Menuju konten utama

Nasib Tragis Para Nyai dan Gundik Zaman Kolonial

Kisah sengsara para perempuan yang menjadi nyai atau gundik orang-orang Eropa di masa kolonial.

Nasib Tragis Para Nyai dan Gundik Zaman Kolonial
Ilustrasi nyai & gundik. tirto.id/Nadya

tirto.id - Pada akhir 1930-an, Long Nawang masih tempat yang udik di Kabupaten Bulungan, Kalimantan Timur. Kota terdekat dari situ adalah Tanjung Selor. Untuk menuju satu tempat ke tempat lain, orang-orang harus berlama-lama di atas perahu. Bisa dibayangkan betapa terisolirnya daerah tersebut.

Kakek dari Bimbim Slank, dr. Soemarno Sosroatmodjo, pernah bertugas sebagai dokter di Tanjung Selor pada era itu. Ia juga pernah berkunjung ke Long Nawang. Soemarno menuliskan kisah dinasnya di Long Nawang dalam buku berjudul Dari Rimba Raya ke Jakarta Raya (1981: 229).

“Semua bintara dan tamtama yang ditempatkan di Long Nawang dilarang membawa keluarganya. Para opsir yang bertugas di sana dipilih yang belum berkeluarga,” tutur Sumarno.

Dalam sistem ketentaraan Hindia Belanda, status seorang dokter disamakan dengan opsir atau perwira. Setidaknya bisa berpangkat letnan. Para serdadu dan pegawai berdinas di daerah terpencil paling lama dua tahun. Jauh dari kota, serdadu dan pegawai berkebangsaan Belanda akan sulit menemukan perempuan.

Tapi soal kawin, mereka tak khawatir. Soal kawin bisa diselesaikan secara adat di sana, tanpa perlu ada catatan sipil. Masyarakat setempat, orang-orang Kenyah, tak melarang perkawinan. Toh, perkawinan adalah hak segala bangsa. Orang-orang Belanda itu pun kawin dengan perempuan Kenyah. “Siapa yang bisa melarang cinta asmara dan perkawinan buat mereka,” kata Sumarno.

Dioper Seperti Barang Inventaris

Perkawinan ada karena kebutuhan. Tapi perkawinan mereka biasanya berumur singkat. Tiap para pegawai berpangkat tinggi ditarik ke Tanjung Selor, para perempuan mereka dicerai.

“Hanya tamtamalah yang diperbolehkan membawa wanita Kenyah ke hilir. Itu pun melalui izin khusus dari pimpinan KNIL, yang diizinkan hanya mereka yang benar-benar belum punya istri di Tanjung Selor atau di Jawa,” tulis Sumarno.

Bagi serdadu yang sudah punya istri di Tanjung Selor, diwajibkan menceraikan istri Kenyah mereka di Long Nawang.

Dokter Belanda yang bertugas di Long Nawang diusahakan agar betah. Berhubung sulit bawa istri ke daerah yang masih terpencil itu, maka sang dokter sebetulnya tak perlu pusing urusan istri. Alam sudah menyediakannya.

Tersebutlah seorang perempuan berparas Indo-Kenyah. Maklum dia anak seorang Belanda yang pernah jadi Hoofd van Militaire Geneeskundige Dienst (Kepala Dinas Kesehatan Militer) di Betawi. Namanya Marietje. Namanya jelas berbau Belanda. Berkali-kali Marietje jadi istri dokter yang berdinas di Long Nawang. Menurut catatan Sumarno yang bertugas di akhir dekade 1930-an, sudah lima kali Marietje kawin.

“Kalau dokter yang berdinas di sana dipindahkan ke tempat lain, Marietje dipulangkan ke kampungnya. Seminggu kemudian dokter baru memanggilnya dan mengawininya secara adat,” ingat Sumarno.

Pandangan kolonial di kepala banyak laki-laki berkebangsaan Eropa, jika tidak bisa menikahi perempuan Belanda atau Eropa maka menikahi perempuan Indo akan lebih baik. Kepada perempuan pribumi, dinikahi tidaklah perlu, cukup dikawin saja. Maka menikahi Marietje tidaklah buruk bagi para dokter itu, apalagi hanya sementara.

Dalam bukunya, Sumarno yang pernah jadi Gubernur DKI Jakarta era Sukarno ini pun berkesimpulan, “jadi apa yang dioperkan oleh dokter lama kepada dokter baru bukan hanya rumah sakit, tempat tinggal dan barang-barang inventaris, tapi juga istrinya.”

Nasib Maritje mirip sekali dengan Selima dalam film Sleeping Dictionary (2003) yang diperankan Jesicca Alba. Selima adalah anak di luar nikah alias hanya hasil kawin seorang pejabat Inggris dengan perempuan Iban. Nasibnya seperti ibunya, menjadi kawan tidur laki-laki Inggris yang ditugaskan di pedalaman Kalimantan yang dikuasai Inggris. Biasanya, dari gundik atau nyai, laki-laki Eropa mengenal bahasa orang pribumi. Seperti dalam film Jessica Alba nan sensual ini. Selima menjadi guru bahasa bagi John Truscott dan lelaki ini boleh tidur dengannya. Tak heran jika judulnya Sleeping Dictionary alias kamus tidur.

Soemarno pernah bertemu anak Indo-Kenyah buah kawin dari dr. van Kalthoven, yang pernah berdinas di Long Nawang, dengan perempuan setempat. Tak disebut Soemarno apakah sang dokter kawin dengan Marietje atau tidak. Sang dokter kemudian pernah bertugas di Banjarmasin. Anaknya, yang bernama Enjau Tun, kerap dikirimi uang saku oleh nyonya van Kalthoven.

Infografik Gundik dan Nyai

Ada Pula yang Ikut Suami

Hidup sebagai perempuan yang dioper seperti barang inventaris itu tak hanya dijalani oleh Marietje yang berdarah Indo-Kenyah, tapi juga oleh Marie. Perempuan ini adalah putri dari seorang serdadu KNIL asal Ghana (Afrika) dengan seorang perempuan pribumi bernama Nikem. Marie alias Olus lahir di Kampung Afrika, Purworejo. Reggie Baay dalam Nyai & Pergundikan di Hindia Belanda (2008: 250-252) menceritakan kisah Marie. Hidupnya tragis. Ayahnya meninggal waktu dia kecil dan dia harus tinggal bersama ibunya.

Di masa remaja, Marie tinggal dengan kakaknya yang sudah kawin dengan serdadu KNIL asal Ambon. Bertahun-tahun setelah kabur dari rumah sang kakak karena terancam oleh kakak iparnya, Marie pun jadi gundik serdadu Belanda. Marie bahkan ikut serta waktu serdadu tersebut dinas di Aceh. Tak diketahui nama serdadu itu.

Setelah si serdadu pulang ke Eropa, masa pergundikan untuknya tidak berakhir. Marie tetap jadi gundik. Kali ini jadi gundik serdadu Belanda yang masih muda bernama Hendrik (kelahiran Rotterdam 1883). Dia masuk jadi serdadu KNIL dan dikirim ke Hindia Belanda pada 1903. Dia langsung dikirim ke Aceh. Mereka berkenalan di barak, waktu di Hendrik berada di Aceh.

Dari Hendrik, Marie dapat anak yang lahir pada 1908. Waktu Hendrik pindah ke Jawa, ia tak meninggalkan Marie di Aceh, tapi memboyongnya. Pada 1911, Hendrik dikirim ke Seram. Belakangan, Marie diperistri lewat pernikahan oleh Hendrik. Reggie Baay mencatat beberapa nama perempuan yang mengalami masa pergundikan seperti Marie dalam bukunya.

Kelakuan memelihara gundik sebetulnya bukan milik laki-laki Belanda saja. Seorang Sultan Sambas, salah satu kerajaan di Kalimantan Barat, juga melakukan pergundikan. Menurut buku Republik Indonesia: Kalimantan (1953: 395), “Sultan Umar Akamuddin II itu ada mempunjai 3 orang permaisuri dan beberapa orang gundik.” Gundik memang kadang-kadang disamakan dengan selir, yang biasanya tidak dinikahi raja.

Soal nyai, tentunya paling terkenal adalah Nyai Dasima. Nyai Dasima yang pernah jadi nyai daripada tuan Eropa bernama Edward William ini belakangan melepaskan diri William. Dia masih cantik dan kaya, tapi belakangan dijadikan istri kedua daripada seorang pribumi bernama Samiun. Akhir nasib Dasima tragis. Dia dibunuh Samiun, yang istri tuanya mata duitan dan tukang judi.

Kisah Nyai Dasima pernah ditulis Gijsbert Francis dan difilmkan dalam Njai Dasima (1929) dan Samiun dan Dasima (1970). Film terakhir dibintangi Chitra Dewi dan WD Mochtar.

Kisah lain tentang nyai atau gundik tergambar dalam film yang dibintangi Robby Sugara dan Tutie Kirana dalam Buaya Deli (1978). Dari judulnya bisa ditebak cerita ini tentang tuan kebun di perkebunan tembakau Deli yang memangsa perempuan lokal cantik untuk dijadikan nyai atau gundiknya. Deli kaya tembakau dan si tuan pengelola kebun tentu kaya raya dan berkuasa seperti sultan Melayu di sana. Cerita film ini berkisar soal Tijah (Tutie Kirana) yang dijadikan nyai atau gundik oleh Pieter Dikkert (Robby Sugara).

Baca juga artikel terkait ZAMAN KOLONIAL atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Humaniora
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Ivan Aulia Ahsan