Menuju konten utama

Nasib Petani Karet: Harga Anjlok, Beralih Profesi hingga Jual Lahan

Menurut Asosiasi Petani Karet Indonesia (Apkarindo), banyak petani yang meninggalkan lahannya karena biaya yang dikeluarkan tak sebanding dengan penghasilan.

Nasib Petani Karet: Harga Anjlok, Beralih Profesi hingga Jual Lahan
Pekerja menderes getah karet di kawasan kebun karet Desa Alue Garut, Kecamatan Sawang, Aceh Utara, Aceh, Kamis (25/1/2018). ANTARA FOTO/Rahmad

tirto.id - Volume ekspor karet pada semester I 2019 mengalami penurunan akibat kekurangan pasokan bahan baku di dalam negeri. Menurut data Gabungan Perusahaan Karet Indonesia (Gapkindo), ekspor karet turun sampai 200 ribu ton sejak awal tahun hingga Juni lalu.

Ketua Umum Gapkindo Moenardji Soedargo mengatakan ada penurunan jumlah produksidari hasil penyelidikan yang mereka lakukan. Itu terjadi lantaran tanaman karet petani terjangkit wabah gugur daun atau Pestalotiopsis sp sehingga berpengaruh pada produksi getah yang dihasilkan.

“Kami merasakan sekali kekurangan bahan baku. Setelah konsultasi ada penurunan produksi dan dari Kementan bilang ada penyakit gugur daun,” kata Moenardji saat dihubungi reporter Tirto, Jumat (26/7/2019).

Moenardji mengatakan dari informasi yang ia himpun, wabah ini sudah menyerang 380 ribu hektare perkebunan karet. Jumlah itu setara 10 persen dari total lahan kebun karet di Indonesia. Ia memperkirakan luas lahan yang terjangkit terus bertambah sehingga berpotensi signifikan memengaruhi penurunan produksi.

"Sementara 2019 ini penurunan produksi (karet) minimal bisa 15 persen dari 2018. Penurunan ekuivalen dengan 540 ribu ton," tutur Moenardji.

Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian, Kasdi Subagyono menyebut wabah ini muncul karena petani tak mampu membeli pupuk. Akibatnya tanaman karet menjadi rentan terhadap penyakit, karena petani hanya bisa merawat seadanya atau di bawah standar.

"Menurunnya ketahanan tanaman akibat ketidakmampuan petani/pekebun untuk merawat kebun sesuai standar. Hal ini utamanya karena turunnya harga karet pada level rendah dalam rentang waktu yang lama,” ucap Kasdi, Rabu (24/7/2019).

Kegagalan Pemerintah

Berbicara soal harga karet, pemerintah sebenarnya telah berupaya mengangkat nilai komoditas ini di dalam negeri. Pada akhir 2018, misalnya, Presiden Joko Widodo berjanji membeli karet petani untuk kebutuhan bahan baku aspal dalam proyek infrastruktur.

Hal itu Jokowi lakukan usai menerima curahan hati (curhat) dari petani di Palembang bahwa harga yang mereka terima hanya Rp6 ribu per kg.

"Saya sudah perintahkan. Saya sampaikan bahwa Kementerian Pekerjaan Umum (PU) akan beli langsung dari koperasi atau petani (di harga Rp 7.500-8.000 per kg)," ucap Jokowi, Ahad (25/8/2018), seperti dikutip dari Antara.

Tak hanya untuk infrastruktur, Kementerian Perindustrian pun turun tangan. Pada awal 2019, pemerintah berjanji menunjuk BUMN dan swasta agar menyerap karet petani untuk keperluan alat industri berbahan karet.

Meski begitu, penurunan harga karet terus terjadi, bahkan berbanding lurus dengan penurunan volume ekspornya.

Menurut peneliti cum dosen Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas Santoso masalah ini tak teratasi lantaran pemerintah salah langkah dalam mengantisipasi penurunan harga dan volume ekspor. Ia tak heran bila jurus-jurus pemerintah dalam upaya menjaga harga karet tidak mempan.

"Itu, mah, lucu-lucuan saja. Ini gimana [yang dilakukan] pemerintah, sesuatu yang tidak ada efeknya sama sekali. Bisa bayangkan karet jadi aspal maksudnya apa. Produk turunannya, kan, banyak," kata Dwi saat dihubungi reporter Tirto, Jumat (26/7/2019).

Menurut Dwi, masalah ini berasal dari lonjakan produksi karet sejumlah 8,3 juta ton pada 2016. Jumlah ini merupakan gabungan produksi Indonesia dan Thailand sebagai penghasil karet utama.

Dwi mengatakan, anjloknya ekspor karet bisa terhindar jika pemerintah bernegosiasi dengan Thailand untuk mengatur harga karet. Tanpa negosiasi, kata dia, berbagai upaya mengurangi produksi atau penyerapan karet dalam negeri bisa jadi percuma bila Thailand tetap meningkatkan produksi dan mengambil untung dari keadaan Indonesia.

Dwi melanjutkan, pemerintah juga terlambat mengembangkan industri hilir karet, padahal upaya jangka panjang diperlukan terutama untuk menyerap sebanyak mungkin karet dari petani.

Selain menjaga harga di tingkat petani, menurut Dwi, penting bagi pemerintah menjaga produksi dalam negeri tak tertinggal seperti saat ini, sehingga Thailand tak sampai mendominasi pasar.

"Bukan hanya persoalan domestik saja. Ini produksi dua negara melonjak drastis. Negosiasi negara ini amat diperlukan," ucap Dwi.

Dwi mengingatkan bila masalah ini terus berlanjut maka yang akan menjadi korban yang paling dirugikan adalah petani.

Nasib Petani Karet

Ketua Asosiasi Petani Karet Indonesia (Apkarindo), H. Lukman mengatakan saat ini jumlah petani karet terus menyusut karena banyak yang meninggalkan lahannya. Selain itu, ada juga petani yang mengalihkan sebagian lahan menjadi kebun sayuran.

Lukman menambahkan, ada juga petani yang menjual total lahannya dengan murah dan beralih pekerjaan. Alhasil perkebunan karet ada yang beralih menjadi kelapa sawit dan dikuasai perusahaan besar.

"Jumlah enggak sampai 70 persen dari total pekebun biasanya. Sampai 3 tahun ke depan enggak sampai 50 persen ini," kata Lukman saat dihubungi reporter Tirto, Jumat (26/7/2019).

"Jangankan merawat kebun. Makan saja enggak bisa. Kami menunggu mati, aja. Enggak ada respons pemerintah,” tambahnya.

Pada April 2019 saja, petani karet di Sumatera Selatan sudah tidak memedulikan lahan karet karena biaya yang dikeluarkan tidak sebanding penghasilannya.

Sejak harga jatuh selama 5 tahun terakhir, pendapatan petani karet menyusut. Dari satu hektar (Ha), mereka hanya mendapat Rp700 ribu hingga Rp800 ribu per bulan. Padahal, masyarakat umumnya hanya memiliki 1 sampai 2 Ha saja.

"Dulu pemerintah suruh kami tanam karet. Eh sudah ditanam rupanya saat harga jatuh pemerintah tidak bisa berbuat apa-apa," ucap Surono, pekebun karet seperti diberitakan Antara.

Baca juga artikel terkait HARGA KARET JATUH atau tulisan lainnya dari Vincent Fabian Thomas

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Vincent Fabian Thomas
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Gilang Ramadhan