Menuju konten utama

Nasib Mahasiswa Tingkat Akhir Saat Pandemi Corona COVID-19

Pandemi Corona atau COVID-19 yang terjadi di Indonesia membuat mahasiswa tingkat akhir di sejumlah kampus kerepotan menyelesaikan tugas.

Nasib Mahasiswa Tingkat Akhir Saat Pandemi Corona COVID-19
Seorang mahasiswa Ahmad Ulul Arham mengikuti ujian skripsi secara daring menggunakan aplikasi Zoom di Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Jember, Jawa Timur, Rabu (8/4/2020). ANTARA FOTO/Seno/aww.

tirto.id - Sejumlah mahasiswa tingkat akhir dari berbagai kampus merasa kesulitan mengerjakan tugas akhir karena pandemi COVID-19 yang mendera Indonesia sejak awal Maret 2020. Salah satu yang merasakan itu adalah Yulia Sriezeki, mahasiswa Ilmu Gizi Fakultas Kesehatan UPN Veteran Jakarta.

Yulia kebingungan untuk menuntaskan skripsinya karena terhalang kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang diterapkan pemerintah DKI. Ia tidak bisa keluar rumah untuk mendapatkan data primer penelitian. Padahal data primer merupakan kunci utama validasi atas skripsinya tersebut, kata Yulia.

Yulia memilih meneliti dampak klinis diabetes mellitus dalam komunitas senam diabetes. Ia berencana melibatkan responden dari dua rumah sakit di bilangan Jakarta Timur. Karena pandemi COVID-19, kegiatan senam itu ditiadakan. Yulia mendapatkan persoalannya yang pertama.

Sebetulnya Yulia bisa saja tidak ambil pusing soal kebutuhan data primer. Sebab Plt Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi (Dikti) Kemendikbud Nizam menganjurkan setiap PTN dan PTS tidak memberatkan para mahasiswa dalam mengerjakan tugas akhir, dengan tidak harus ke lapangan untuk mendulang data primer.

Nizam menyerahkan ke dosen pembimbing masing-masing untuk penerapan mekanisme lebih lanjut.

Yulia memahami bahwa alternatifnya, ia perlu menggunakan kuesioner daring. Namun ia memiliki persoalan kedua: materi kuesioner yang tidak familier dan responden rerata berusia lanjut.

“Sehingga akan kesulitan dalam menggunakan teknologi seperti isi kuesioner dalam GForm atau wawancara video call. Biasnya sangat besar pada data yang saya ambil,” kata dia kepada reporter Tirto, Kamis (9/4/2020).

Ia pun berharap pandemi COVID-19 bisa segera berakhir.

Satu hal yang cukup melegakan Yulia, yakni aturan kelonggaran waktu yang diberikan Kemendikbud melalui Surat Edaran Nomor 302/E.E2/KR/2020.

Pada poin (1) surat itu menyebutkan: masa belajar paling lama bagi mahasiswa yang seharusnya berakhir pada semester genap 2019/2020, dapat diperpanjang satu semester dan pengaturannya diserahkan kepada Pimpinan Perguruan Tinggi sesuai dengan kondisi dan situasi setempat.

“Saya harapkan dari fleksibelnya kebijakan kampus untuk memperpanjang pengambilan data skripsi, tanpa membayar UKT lagi di semester baru,” kata Yulia.

Kondisi tak jauh berbeda dirasakan Syakirun Ni'am. Mahasiswa Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora UIN Kalijaga ini kesulitan mengakses buku-buku sebagai sumber bacaan untuk menopang skripsi. Hal baiknya, ia tidak perlu keluar rumah untuk mencari responden penelitian.

Ni'am menjadikan koran lokal sebagai subjek penelitian skripsi. Ia terbantu dengan format koran yang bisa diakses dalam bentuk digital. Kendalanya ada pada akses buku-buku penunjang penelitian karena perpustakaan universitas ditutup.

Ia tidak mungkin membeli buku baru, sebab sebagai perantau dari Cilacap, Jawa Tengah, Ni'am harus menghemat uang selama berada di daerah rantau.

“Memang dapat link jurnal dan referensi penunjang lain, tapi buku juga penting. Jadinya ribet, nyari ke teman,” kata dia kepada reporter Tirto, Kamis (9/4/2020).

Itu persoalan Ni'am yang pertama. Persoalan kedua, pandemi COVID-19 membikin format bimbingan serba daring. Namun bukan berarti hal itu menjadikan bimbingan skripsi lebih efektif daripada bertatap muka.

Ia mendaku beruntung dibimbing oleh dosen yang ramah meski format bimbingan seperti ini tetap tidak ideal baginya.

"Kadang komunikasinya terhambat. Misal enggak bisa kasih feedback secara cepat, pesannya terbatas. Secara efektivitas masih kalah jauh dengan tatap muka," ujar dia.

Nasib lebih beruntung dialami Cindy Fitriani. Mahasiswa jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Surabaya ini tidak perlu keluar rumah untuk mendapatkan data primer, sebab metode yang ia gunakan kualitatif.

Selain itu, kampus pun sudah menganjurkan agar para mahasiswa yang kesulitan mendapatkan data primer di lapangan untuk mengubah desain penelitian dengan menggunakan data sekunder atau kajian pustaka kritis tanpa harus melaksanakan seminar proposal kembali.

Unesa merupakan salah satu universitas yang memperbolehkan mahasiswanya mengambil tugas akhir membuat artikel ilmiah sebagai pengganti skripsi. Hal tersebut tertuang dalam Surat Edaran Rektor nomor B/17447/UN38/HK.01.01/2020.

Namun karena kebijakan rektor tersebut dikembalikan lagi kepada fakultas masing-masing. Cindy sendiri memilih untuk tetap menggunakan skipsi. Ia ragu jika harus menyelesaikan masa akhir perkuliahan dengan jalur pembuatan artikel ilmiah.

"Unesa belum ada payung hukum yang menjamin lulusan yang menggunakan artikel. Apabila daftar S2, CPNS, dan pekerjaan lain yang ditanyakan skripsi. Artikel ilmiah entah diterima atau tidak," kata dia kepada reporter Tirto, Jumat (10/4/2020).

Plt Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi (Dikti) Kemendikbud Nizam sebelumnya secara implisit mengatakan pihak PTN dan PTS agar tidak mempersulit tugas akhir dan skripsi mahasiswa selama darurat COVID-19.

“Jadwal ujian silakan diatur sesuai perkembangan. Bentuknya tidak harus konvensional. Tetapi bisa dalam bentuk penugasan, esai, kajian pustaka, analisa data, proyek manidiri, dan lainnya,” kata Nizam.

Nizam menambahkan, “Yang penting didasarkan pada capaian pembelajaran yang diharapkan. Jadwal praktik bisa digeser, akhir semester bisa digeser, kalender akademik bisa disesuaikan, yang tidak boleh dikompromikan adalah kualitas pembelajarannya.”

Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji merespons baik kebijakan Kemendikbud ini. Perihal penerapan tugas akhir, menurut Ubaid, skripsi maupun karya ilmiah buka sesuatu yang perlu diperdebatkan. Keduanya bisa berjalan beriringan dengan tetap memperhatikan kejujuran dan keaslian produk akademik itu sendiri.

"Jika tidak, maka plagiasi menjadi sangat berpotensi dalam kasus semacam ini. Untuk itu kampus harus mendeteksi kemungkinan plagiasi," kata Ubaid kepada reporter Tirto, Jumat (10/4/2020).

Ubaid menambahkan, "Selain itu karya ilmiah ini juga harus diuji. Mekanismenya bisa dilakukan dengan memanfaatkan teknologi. Ini sangat mudah dilakukan.”

Sekretaris Jenderal Asosiasi Dosen Indonesia (ADI) Amirsyah Tambunan tidak khawatir dengan potensi plagiarisme. Menurutnya, kampus beserta dosen yang bertugas pasti sudah memiliki mekanisme untuk memeriksa keaslian tugas akhir.

"Itu sudah ada mesin cek plagiarisme di Google. Sudah secara otomatis bisa mengecek. Bisa dihindari plagiarisme itu," ujarnya kepada reporter Tirto, Jumat (10/4/2020).

Baca juga artikel terkait VIRUS CORONA atau tulisan lainnya dari Alfian Putra Abdi

tirto.id - Pendidikan
Reporter: Alfian Putra Abdi
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Abdul Aziz