Menuju konten utama

Nasib PON 2020 di Tengah Memanasnya Situasi Papua

Pengurangan Cabor membuat lumbung emas beberapa daerah--termasuk tuan rumah--berkurang, sementara penyempitan klaster berpotensi bikin sejumlah infrastruktur malah tak terpakai untuk PON.

Nasib PON 2020 di Tengah Memanasnya Situasi Papua
Suasana proses pembangunan Kompleks Stadion Papua Bangkit di Distrik Sentani Timur, Kabupaten Jayapura, Papua, Jumat (15/3/2019). ANTARA FOTO/Gusti Tanati/wpa/wsj.

tirto.id - Rasisme terhadap mahasiswa asal Papua di Surabaya memicu gelombang protes disertai rusuh di berbagai wilayah Papua. Memanasnya situasi di Papua ini bikin Gubernur Lukas Enembe mengajukan permohonan agar Pekan Olahraga Pelajar Nasional (Popnas) 2019 dan Pekan Paralimpiade Nasional (Peparnas) 2020 yang seharusnya dihelat di Papua dialihkan ke lokasi lain.

“Secara resmi pemerintah, dalam hal ini Kemenpora, dapat memahami latar belakang permohonan tersebut dan sudah menyetujui permintaan tersebut,” tutur Kepala Dinas Olahraga dan Pemuda (Disorda) Provinsi Papua, Alexander Kapisa seperti dilansir Antara.

Kemenpora kemudian memindahkan lokasi dua gelaran tersebut ke Jakarta. Keputusan ini sudah mendapat lampu hijau dari Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan yang beranggapan ibu kota masih memiliki infrastruktur dan sarana bekas Asian Games tahun lalu.

Tapi polemik tak berhenti di situ. Selain pemindahan lokasi Popnas dan Peparnas, Lukas Enembe juga mengajukan permintaan kepada Kemenpora dan Presiden Joko Widodo agar gelaran Pekan Olahraga Nasional (PON) 2020 diundur. Lukas dalam keterangannya menyebut penundaan ini bukan hanya disebabkan suasana yang memanas, tapi juga karena pembangunan infrastruktur yang baru mencapai 50 persen.

Kendati demikian alasan itu tidak diterima oleh Joko Widodo. Kepada Lukas, Jokowi menginstruksikan agar PON tetap diselenggarakan tahun 2020, hanya saja waktunya akan dimundurkan satu bulan, dari bulan September menjadi Oktober. “Intinya, presiden tetap mau 2020. Saya [sudah] memberi tahu persiapan kami baru 50 persen untuk semua venue,” tutur Lukas kepada wartawan usai menghadiri pertemuan tertutup selama satu jam dengan Jokowi di Istana Negara, Senin (26/8/2019).

Kendati menolak, Jokowi dan Kemenpora meberikan beberapa toleransi untuk meringankan beban Papua dalam persiapan menjadi tuan rumah. Tapi, toleransi ini tampaknya akan jadi pukulan yang turut merugikan beberapa daerah, termasuk tuan rumah sendiri.

Cabor Dikurangi, Potensi Emas Menurun?

Toleransi pertama adalah pengurangan jumlah Cabang Olahraga (Cabor) yang dilombakan. Dari rencana awal 47 Cabor, pada PON tahun depan jumlahnya akan dipangkas menjadi 37.

Sekretaris Kemenpora (Sesmenpora) Gatot S Dewabroto belum bisa memastikan apa saja 10 Cabor yang bakal dicoret. Dia menjanjikan kepastian itu akan diumumkan selambatnya pada Senin (2/9/2019) usai melakukan konsolidasi dengan Disorda Papua. Satu hal yang bisa dipastikan Gatot, dari 37 Cabor yang akan diumumkan nanti prioritasnya adalah Cabor-Cabor yang akan dilombakan pada olimpiade.

“[Prioritas] pertama Cabornya apa saja, apakah cabor Olimpiade atau non Olimpiade. Kemudian, mana saja cabang yang sudah melakukan babak kualifikasi PON,” kata dia dalam keterangan pers di kantor Kemenpora.

Masalahnya, keputusan tersebut bisa jadi justru akan merugikan Papua selaku tuan rumah. Sebab, dari Cabor-cabor yang kemungkinan dicoret—karena tak dilombakan pada Olimpiade—sebagian di antaranya justru merupakan cabang yang berpotensi jadi lumbung emas tuan rumah.

Cabor selam misalnya. Pengurus Provinsi (Pengprov) Persatuan Selam Selurh Indonesia (POSSI) cabang Papua sejak jauh-jauh hari telah mematok target lima medali emas.

“Kami sudah melakukan pembinaan atlet guna meraih lima emas pada pertandingan PON 2020. Target itu bukan tidak mungkin, karena pada PON di Jawa Barat [2016] POSSI Papua berhasil menyabet dua medali emas,” tutur Ketua Pengprov POSSI Papua, Gilbert Yakwar seperti dilansir Antara.

Dua emas yang didapat Papua tiga tahun lalu masing-masing disumbang Margaetha Herawati dan Very Dwi Irjayanto. Namun, dengan peluang besar dicoretnya Cabor selam pada PON tahun depan, Margaretha, Very, dan atlet-atlet selam andalan Papua lain tampaknya harus gigit jari.

Nasib serupa kemungkinan juga akan dialami kontingen petanque dan ski air Papua. Dua olahraga ini berpotensi besar dicoret pada PON tahun depan, padahal tuan rumah telah melakukan persiapan dan mematok target tinggi untuk keduanya.

Pada Cabor ski air misal, kontingen Papua telah menyiapkan 11 atlet untuk mengejar target empat medali emas. Sementara pada Cabor petanque, seperti dilansir Kabar Papua, tuan rumah memasang target tak main-main: 10 emas.

Kerugian-kerugian Papua akibat dicoretnya 10 Cabor yang berpotensi jadi lumbung emas mereka, juga diakui ‘menyakitkan’ oleh Djoko Pekik Susilo, Ketua Asosiasi Profesor Keolahragaan Indonesia (APKORI). Bahkan menurut Djoko kerugian tidak akan cuma dialami Papua, tapi juga daerah-daerah lain yang sudah menyiapkan atlet.

“Permasalahannya pencoretan seperti ini kan terlalu mendadak, tentu merugikan. Daerah-daerah, termasuk Papua, pasti kan sudah terlanjur membina atlet jauh-jauh hari,” ujar Djoko ketika dikonfirmasi Tirto, Jumat (30/8/2019).

Saat kami konfirmasi soal kemungkinan kerugian tuan rumah ini, Gatot Dewa Broto menola berpolemik. "Semua daerah harus bisa terima, hal ini demi kepentingan nasional," ujarnya.

Mempersempit Klaster Bukan Solusi Bijak

Selain pengurangan Cabor, toleransi juga diberikan Jokowi dan Kemenpora dengan mempersempit klaster tuan rumah. Mulanya lima klaster dicanangkan sebagai tuan rumah, yakni Jayapura, Biak, Jayawijaya, Mimika, dan Merauke. Kini, dipastikan hanya akan ada tiga wilayah di Papua yang jadi penyelenggara PON 2020.

“Presiden memutuskan di tiga tempat penyelenggaraan, yaitu Kota Jayapura, Kabupaten Jayapura, dan Timika,” ujar Lukas Enembe.

Padahal, selain di tiga wilayah itu, pembangunan infrastruktur di daerah-daerah lain yang mulanya dicanangkan menjadi klaster tuan rumah sudah terlanjur berlangsung. Di Biak misal, pembangunan Gedung Olah Raga (GOR) bertaraf internasional telah mencapai seperempat tahap.

“Begitu juga untuk fasilitas kesehatan bagi atlet PON, sudah dibangun poliklinik dan UGD di RSUD Biak,” ungkap Kepala Dinas Pemuda dan Olahraga (Kadispora) Biak, Yohan Yerangga seperti dilansir Antara.

Untuk fasilitas penunjang seperti infrastruktur rumah sakit dan pengaspalan jalan, barangkali akan tetap punya manfaat besar bagi masyarakat meski PON tak jadi dihelat di Biak. Namun, untuk infrastruktur lain seperti GOR bertaraf internasional maupun lapangan, tentu akan terasa sia-sia jika tidak dimanfaatkan untuk gelaran PON. Apalagi sejak awal Pemerintah Provinsi Papua dan Kemenpora telah menganggarkan nominal fantastis, Rp6 triliun, untuk membangun seluruh infrastruktur penunjang.

Terhadap permasalahan tersebut, menurut Djoko Pekik Susilo, akan lebih baik jika pemerintah menempuh solusi lain yang bisa menguntungkan semua pihak. Misalnya, dengan tidak serta merta memangkas Cabor dan klaster tanpa pertimbangan yang matang.

“Kalau dari saya, ada bagusnya Kemenpora dan semua stakeholder tetap mengoptimalkan daerah yang sudah terlanjur dibangun. 47 Cabor itu juga sebaiknya tetap jadi dilombakan semua, nanti semisal ada infrastruktur yang memang benar-benar kurang, bisa dialihkan ke provinsi lain di luar Papua. Langkah seperti itu akan lebih memuaskan banyak pihak,” ujarnya.

Dan untuk menerapkan solusi yang ditawarkan Djoko, Kemenpora dan pemerintah cuma perlu merevisi PP Nomor 17/2017 yang mengharuskan tuan rumah PON cuma di satu provinsi.

“Merevisi PP itu sebenarnya juga lebih sederhana, kan. Apalagi untuk kepentingan sebesar PON,” imbuh Djoko.

Sayangnya, alih-alih menempuh langkah itu, pemerintah justru memilih memangkas Cabor dan klaster tuan rumah, langkah yang berpotensi merugikan banyak pihak.

Baca juga artikel terkait PON atau tulisan lainnya dari Herdanang Ahmad Fauzan

tirto.id - Olahraga
Penulis: Herdanang Ahmad Fauzan
Editor: Gilang Ramadhan