Menuju konten utama

Nasib Penderita Kusta Diasingkan Negara dan Agama

Penyakit kusta sudah ada sejak ribuan tahun yang lalu dan banyak menerima stigma negatif serta perlakuan diskriminatif. Berbagai tradisi agama melanggengkan ketidakadilan ini.

Nasib Penderita Kusta Diasingkan Negara dan Agama
Pulau Spinalonga, Yunani. FOTO/Youtube

tirto.id - Kusta sebagai penyakit kulit selama ini dianggap buruk oleh beberapa orang. Stigma negatif dan perlakuan diskriminatif kerap dialami para penderita kusta di seluruh dunia, tidak terkecuali di Indonesia.

Di sisi lain, penderita merespons dengan menyembunyikan penyakit kustanya karena takut dijauhi lingkungan sekitar. Hal ini disampaikan oleh Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kemenkes HM Subuh terhadap kondisi relasi antara penderita kusta dan masyarakat umum di Indonesia.

Atas fenomena ini, Subuh mengatakan bahwa pihaknya mendapat tantangan dengan fenomena stigma negatif terhadap penderita kusta. "Tantangan yang kita hadapi adalah mengatasi masalah stigma ini," kata Subuh di Jakarta, Jumat (27/1) awal tahun kemarin seperti dilansir dari Antara.

Merujuk rekapitulasi data Dinas Kesehatan 2016, wilayah Indonesia timur masih menyimpan angka penderita kusta yang tinggi dibanding wilayah lainnya.

Dengan hitungan angka prevalensi per 100.000 penduduk, Papua Barat memuncaki peringkat terbanyak penderita kusta dengan 15.07 orang. Disusul Maluku Utara (4,92), Maluku (3,33), Gorontalo (2,72), Sulawesi Barat (2.09), Sulawesi Tenggara (1,71) dan Sulawesi Utara (1,67).

Pemerintah Indonesia sendiri menargetkan penyakit kusta dapat dieliminasi secara nasional pada 2019.

Bakteri Mycobacterum leprae—yang menyerang kulit dengan ganas hingga dapat membuat cacat anggota bagian tubuh—dianggap sebagai penyakit kutukan, menjijikkan, menular dan patut dijauhi. Tentu saja klaim ini amat membuat pedih para penderitanya. Sudah sakit, dijauhi pula.

Koloni Lepra

Di Teluk Mirabello, Yunani terdapat sebuah pulau dengan luas 8.5 hektar bernama Spinalonga. Pulau yang kini tak berpenghuni ini menjadi saksi bisu sejarah kelam tempat para penderita kusta di Yunani diasingkan.

Kebijakan ini dimulai pada 1904. Setelah orang-orang Kreta mengusir orang-orang Turki, mereka menjadikan pulau kecil ini sebagai daerah koloni penderita kusta. Dilansir dari BBC, praktik pembuangan para penderita kusta terus berlanjut dan makin ganas pada 1913 saat wilayah ini masuk bagian Yunani.

Guna memastikan agar kusta tidak menular ke orang lain, para penderita diusir dari rumahnya, dibuang jauh dari kerabat dan keluarga sampai akhirnya berakhir di Spinalonga. Kepemilikan harta benda dan hak-hak sipil mereka juga dilucuti, mulai dari aset properti dan keuangan sampai identitas diri dan kewarganegaraan mereka pun dicabut. Puncaknya, koloni tersebut dihuni hampir 400 penduduk.

Baca juga: Penyakit Tak Menular jadi Ancaman Kesehatan Baru di Afrika

Hidup di Spinalonga sudah seperti di neraka bagi para penderita kusta. Mereka tak hanya dibuang, tetapi pengobatan yang sejatinya bisa meringankan derita sakit tidak pernah diberikan. Adapun dokter yang pergi ke pulau tersebut hanya untuk mengobati orang yang terkena penyakit selain kusta.

Pintu masuk ke terowongan bagi penderita kusta di Spinalonga bahkan dijuluki sebagai “Dante’s Gate” yang merujuk pada neraka lantaran para korban tidak tahu apa yang bakal terjadi dalam sisa hidupnya di tempat ini.

Ditemukannya pengobatan untuk kusta pada awal tahun 1940-an tak membuat Yunani membubarkan koloni penderita kusta di Spinalonga. Mereka tetap mengoperasikannya sampai 1957.

Seorang ahli dari Inggris mengunjungi pulau tersebut. Ia mulai mengumpulkan laporan yang memberatkan dan mencela peran dokter di pulau tersebut. Terbukti negara gagal memberikan perawatan medis yang tepat dan hunian yang layak, baru pemerintah Yunani secara resmi menutup Spinalonga sebagai daerah buangan.

Beberapa dekade setelah penutupan Spinalonga sebagai koloni penderita kusta pada 1957, pemerintah Yunani pernah membakar segala arsip di pulau tersebut guna menghilangkan jejak. Diperparah dengan para penderita kusta yang masih hidup menolak untuk menceritakan dan berbicara lantang tentang penderitaan mereka.

Penghuni terakhir di Spinalonga adalah seorang imam Gereja Ortodoks Yunani yang bertugas memberikan pelayanan di daerah tersebut hingga 1962.

Baca juga: Virus-virus yang Menghantui Dunia

Kendati sedikit bekas penghuni Spinangola yang mau menceritakan pengalamannya, ternyata ada satu memoar yang ditulis oleh penderita kusta di Spinalonga bernama Epaminondas Remoundakis. Ditulis bersama Maurice Born dan diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris sebagai Lives and Deaths of a Cretan Leper, buku Remoundakis mengungkap pengalaman tragis di Spinalonga.

Jauh sebelum dikenal sebagai koloni penderita kusta, Spinalonga sudah lebih dahulu digunakan sebagai benteng dan arena perebutan kekuasaan wilayah antara Venesia dan Turki.

Di tengah Perang Kreta (1645-1669) antara Venisia dan Kekhalifahan Usmani, warga Venesia memfungsikan pulau ini sebagai benteng pertahanan strategis di Mediterania demi membela Kreta.

Meski pada 1669 pulau Spinalonga masih milik Venesia, tapi pengepungan pada 1715 memaksa statusnya berpindah tangan ke Imperium Usmani. Tentara Venesia meninggalkan Spinalonga, dan 600 orang penghuni pulau itu ditangkap.

Baca juga: Hari Kemenangan Turki Melawan Invasi Yunani

Sejak 1715, Spinalonga berada di bawah kendali warga muslim yang banyak bermukim di pulau kecil ini. Desa-desa berkembang sampai pertengahan abad ke-19. Pada fakta bahwa Spinalonga menampung 1.112 penduduk menjadikannya pusat perdagangan muslim terbesar di teluk Mirabello.

Pecahnya revolusi Kreta 1866 yang diikuti krisis Imperium Usmani beserta daerah-daerah kekuasaannya membuat nasib Spinalonga kembali jatuh di tangan Kreta yang menjelma sebuah negara. Bertahun-tahun kemudian, Spinalonga ditetapkan sebagai daerah koloni penderita kusta oleh pemerintahan Yunani.

Jejak Stigma Buruk Kusta

Jesse T. Jacob dan Carlos Franco-Paredes dalam sebuah artikel jurnal berjudul “The Stigmatization of Leprosy in India and Its Impact on Future Approaches to Elimination and Control” mengurutkan bagaimana awal mula penyakit kusta distigma negatif dalam tatanan masyarakat.

Salah satu bukti tertua bahwa penyakit kusta sudah dianggap buruk dan penderitanya layak dipisahkan dari masyarakat adalah teks dalam Veda Atharava dan Hukum Manu dari peradaban India kuno yang masing-masing berumur 2000 SM dan 1500 SM.

Bagi masyarakat India kuno, ada beberapa faktor mengapa mereka menyisihkan para penderita kusta. Di antaranya adalah sifat penyakit kronis yang dianggap dapat menodai manusia lainnya, berhubungan dengan dosa, dan ketakutan bahaya penularan penyakit.

Stigma terhadap penderita kusta di India kemudian diklaim sebagai sumber yang mengilhami pandangan serupa di belahan bumi lain. Seiring menyebarnya kusta melalui perdagangan dan perang, mulai dari Cina, Mesir, Timur Tengah dan kemudian Eropa dan Amerika, pandangan negatif terus dilestarikan, terutama lewat tradisi keagamaan.

Baca juga: Utang Membuat Yunani Terpuruk

Dalam masyarakat Yahudi kuno misalnya, orang yang sembuh dari sakit kusta diperintahkan segera menghadap seorang imam yang akan membimbing proses “perdamaian dengan Tuhan”, dan segala ritual lain agar dosa-dosa masa lalu dihapuskan dan diampuni. Namun demikian, pandangan tersebut tidak merepresentasikan orang Yahudi masa kini.

Pandangan negatif terhadap para penderita kusta terus diwariskan sehingga membentuk persepsi sosial masyarakat Eropa Abad Pertengahan. Herbert C. Covey dalam artikel “People with leprosy (Hansen’s disease) during the Middle Ages” menyebutkan, penderita kusta dipandang najis, tidak dapat dipercaya, dan rusak moralnya.

Mereka yang terjangkit kusta juga diharuskan mengenakan pakaian khusus untuk membedakan diri dari yang bukan penderita. Ada kalanya mereka wajib membawa lonceng, yang berfungi menandai kedatangan mereka. Bahkan Raja Edward III di Inggris pernah mengusir orang kusta keluar dari kota.

Stigma negatif disertai perlakuan diskriminatif masih terus dipertahankan ketika Eropa menjadi kekuatan kolonialis. Pemerintah-pemerintah kolonial mengisolasi siapapun yang mengidap kusta dari wilayah jajahan karena takut tertular. Gussow, Zachary Gussow dalam buku berjudul Leprosy, Racism, and Public Health (1989) menyebutkan, pemahaman bakteriologi yang minim dan kurangnya kemampuan diagnostis penyakit memperparah perilaku sosial ini.

Spinalonga hanyalah satu dari sekian contoh pengasingan penderita kusta. Di Italia, terdapat koloni kusta di pulau Lazaretto. Di Rumania, ada Tichilești yang pada 1875 menjadi daerah koloni kusta. Di Kalaupapa Hawaii, Amerika Serikat, sebuah koloni kusta didirikan bagi penderita akut. Contoh lain yang terdokumentasikan maupun tidak, tak terhitung banyaknya.

Menurut WHO, penyakit kusta disebabkan oleh Mycobacterium leprae yang menyerang kulit, saraf perifer, mukosa saluran pernapasan atas, dan mata. Penyakit ini dapat disembuhkan dengan terapi multi-obat. Pengobatan pada tahap awal dapat mencegah kecacatan organ tubuh.

infografik dibuang ke pulau kusta

Kusta memang menular, tetapi hanya dapat ditularkan melalui cairan dari hidung dan mulut. Penyakit ini dapat menular jika terjadi kontak berulang dalam jangka waktu yang lama.

Baca juga: Salah "Resep" Industri Bahan Baku Obat

Pengucilan penderita kusta di Indonesia jamak terjadi, contohnya di Manado, Sulawesi Utara. Felix Rega (65) beserta keluarga pernah mengidap sakit kusta dan sempat dikucilkan. Tindakan diskriminatif itu membuatnya trauma.

"Dulu kami ada 108 orang yang direlokasi ke sini saat rumah sakit kusta di Malalayang ditutup. Pemerintah menyediakan tempat tinggal bagi kami di sini, karena kami tidak diterima jika pulang ke kampung," tutur Felix pada Maret lalu seperti dikutip Kompas.

Lokasi penampungan orang yang pernah mengalami kusta ini dinamai “Lembah Nugraha Hayat”. Bahkan ketika sudah sembuh, julukan “orang lokasi” masih melekat pada diri mereka.

Ketidakadilan terhadap (bekas) penderita kusta tak cuma berlangsung secara verbal. Beberapa kelompok masyarakat bahkan pernah menyerang dan menjebol rumah bekas penderita mereka yang hanya berdinding tripleks.

Cerita lain datang dari Muhammad Amin Rafi, seorang mantan penderita kusta dari Sulawesi Selatan yang dipaksa pensiun dini dari dinas PNS yang baru dimasukinya selama tiga tahun. Ia keluar lantaran diketahui positif menderita kusta.

Sebagaimana dilaporkan Antara, meski sudah sembuh Rafi tetap mendapat pandangan negatif dari masyarakat yang menganggap kusta sebagai penyakit menular, tidak bisa diobati, dan hukuman dari Tuhan.

Baca juga artikel terkait KOLONIALISME atau tulisan lainnya dari Tony Firman

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Tony Firman
Penulis: Tony Firman
Editor: Windu Jusuf