Menuju konten utama

Nasib Mantan TNI di Masa Senja: Saat Usia Tak Bisa Bohongi Stamina

Kenangan dan harapan para purnawirawan menghabiskan masa tua dengan uang pensiun yang pas-pasan.

Nasib Mantan TNI di Masa Senja: Saat Usia Tak Bisa Bohongi Stamina
Komandan Lantamal VII Kupang, Brigjen TNI (Mar) K. Situmorang (Kanan) memberikan secara simbolis kunci rumah kepada Serka (P) Purnawiraan Agus Jawa saat meninjau rumah hasil bedah milik seorang Purnawirawan yang baru selesai dibedah di Kota Kupang, NTT (10/12/18). ANTARA FOTO/Kornelis Kaha/hp.

tirto.id - Hubri (78 tahun) tengah asik menonton televisi di teras rumahnya di kawasan Kalisari, Pasar Rebo, Jakarta Timur saat saya tiba pada Jumat 1 Februari 2019 lalu. Dengan hanya mengenakan kaus dalam dan sarung, purnawirawan TNI Angkatan Darat (AD) ini mengomentari tayangan berita di sebuah stasiun televisi soal keputusan Presiden Joko Widodo (Jokowi) memperpanjang masa pensiun TNI dari 53 tahun menjadi 58 tahun.

"Ketuaan itu 58 tahun, saya pensiun umur 50 sudah enggak gagah lagi bertugas. Enggak bugar," ujar pria kelahiran Lahat, Sumatera Selatan ini.

Menurut Hubri pensiun pada usia 53 tahun bagi anggota TNI sudah proporsional. Ia percaya usia tidak bisa mengakali stamina. "Daripada dia bertugas buruk karena tua, kan. Mestinya sudah istirahat umur 53," ujar Hubri sembari mengencangkan sarungnya yang melorot.

Karir militer Hubri dimulai pada 1961. Kala itu usianya baru menginjak 19 tahun. Motivasinya bergabung ke korps baju hijau adalah untuk menjawab seruan Sukarno merebut Irian Barat. Ia masuk pendidikan calon prajurit tamtama di Palembang.

Masa tugasnya ia habiskan di Batalyon Kavaleri 7/Panser Khusus Kodam Jaya. Di sana Hubri terjun ke operasi-operasi militer dari Dwikora, Trikora, hingga United Nation Operation in the Congo.

"Alhamdulillah enggak pernah kenapa-kenapa pas aktif. Paling teman yang lain, komandan saya waktu di Kongo tewas, itu saya yang bantu urus jenazahnya," kenangnya.

Hubri mengakhiri masa tugasnya pada 1994, terutama karena kondisi fisiknya yang menurun. Selain itu, ia ingin segera menjadi sipil.

Selepas pensiun Hubri yang merupakan tamatan SD sempat bekerja selama dua tahun sebagai pengurus bagian keuangan sebuah koperasi di Cijantung.

"Lumayan waktu di koperasi saya bikin koperasi bangkit lagi. Sebelum saya di situ kasnya defisit melulu," tuturnya sumringah.

Namun Hubri hanya bertahan dua tahun. Energinya keburu kendor dan lebih cocok menikmati masa tua.

Lebih Baik Tingkatkan Kesejahteraan

Marsin, pensiunan TNI AD lainnya juga punya pandangan hampir senada dengan Hubri. Menurutnya apabila kesejahteraan jadi dalil pemerintah memperpanjang masa pensiun, maka yang mestinya dilakukan adalah memperbaiki kesejahteraan para anggota dan pensiunan TNI itu. Bukan memperlama masa bekerja.

"Bagusan disejahterakan lagi pas pensiun. Walaupun senang dan bangga, tetap bertugas puluhan tahun capek," ucap Marsin sambil menyilangkan kaki di teras rumahnya.

Marsin gantung senjata pada 1990. Ia lalu bergulat dalam rutinitas sebagai pekerja swasta. Ia sempat menjadi satpam hingga staf sebuah perusahaan.

"Tapi pengalaman kerja paling berkesan, ya, pas bertugas dulu menumpas PRRI/Permesta dulu," kata Marsin.

Selama bertugas Marsin pernah terlibat dalam penumpasan gerakan DI/TII, PRRI/Permesta, hingga G30S PKI.

Uang Pensiun yang Pas-pasan

Seperti Hubri, Marsin bertugas di Yonkav 7 Panser Cijantung. Sempat juga diterbangkan ke Kongo dalam operasi UNEC.

"Di raiders saya. Yang gebuk pertama kali kalau ada musuh. PRRI di Sumatera dulu kita kagetin lewat hutan," imbuh bapak empat anak ini.

Hubri dan Marsin bernasib serupa usai pensiun. Hidup pas-pasan ditemani isteri dan sesekali dijenguk anak dan cucu.

Uang pensiun pertama yang diterima Hubri sebagai tamtama berpangkat prajurit sebesar Rp100 ribu per bulan.

Besarannya berangsur meningkat, tapi ia tak ingat sejak kapan. Kini, satu-satunya pemasukan ia adalah pensiunan Rp1,3 juta per bulan.

"Tahun 2014 sempat dipotong karena isteri meninggal, tunjangan dipangkas karena enggak ada tanggungan lagi. Tapi, langsung nikah lagi supaya ada yang ngurusi saya kalau sakit atau apa," kata Hubri.

Selepas pensiun Hubri langsung hengkang dari rumah dinas. Ia membeli rumah petakan seluas 3x6 meter yang saat ini catnya tampak banyak mengelupas.

"Semenjak pensiun saya sudah enggak di kompleks AD lagi, beli rumah di sini. Uang tabungan perumahan tentara (Tapera) saya ambil, enggak untuk beli rumah di kompleks AD, tapi buat rumah ini"

Ia mengatakan uang pensiun sebesar itu sangat pas-pasan untuk bertahan hidup di tengah harga yang kian naik. "Dicukup-cukupi saja. Kalau kita punyanya 150 ya buat makan 70 aja, kalau 100 ya dipakai 50 buat berdua sama isteri. Enggak bisa apa lagi, yang penting bersyukur," imbuhnya

Marsin, mendapat tunjangan 2,3 juta perbulan. Itu setelah dipangkas karena isterinya meninggal pada 2018.

Tunjangan yang pas-pasan membuat Marsin tak bisa lagi menabung. Tabungannya di saat masih kerja hampir habis.

"Cuma ngandalin uang yang dikumpul pas kerja, padahal suka ada yang mendadak. Biaya makam isteri, dandanin rumah, sama kalau anak lagi kepepet butuh uang, kan, sulit," imbuhnya.

Soal rumah, Marsin membeli rumahnya sendiri di luar program tapera. Bagi seorang duda paruhbaya, besarnya memang terlampau luas.

"Syukurnya anak dan cucu ada aja sebulan sekali nginap di sini. Jadi ramai," kata Marsin.

Menyinggung wacana perpanjangan usia pensiun tentara, Marsin khawatir kesejahteraan masa tuanya yang tak kunjung membaik.

"Kalau diperpanjang aja usia pensiunnya, yang sudah lama pensiunnya kayak saya dan Hubri ga merasakan kebijakan itu," imbuhnya.

Meskipun begitu, Marsin mempertunjukkan ironi purnawirawan yang kentara. Semangat korsa, nasionalisme, dan kebijaksanaan leluhur membuat Marsin seketika eling. "Namun, semestinya bukan kita yang berharap. Apa yang bisa kita korbankan untuk negara. Sabar lan narimo marganing basuki(bersabar dan bersyukur akan selamat)," tungkas Marsin.

Baca juga artikel terkait TNI atau tulisan lainnya dari Mulia Ramdhan Fauzani

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Mulia Ramdhan Fauzani
Penulis: Mulia Ramdhan Fauzani
Editor: Jay Akbar