Menuju konten utama

Nasib KPK Bila Delik Korupsi Masuk dalam RKUHP

Legislatif memasukkan delik korupsi dalam RKUHP yang bakal disahkan setelah Idul Fitri. Menurut ICW, hal ini bakal membuat KPK lemah karena hanya akan jadi "Komisi Pencegahan Korupsi."

Nasib KPK Bila Delik Korupsi Masuk dalam RKUHP
Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif memberikan keterangan pers tentang tanggapan KPK terhadap RKUHP di gedung KPK, Kamis (30/5/2018). ANTARA FOTO/Aprillio Akbar

tirto.id - Indonesia Corruption Watch (ICW) memprotes masuknya delik tindak pidana korupsi (tipikor) dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Hal ini terkait pembahasan RKUHP di parlemen.

Aktivis ICW, Laola Ester, menilai hal ini dapat membuat aparat penegak hukum memiliki diskresi (kebebasan mengambil keputusan sendiri) untuk menerapkan pasal terhadap tersangka dan terdakwa korupsi.

Dalam draf RKUHP per 2 Februari 2018, terdapat enam pasal yang diadopsi langsung dari pasal-pasal di Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor. Di antaranya, Pasal 687 RKUHP senada dengan Pasal 2 UU Tipikor, Pasal 688 RKUHP dengan Pasal 3 UU Tipikor, dan Pasal 689 RKUHP dengan Pasal 4 UU Tipikor.

"Ini langkah mundur dalam pemberantasan korupsi," kata Laola di kantornya, Minggu (3/6/2018).

Laola menyatakan bila pasal-pasal ini lolos, maka yang paling terkena imbas adalah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). KPK bakal tak punya lagi kewenangan penindakan dan penuntutan.

"Pada akhirnya [KPK] hanya akan menjadi komisi pencegahan korupsi," kata Laola.

Mengapa demikian? Sebab, kata Lalola, bila RKUHP sudah disahkan dengan poin-poin yang telah disebut itu, kewenangan penyelidikan dan penyidikan tipikor akan beralih ke Kejaksaan dan Kepolisian. Dua institusi yang menurut aturan yang ada sekarang bisa menangani korupsi kecuali yang diatur dalam UU Tipikor.

Sebaliknya, wewenang KPK diatur secara spesifik dalam Pasal 1 ayat (1) UU No 30 Tahun 2002 tentang KPK, yaitu hanya menyelidiki dan menyidik kasus yang diatur dalam UU Tipikor.

Kedua, RKUHP juga berpotensi membuat Pengadilan Tipikor mati suri. Sebab, dalam Pasal 6 UU No 46 tentang Pengadilan Tipikor, institusi tersebut diberi kewenangan memeriksa dan mengadili perkara tipikor sebagaimana diatur dalam UU Tipikor. Jika tipikor diatur dalam RKUHP, maka kasus diadili di pengadilan umum.

"Sementara pengadilan umum dikenal sebagai institusi yang banyak membebaskan koruptor," katanya.

Ketiga, delik tipikor dalam RKUHP justru menguntungkan koruptor. Ancaman hukuman bagi koruptor di Pasal 687 RKUHP lebih rendah dari UU Tipikor. Jumlah denda dalam RKUHP yang digolongkan dalam Kategori II juga lebih rendah.

"Di UU Tipikor kategori II pelaku korupsi minimal dijatuhi hukuman Rp50 juta. Tapi di RKUHP jumlahnya turun hanya Rp10 juta."

Pandangan resmi dari ICW ini sama seperti alasan yang diungkapkan KPK dalam surat penolakan delik korupsi masuk RKUHP kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 13 Februari 2018 lalu. Dalam surat itu ada sembilan poin penolakan.

Juru Bicara KPK, Febri Dianysah mengatakan dengan menempatkan korupsi sebagai kejahatan biasa dengan mengaturnya dalam KUHP, ancaman pidana yang lebih rendah, dan keringanan hukuman untuk perbuatan-perbuatan percobaan korupsi, dapat membawa Indonesia berjalan mundur dalam hal pemberantasan korupsi.

"Kita semestinya belajar dari bagaimana sikap negara menyikapi peristiwa terorisme yang terjadi di beberapa daerah baru-baru ini. DPR bersama presiden telah melakukan pengesahan UU Terorisme sebagai UU khusus, bukan justru memilih memasukkan aturan tersebut di RKUHP yang juga memuat delik terorisme," kata Febri, Kamis (30/5/2018) pekan lalu di kantor KPK.

Sayangnya surat tersebut tidak direspons positif. Jokowi sejauh ini belum merespons balik. Sementara Wakil Presiden Jusuf Kalla malah menyatakan seharusnya KPK menyurati DPR, bukan presiden.

"Itu kewenangan DPR lah jangan presiden lagi. Itu kan dibahas di DPR, kewenangannya DPR bukan presiden," kata Kalla, Sabtu (2/6/2018).

Tanggapan DPR

Anggota Panja RUU KUHP Taufiqulhadi menanggapi penolakan KPK secara negatif. Menurutnya legislatif tetap tak bakal menghapus delik tipokor di RKUHP. Meski begitu, ia mengatakan tidak ada maksud sama sekali dari pihaknya untuk melemahkan KPK. Justru, kata Taufiqul, sebaliknya untuk menguatkan KPK.

"Kalaupun mau melemahkan tidak melalui KUHP. [Tapi] bisa melalui revisi UU Tipikor," kata Taufiqulhadi.

Taufiqulhadi, juga menjabat Wakil Ketua Umum Nasdem, mengatakan KPK masih leluasa melakukan penyidikan dengan berpedoman pada UU tipikor.

Dalam kesempatan yang sama, Taufiqul malah berkomentar lebih jauh di luar teks RKUHP. Menurutnya KPK tidak punya hak untuk menolak kebijakan legislatif. Ia mengatakan bila itu tetap dilakukan, menurutnya "pimpinannya lebih baik mundur saja."

Ia juga menyinggung pihak-pihak di luar KPK yang turut bersuara mengenai topik ini. Organisasi non-pemerintah seperti ICW dan KontraS yang menolak RKUHP selama ini "hidup" dari KPK, maka wajar kalau mereka menolak.

Tanggapan senada juga disampaikan anggota Panja RKUHP yang lain dari PKS, Nasir Djamil. Menurutnya, pasal-pasal tersebut dimasukkan agar lembaga-lembaga pelaksana Undang-Undang hukum pidana lebih tersinkronisasi dan terkontrol, sehingga tidak berjalan masing-masing.

"Kita ini maunya apa? Pencegahan atau OTT (Operasi Tangkap Tangan) terus? Kalau mereka [KPK] bilang dilemahkan berarti mereka tidak punya konsep pencegahan," kata Nasir kepada Tirto.

Nasir justru mengkritik sikap KPK yang "tidak istiqomah mengirim tim ahli hukumnya dalam pembahasan RKUHP." Padahal, menurutnya, Polri, Kejaksaan, BNN, BNPT, selalu mengirim tim hukum dalam setiap pembahasan.

"KPK jangan baper lah," kata Nasir.

Keterangan Nasir dan Taufiqulhadi, saat ini RKUHP sudah final dan akan segera disahkan pada masa sidang DPR setelah Idul Fitri mendatang.

Baca juga artikel terkait RKUHP atau tulisan lainnya dari M. Ahsan Ridhoi

tirto.id - Hukum
Reporter: M. Ahsan Ridhoi
Penulis: M. Ahsan Ridhoi
Editor: Rio Apinino