Menuju konten utama

Nasib Pengamen Saat Lagu Walkot Depok akan Diputar di Lampu Merah

Sejumlah pengamen keberatan dengan rencana Pemkot Depok memutar lagu di lampu merah. Bagaimana nasib mereka bila kebijakan ini jadi diterapkan?

Nasib Pengamen Saat Lagu Walkot Depok akan Diputar di Lampu Merah
Kemacetan di Kawasan Margonda, Depok, Jawa Barat. tirto.id/Andrey Gromico

tirto.id - Rencana Pemerintah Kota Depok yang akan memutar lagu di lampu merah ramai diperbincangkan di jagat maya. Lagu “hati-hati” ciptaan Wali Kota (Walkot) Depok Mohammad Idris Abdul Shomad yang rencana akan diputar bahkan viral di media sosial.

Kepala Bidang Bimbingan Keselamatan dan Ketertiban (Bimkestib) Dishub Kota Depok Agus Tamim mengatakan program tersebut sudah punya nama, yaitu: Joyful Traffic Management alias JoTRAM. Ia menyebut, saat ini lagu yang akan diputar masih diaransemen.

“Ini lagi diaransemen. Kami dapatkan informasi seperti itu [lagu ciptaan walkot Depok akan diputar]. Kalau dangdut, nanti pada joget lagi,” kata Agus saat dikonfirmasi reporter Tirto, Senin (15/7/2019).

Lalu, bagaimana dengan nasib pengamen yang biasa mencari rezeki di lampu merah?

Reporter Tirto menemui beberapa pengamen yang biasa beroperasi di lampu merah di Kota Depok, pada Selasa (16/7/2019). Mereka mengaku keberatan dengan rencana kebijakan tersebut, karena dinilai akan berdampak pada pendapatannya.

Salah satunya adalah Anita (39 tahun) yang saya temui pada Selasa siang. Di tengah terik matahari, sekitar pukul 12.00, Anita menggendong anaknya yang masih balita di simpang jalan lampu merah Jalan Margonda Raya menuju Juanda, Kota Depok, Jawa Barat.

Saat itu, Anita bersama balitanya tengah mengais rezeki dengan cara mengamen. Anita hanya bermodalkan kecrekan dan kantong plastik permen berukuran besar untuk mencari pundi-pundi rupiah.

“Ibu sebenarnya dagang tisu dek, ini karena ibu untuk bayar daftar ulang, sambilan saja [ngamen]. Ini cuma sebentar saja nyari duitnya, sekadar dapat Rp50.000 apa Rp30.000, atau buat jajan anak-anak saja,” kata dia saat duduk di trotoar jalan.

Ia pun bercerita bahwa dia merupakan pemain baru di lampu merah itu. Namun, baru saja mulai menekuni pekerjaan sampingannya sebagai pengamen, Anita harus menerima kabar buruk. Sebab, Pemkot Depok berencana akan membuat program JoTRAM.

Pada program ini, Pemkot Depok berencana akan memasang pengeras suara di beberapa titik di lampu merah dan menyetel sebuah lagu untuk mengimbau agar para pengendara mengikuti peraturan lalu lintas dan tidak stres saat menunggu giliran jalan.

Menurut dia, jika Pemkot Depok benar-benar menerapkan program tersebut di setiap lampu merah, terutama di daerah simpang jalan Margonda Raya-Juanda, maka akan mengganggu dirinya dalam mencari nafkah.

“Ya mengganggu lah, kan, karena sudah ada speaker, ada suaranya, saya juga [ngamen] jadi balap-balapan. Saya juga maklum sama bapak wali kota kalau ada kebijakan untuk masang lagu di lampu merah. Kami orang kecil mah ngikutin saja,” kata dia kepada reporter Tirto.

Anita mengaku tidak tahu nasibnya bila kebijakan tersebut benar-benar diterapkan. Saat ini yang ada dalam benaknya hanya melanjutkan profesinya sebagai penjual tisu di lampu merah. Itu pun bila diperbolehkan oleh Satpol PP.

Nasib yang sama juga dialami pengamen lainnya, seperti Dimas (16 tahun) dan ketiga temannya, yaitu Shifa (19), Gopin (20), dan Bagol (19). Keempat pemuda tersebut biasa menghasilkan sekitar Rp80.000 hingga Rp100.000 seharian saat mengamen.

Mereka berempat pun mengaku keberatan jika program menyalakan lagu dengan pengeras suara di sejumlah lampu merah diterapkan Pemkot Depok.

“Ya sebenernya kami ngamen nyari duit di lampu merah. Kalau ada yang kaya gitu, berarti mengganggu. Dampaknya mengganggu suara, rezekinya juga kurang,” ujar Dimas sambil memegang alat musik ukulele yang akan dia mainkan saat ngamen.

Mereka bahkan mengatakan, kebijakan Pemkot Depok itu berpotensi mengganggunya dalam berekspresi melalui musik.

Keempat pengamen itu juga berharap, jika kebijakan itu benar-benar diterapkan, maka Pemkot Depok dapat memberikan ruang bagi mereka untuk mencari rezeki dengan cara tetap bermusik.

“Jadi biar kami enggak di jalan, ibaratnya kami dikasih kerjaan lah. Misal di rumah makan, kami disuruh main musik. Kalau [di lampu merah] dikasih speaker, kami mau teriak di mana?” kata dia mempertanyakan.

Butuh Ruang Ekspresi

Rektor Institut Musik Jalanan (IMJ) Andi Malewa mengatakan, jika Pemkot Depok menerapkan kebijakan tersebut, seharusnya juga bertanggung jawab terhadap para pengamen dengan cara menyediakan ruang publik bagi mereka.

"Kota ini, kan, seharusnya punya ruang publik untuk para musisi jalanan berekspresi. Kenapa pengamen ngamen di jalanan? Salah satunya karena mereka tidak punya ruang berekspresi yang benar, akhirnya mereka menjadikan jalanan sebagai panggung. Padahal itu yang dijadikan zona merah yang tidak boleh dilakukan untuk kegiatan ngamen dan lainnya,” ujarnya kepada Tirto, Selasa (16/7/2019).

Andi menjelaskan, ruang publik tersebut seperti di setiap stasiun di Kota Depok, terminal, mal, dan lainnya dengan cara disediakan spot untuk mengamen.

"Seperti di Jogja, Semarang, Bandung dan lainnya yang dijadikan panggung ekspresi. Terus juga di taman-taman kota tempat kita berekspresi, banyak lah," ucap Andi.

Selain itu, kata dia, seharusnya Dinas Sosial Pemkot Depok mendata jumlah pengamen yang ada di daerah itu. Kemudian bekerja sama dengan komunitas musik jalanan agar dapat disalurkan ke tempat-tempat yang layak untuk ngamen.

“Bagaimana mereka bisa direkomendasikan main di tempat-tempat yang sekiranya agar mereka bisa berekspresi secara legal, tidak dikejar-kejar Satpol PP lagi,” kata Andi.

Sementara itu, Kepala Dinas Perhubungan Kota Depok, Dadang Wihana mengatakan, untuk pemberdayaan para pemain musik jalanan yang biasa mengamen di lampu merah, pihaknya akan menyediakan tempat untuk berkreasi di setiap terminal Depok.

Sehingga, kata Dadang, para pemain musik jalanan itu bisa lebih tertib dan diberi tempat yang manusiawi, yakni tidak di jalanan lampu merah lagi.

“Kami berikan spot di terminal, agar mereka bisa tampil secara elegan dan manusiawi. Kami berdayakan mereka,” kata Dadang saat dihubungi reporter Tirto, Selasa (16/7/2019).

Dadang menuturkan, para pemain musik jalanan itu nantinya akan disediakan ruang ekspresi berupa tenda yang berlokasi di terminal-terminal tersebut untuk menampilkan karyanya dan mencari pundi-pundi rupiah.

Namun, untuk perlengkapan bermain musik lainnya, seperti gitar, drum, sound system dan lainnya tidak disediakan oleh Pemkot Depok. Dadang mengatakan, peralatan musik tersebut dibawa oleh para musisi jalanan itu sendiri.

Baca juga artikel terkait PEMKOT DEPOK atau tulisan lainnya dari Riyan Setiawan

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Riyan Setiawan
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Abdul Aziz