelompok terpelajar dan intelektual yang seharusnya mengontrol konflik sosial, bukan membuka pintu bagi sikap rasisme,” ujar Magai kepada reporter Tirto, Selasa (26/1/2021).

Menurutnya, pemerintah harus tegas mengupayakan implementasi Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis. Sementara penegak hukum dapat memberikan sanksi tegas bagi para pelaku rasisme yang bertopeng pancasilais dan nasionalis.

Direktur Eksekutif Yayasan Keadilan dan Keutuhan Manusia Papua Theo Hesegem mengatakan kepada reporter Tirto, Selasa, bahwa Jokowi “sebenarnya tidak mampu menyelesaikan dugaan pelanggaran HAM di Papua, termasuk rasisme.”

Kritik bahkan tidak hanya datang dari orang-orang Papua. Ketua Umum Kerukunan Masyarakat Batak Provinsi Papua Barat Dolok M Panjaitan berada dalam satu barisan kelompok penentang rasisme. Organisasinya mengecam perbuatan Ambroncius dan mendukung penegakan hukum terhadapnya, serta meminta agar pria itu meminta maaf kepada Pigai dan rakyat Papua.

Baca juga artikel terkait RASISME atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - News
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Rio Apinino