Menuju konten utama

Nasib Peternak Ayam di Balik Kekalahan Indonesia dari Brasil di WTO

Masuknya impor ayam dikhawatirkan dapat berefek buruk buat peternak. Sebab, hal itu akan semakin menekan pasar dalam negeri.

Nasib Peternak Ayam di Balik Kekalahan Indonesia dari Brasil di WTO
Peternak berjalan di dalam kandang ayam broiler jenis pedaging di Tulungagung, Jawa Timur, Rabu (26/6/2019). ANTARA FOTO/Destyan Sujarwoko/aww.

tirto.id - Pemerintah akan menjalankan ketentuan World Trade Organization (WTO) dan mengizinkan masuknya impor dan produk ayam dari Brasil. Menteri Perdagangan (Mendag) Enggartiastio Lukita mengatakan keputusan ini harus dijalankan sebagai rekomendasi dari panel yang berupaya menyelidiki kebijakan impor ayam Indonesia dari negara Amerika Latin itu.

Rekomendasi tersebut, kata Enggar, juga adalah buntut dari kekalahan Indonesia dalam gugatan Brasil ke WTO pada 2017 yang tak kunjung dilaksanakan karena berbagai alasan, seperti sertifikasi sanitasi dan halal.

“Tidak ada pilihan lain untuk kami menyesuaikan seperti rekomendasi dari WTO,” ucap Enggar usai rapat koordinasi di Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Rabu (7/8/2019) seperti dikutip dari Antara.

Enggar mengakui kalau selama ini Indonesia memang menyalahi aturan WTO terkait perdagangan bebas dengan melarang masuknya produk Brasil. Ia pun memastikan keputusan WTO itu akan dilaksanakan.

Hanya saja, Enggar juga menyiapkan sederet ketentuan untuk menghadapi masuknya produk ini mulai dari sertifikat sanitasi internasional dan halal.

“Kalau tidak [dijalankan], mereka memiliki hak untuk melakukan retaliasi dengan berbagai produk yang sama atau produk lainnya, dan 19 negara lain akan ikut serta,” ucap Enggar.

Sekretaris Eksekutif Perhimpunan Insan Perunggasan Rakyat Indonesia (Pinsar) Samhadi mengkhawatirkan masuknya impor ayam ini dapat berefek buruk buat peternak. Namun, efeknya memang akan melalui beberapa tahap.

Pertama, kata Samhadi, impor dari Brasil akan membanjiri pasokan daging ayam beku atau cold chicken. Dampaknya akan langsung terasa oleh industri dan peternakan yang menyuplai daging ayam untuk pabrik olahan.

Samhadi mengatakan, segmen paling berbahaya dari ayam impor adalah penjualan chicken leg atau paha ayam yang harganya bisa sangat murah dibanding dalam negeri.

Lalu jangka panjangnya, Samhadi memperkirakan penyerapan daging dari peternak lokal akan terganggu. Saat penyerapan menurun, maka harga ayam hidup di tingkat peternak akan terganggu dalam beberapa bulan ke depan.

“Kami sudah sampaikan ke pemerintah ini akan menghancurkan. Di kalangan peternak sekarang saja sudah setengah hidup, ada yang bilang ‘sudahlah mau masuk, masuk sekalian biar kita mati semua’. Tapi asosiasi tetap tidak setuju, kami prihatin (ayam impor masuk),” ucap Samhadi saat dihubungi reporter Tirto, Kamis (8/8/2019).

Hal senada diungkapkan Sekretaris Jenderal Gabungan Organisasi Peternak Ayam (Gopan), Sugeng Wahyudi. Ia mengatakan masuknya ayam impor akan semakin menekan pasar dalam negeri. Sugeng menjelaskan saat ini komposisi pasar saja sebagian besar sudah didominasi oleh industri integrator (hulu-hilir).

Berdasarkan data Perhimpunan Peternak Unggas Nusantara (PPUN), saat ini 3 perusahaan ayam terintegrasi menguasai 80 persen. Bila tak ada antisipasi, Sugeng khawatir, ada efek domino bahwa ruang gerak peternak lokal yang sudah cukup terdesak akan semakin memburuk.

“Pasar kami akan semakin tertekan. Ya efek dominonya seperti itu,” ucap Sugeng saat dihubungi reporter Tirto, pada Kamis (8/8/2019).

Sugeng pun meminta pemerintah segera turun tangan membantu peternak melakukan efisiensi. Misalnya menekan harga sarana produksi peternakan (sapronak) dan pakan. Lalu membantu perbaikan sarana produksi dengan melalui fasilitas pinjaman kredit dengan bunga yang cukup rendah.

Sebab bila tidak dilakukan, ia yakin peternak akan kesulitan bertahan di tengah gempuran ayam impor yang lebih murah. Meskipun impornya sebatas daging beku, hal ini dapat memengaruhi penyerapan ayam peternak.

“Masalah efisiensi, kan, enggak bisa ditawar. Kalau tidak ada upaya pemerintah ya bakal ada dampak negatif ke produktivitas. Harga pakan juga butuh campur tangan pemerintah,” ucap Sugeng.

Peneliti cum dosen Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas Santosa menilai kalahnya Indonesia dalam gugatan di WTO ini disebabkan karena pemerintah menunda pemberlakuan yang seharusnya sudah dilakukan sejak 2017. Alhasil, ia tidak heran bila saat ini, pemerintah seperti terdesak dan tidak memiliki pilihan selain membuka keran impor.

Di sisi lain, kata Dwi, hal ini menjadi pembelajaran pada pembuatan peraturan di Indonesia.

Selama ini, ia menilai kebijakan Indonesia untuk membatasi masuknya produk impor memang kerap mengundang ketidaksetujuan atau dispute dari negara tetangga seperti penerapan kuota untuk produk pangan. Dwi mengingatkan pemerintah perlu mengikuti standar atau contoh yang diakui di WTO.

“Kalau sertifikasi halal itu enggak masalah, tapi perlu mempelajari aturan-aturan yang ada di WTO dalam upaya melindungi produk pangan kita selanjutnya,” ucap Dwi saat dihubungi reporter Tirto.

Pada kasus impor ayam dari Brasil, Dwi mengatakan, pemerintah bisa menerapkan kebijakan tarif pada produk dari Brasil. Cara ini, kata Dwi, lebih mungkin diterima di kalangan negara WTO. Bahkan menurutnya dapat diterapkan juga untuk produk pangan lainnya.

Kalau pun ada kekhawatiran perang tarif, Dwi menilai, hal itu memang menjadi risiko. Namun, lebih baik daripada membiarkan produk masuk dengan bebas karena tarif impor hampir nol.

“Tarif kita hampir 0 kan untuk impor produk pertanian. Pengenaan tarif, kan, bisa. India kasih kita tarif 45 persen buat sawit saja kita enggak rebut. Mau enggak kita terapkan tarif buat impor pangan luar negeri.” ucap Dwi.

Baca juga artikel terkait IMPOR AYAM atau tulisan lainnya dari Vincent Fabian Thomas

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Vincent Fabian Thomas
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Abdul Aziz