Menuju konten utama

Nasib UMKM Bila Subsidi Gas Melon Dicabut dan Pembeliannya Dibatasi

Sejumlah pedagang kecil atau UMKM mengkritik rencana pemerintah memberlakukan kebijakan pencabutan subsidi dan pembatasan elpiji melon.

Nasib UMKM Bila Subsidi Gas Melon Dicabut dan Pembeliannya Dibatasi
Sejumlah warga antre menunggu datangnya gas Elpiji 3 kilogram di sebuah pangkalan di Karang Gantiang, Padang, Sumatera Barat, Jumat (11/10/2019). ANTARA FOTO/Iggoy el Fitra/wsj.

tirto.id - Masyarakat miskin dan pedagang kecil kembali dibuat ketar-ketir oleh pemerintah lantaran subsidi LPG 3kg alias gas melon akan dicabut. Habis dibuat pening dari rencana larangan penggunaan minyak goreng curah atas alasan kesehatan dan sertifikasi produk halal buat pedagang kecil, mereka kini belum bisa tidur nyenyak karena berbagai kejutan di awal 2020.

Plt. Direktur Jenderal Migas Kementerian ESDM Djoko Siswanto mengatakan, nantinya gas melon akan dijual dengan harga normal di toko maupun pasar. Subsidi diberikan terbatas hanya bagi mereka yang berhak menerima dan terdaftar.

Akan tetapi, Djoko belum bisa memastikan bagaimana teknis penyalurannya, tapi opsi yang disiapkan bisa dari transfer bank, kartu, sampai kode elektronik.

Di samping itu, pemerintah juga berencana membatasi pembelian gas melon menjadi 3 tabung gas per bulan dari hitung-hitungan kebutuhan rakyat miksin. Menurut Djoko jika ada pembelian lebih dari itu, pemerintah pantas curiga jangan-jangan subsidi salah sasaran.

Iwan (49) pedagang soto di kawasan Sabang, Jakarta Pusat mengaku bakal terbebani dengan perubahan skema subsidi itu. Pasalnya, kebutuhan gas melonnya mencapai 3 tabung untuk 2 hari. Dalam seminggu berarti minimal ada 9 tabung gas yang ia butuhkan.

Kalau pembelian tabungnya dibatasi seperti rencana Ditjen Migas, praktis ia akan terpukul kenaikan harga drastis. Saat ini saja harga gas yang ia beli berada di kisaran Rp18-20 ribu per tabung dan bisa membengkak menjadi Rp37-40 ribu per tabung tanpa subsidi.

“Kalau gitu repot ya. Dibatesin gitu. Kalau enggak cukup nanti enggak bisa dagang. Kalau ramai mah enggak berasa, masalahnya kita enggak selalu ramai,” ucap Iwan saat ditemui reporter Tirto, Sabtu (18/1/2020).

Beban lebih parah mungkin bisa diderita oleh pemilik warung nasi atau warung tegal. Iwan membandingkan untuk satu macam masakan yang ia jual saja sudah membutuhkan 3 tabung per 2 hari, maka kebutuhan warung nasi setidaknya bisa 4 hingga 5 tabung untuk jangka waktu yang sama.

Sementara itu, pedagang gorengan di dekat Halte Transjakarta Pulomas Rasyim (53) juga ikut mengeluh. Meskipun jualannya berupa gorengan, tapi kebutuhan gasnya tetap banyak yaitu 1 tabung per hari atau 7 tabung selama seminggu.

Bila nantinya ia terdampak perubahan skema subsidi ini, Rasyim memastikan kalau ia bakal kesulitan berjualan. Kalau pun tetap berdagang, ia harus bersiap dengan keuntungan yang tak seberapa.

“Saya dari Majalengka enggak lulus sekolah. Buat bisa jualan kayak ini aja udah syukur,” ucap Rasyim saat ditemui reporter Tirto, Sabtu (18/1/2020).

Pedagang bakmi di belakang kawasan perbelanjaan Sarinah, Haryono (58) mengaku keberatan dengan perubahan ini, tetapi ia pesimistis kalau pemerintah bakal memperhatikan rakyat sepertinya. Bila kebijakan ini berlaku ongkos penjualannya bakal membengkak karena per minggunya ia menghabiskan minimal 7 tabung.

Dengan harga gas melon di kisaran Rp37-40 ribu per tabung, ia hanya bisa memandangi keuntungannya yang terpangkas.

Lagi pula ia bilang tak mungkin menaikan harga karena konsumen pasti tak mau membeli. Paling tidak, kata Haryono, harus ada pembedaan dari kebutuhan gas rumah tangga dan pedagang seperti dirinya.

“Saya pasrah saja sudah. Susah naik harga nanti ditinggal pelanggan,” ucap Haryono saat ditemui reporter Tirto, Sabtu (18/1/2020).

Pendataan Bermasalah

Haryono ternyata punya kecemasan lain. Ia tahu kalau pemerintah bakal mendata siapa saja yang berhak menerimanya. Namun, ia ragu kalau pendataan itu bakal dilakukan adil.

Haryono sudah berdagang di kawasan Sabang sejak 1987 dan mengalami langsung kebijakan Presden RI ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono soal konversi minyak tanah ke gas LPG 3 kg yang aturannya terbit tahun 2007.

Waktu itu, Haryono tidak kebagian padahal ia sudah berdagang lama di sana. Ia mengingat betul betapa merepotkannya proses kalau warga akan kebagian gas LPG 3 kg lantaran banyak persyaratan seperti surat keterangan RT/RW-kelurahan.

Ia tahu ada permainan pejabat daerah yang aji mumpung mengambil keuntungan dengan sengaja tidak mendistribusikan gas subsidi itu kepada dirinya.

“Susah deh itu terjadi. Jadi rakyat biasa gini pasrah enggak akan didenger. Pemerintah dan DPR cuma urusin dirinya boro-boro rakyat. Ketemu pas pemilu aja,” ucap Haryono.

Ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi mengatakan kekhawatiran Haryono memang ada benarnya. Saat konversi minyak tanah ke gas melon pada 2004, distribusi dengan kartu Kendal sempat tak berjalan sampai akhirnya siapa pun boleh membeli.

Proses pendataannya, kata Tulus, juga bermasalah. YLKI justru khawatir ada masalah pemutakhiran data rumah tangga dan pengawasan yang lemah pada distribusi LPG melon.

Bila pemerintah lengah, kata Tulus, kebijakan baru ini malah akan membawa celaka yaitu harga gas melambung, inflasi meningkat dan daya beli masyarakat jatuh.

“YLKI khawatir masih ada salah pendataan, atau praktik patgulipat, sehingga berpotensi terjadi penyimpangan,” ucap Tulus dalam keterangan tertulis, Jumat (17/1/2020).

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif memastikan subsidi akan tetap diberikan. Saat ini mekanisme penyalurannya memang belum final, tetapi pemerintah akan berupaya agar perubahan ini tak menyulitkan penduduk tak mampu.

“Maksudnya kita identifikasi dulu kira kira yang memang berhak menerima tapi enggak batasi, (subsidi) untuk yang terdaftar jadi bisa teridentifikasi. Cegah adanya kebocoran,” ucap Arifin kepada wartawan saat ditemui di Tribrata Dharmawangsa, Jakarta Selatan, Jumat (17/1/2020).

Baca juga artikel terkait SUBSIDI GAS MELON atau tulisan lainnya dari Vincent Fabian Thomas

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Vincent Fabian Thomas
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Abdul Aziz