Menuju konten utama

Nasib Kampung Bayam Jakarta Tergusur Stadion Megah

Potret penggusuran sebuah kampung di Jakarta demi janji politik Anies Baswedan membangun stadion megah bertaraf internasional.

Nasib Kampung Bayam Jakarta Tergusur Stadion Megah
Seorang warga melakukan siskamling keliling kampung berbekal senter (30/3/2021). Sekitar 500 KK warga Kampung Bayam, Tanjung Priok, Jakarta Utara, tergusur sebagai dampak dari proyek pembangunan Jakarta Internasional Stadium (JIS). (tirto/Bhagavad Sambadha)
Kalian akan bertemu Husni. Husni tidak sendiri. Ia bersama kawan-kawannya akan menunjukkan kepada kalian bagaimana sebuah stadion yang megah bisa berdiri. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa stadion yang kelak akan memberi warga kota kegembiraan, kenyamanan, dan kesehatan itu tidak dibangun memakai jampi-jampi. Ada cara-cara khusus untuk membangunnya. Husni dan kawan-kawannya akan menunjukkannya kepada kalian, pembaca yang budiman, bagaimana caranya.

Pertama-tama, kata Husni, pakailah sepatu bot karet.

“Supaya enggak kena kutu air,” kata Husni.

Bingung bagaimana meresponsnya karena saya tidak punya pengalaman dengan kutu air, saya menjawab singkat, “Saya taunya singa air.”

Ia berusaha tertawa walaupun saya yakin sekali ia tidak paham apa yang saya bicarakan. “Lion Air,” saya menambahkan. Ia tetap tertawa dengan setengah terpaksa. OK, pikir saya, saya mendapatkan lelucon itu dari Twitter. Selera humor pengguna Twitter memang aneh.

Penggusuran Kampung Bayam

Kami berjalan menyusuri Kampung Bayam. Sebuah jalan setapak selebar dua meter membelah kampung ini. Jalan itu digenangi air, berwarna hitam pekat, aroma khas comberan menguar memenuhi ruang yang sesak dan tidak berangin di tengah terik matahari siang ini. “Ya begini ini. Warga masih berusaha bertahan walaupun kondisinya kayak gini.”

Husni menceritakan bagaimana kampung tempat ia tinggal selama 13 tahun kini digenangi air siang dan malam. Proyek Jakarta International Stadium (JIS), yang pembangunannya dimulai April 2019, memaksa sekitar 550 keluarga Kampung Bayam pindah mencari tempat lain untuk tinggal, sedangkan 50 keluarga yang masih bertahan berjuang menagih janji PT Jakarta Propertindo (Jakpro)—BUMD milik Pemprov DKI—sebagai pelaksana proyek agar menepati janjinya menyediakan hunian pengganti permanen bagi warga.

Stadion tersebut bagian dari janji kampanye Gubernur DKI Anies Baswedan yang digadang-gadang menjadi stadion bertaraf internasional dengan kapasitas 82.000 penonton, ditaksir menghabiskan Rp5 triliun.

Penggusuran Kampung Bayam

Petaka itu berawal pada Agustus 2020 ketika backhoe Jakpro menggusur Kampung Bayam. Warga yang menolak uang ganti rugi dan memutuskan bertahan mulai menerima kiriman air dari balik tembok proyek JIS. Husni menunjukkan kepada saya titik-titik di mana air masuk membanjiri kampungnya. Kami memperhatikan celah setinggi 20 sentimeter di bawah tembok beton. Setelah Husni memastikan celah itu aman, saya segera merayap di atas papan kayu yang kami bentangkan di lumpur agar bisa melihat ke balik tembok tersebut. Backhoe mondar-mandir merapikan gunung sampah setinggi tiga meter.

“Ini airnya enggak dibuang lewat sini lagi sejak kami protes ke Jakpro,” kata Husni.

Ia menceritakan warga pernah meminta Jakpro untuk menggali sodetan, semacam parit kecil, agar air limbah tersebut dialirkan ke kali lebih besar di belakang proyek. Mereka tidak pernah menggali sodetan itu.

Penggusuran Kampung Bayam

“Benar mau nginep?” tanya Husni, seperti hendak memastikan.

“Bener," jawab saya, "daripada saya bolak-balik kayak musafir."

Sore itu warga menyiapkan kamar berukuran 4x3 meter untuk saya tinggali. Mereka membersihkan kamar yang sudah ditinggalkan oleh penghuninya setelah penggusuran dan melengkapinya dengan kipas angin, terminal colokan listrik, meja kecil untuk saya bekerja, serenceng Autan, plus termos berisi air panas dan aneka macam kopi saset.

Pak Fadil, penanggung jawab dadakan yang ditunjuk warga untuk meladeni kebutuhan saya, biasa mengetuk pintu kamar yang hampir selalu saya biarkan terbuka setiap beberapa jam untuk menanyakan kabar air di dalam termos.

“Airnya masih panas?” tanyanya setiap kali ia menjulurkan setengah kepalanya ke dalam kamar seakan takut mengganggu.

Penggusuran Kampung Bayam

Saya mendapatkan layanan hotel berbintang, seperti Kurt Cobain yang punya kebiasaan buruk menelepon layanan kamar Holiday Inn tempatnya menginap pada dini hari hanya untuk menanyakan apakah mereka masih terjaga.

Di hari pertama saya menghabiskan malam di Kampung Bayam, Husni mengajak saya ikut berkeliling. Malam itu ia mendapatkan jatah ronda. Sudah beberapa bulan warga membentuk sistem keamanan mandiri untuk mencegah berbagai hal, seperti pencurian material sisa-sisa rumah warga atau pembobolan rumah. Tiap kelompok ronda berjumlah 4-6 orang dan dilakukan secara bergiliran.

Husni bercerita pernah memergoki orang tak dikenal sedang membobol rumahnya dan mengambil laptop miliknya. “Laptopnya udah ditenteng, untung banget saya pas masuk rumah jadi langsung saya teriakin. Warga langsung dateng.”

Husni mengaku laptop itu berisi data-data dan salinan dokumen-dokumen milik warga.

Penggusuran Kampung Bayam

Kami menelusuri gang-gang temaram di antara rumah-rumah yang masih berpenghuni maupun yang sudah setengah hancur dan ditinggalkan pemiliknya. Saat itu hampir tengah malam, tapi malam di Kampung Bayam tidak pernah seperti malam yang biasa saya lewati. Lampu sorot ribuan watt dari proyek di belakang tembok membuat tempat ini selalu berwarna keemasan seperti sore hari, suara pekerja bangunan yang sedang mengerjakan sesuatu dan crane yang hampir selalu bergerak sepanjang malam. Seperti tidak membiarkan telinga saya beristirahat. Kami menghabiskan sisa malam itu di depan kamar bersama beberapa warga lain.

Mereka saling bertukar cerita sambil sesekali menertawakan diri sendiri dan mengolok-olok bangunan beton setinggi 9 lantai yang berdiri tepat di belakang tembok kamar saya tersebut setiap kali guguran semen dari crane menghujani atap kamar asbes dan mengeluarkan suara seperti curahan hujan abu vulkanik.

Setelah kurang lebih seminggu tinggal di sini, saya mempunyai rutinitas baru. Setiap pagi saya keluar kamar, menyapa tetangga-tetangga yang sedang bersiap untuk berangkat kerja atau memandikan anaknya, lalu menuju lubang kecil mirip sumur di seberang kamar dan mengambil air untuk bak kamar mandi. Sumur itu terletak di lantai depan kamar dan berukuran 30x30 sentimeter, airnya cokelat muda dan tidak terlalu beraroma, jauh lebih baik dari sumber air lain di sini. Sumur itu mengingatkan bagaimana saya dulu sering mencuci muka di lubang air serupa yang sering terdapat di lantai-lantai stasiun kereta. Setidaknya di sini saya tidak dikejar-kejar Polsuska.

Husni bercerita setelah air PAM, yang menjadi sumber air utama warga diputus sepihak pada Oktober lalu, warga tidak punya banyak pilihan untuk mendapatkan air bersih.

Penggusuran Kampung Bayam

Setiap sore, seorang pedagang air yang memikul jeriken mengunjungi Kampung Bayam dan berhenti tidak jauh dari kamar saya untuk menunggu pembeli. Harga per jerikennya Rp5.000.

Satu hal yang belum berhasil saya biasakan adalah hidup di lingkungan Kampung Bayam. Kampung ini lebih mirip di rawa-rawa ketimbang kampung tempat hidup orang.

Air selalu menggenangi jalan setapak dan sebagian besar area kampung termasuk bagian dalam rumah, seolah mata air ada di tiap sudut. Tentu saja kamar saya jadi satu dari sedikit sekali kamar yang tidak digenangi air karena Pak Fadil sudah meninggikan permukaan lantainya dan merapikannya dengan plesteran semen baru.

Hampir seluruh rumah warga terendam air, dari sekadar selapis tipis yang membuat lantai rumah selalu basah sampai genangan semata kaki. Beberapa warga meletakkan puing-puing beton di dalam rumah sebagai tempat berpijak agar kaki tidak masuk ke dalam air. Ketika mengunjungi salah satu rumah warga, saya mendapati air meluap dari celah tembok belakang kamar mandi yang berbatasan langsung dengan tembok beton pembatas proyek. Rembesan air membanjiri kamar mandi dan seisi rumah.

Penggusuran Kampung Bayam

Bu Eli, penghuni rumah, berkata tetap bertahan walau kakinya selalu diinggapi kutu air dan baru memutuskan mengungsi ke tetangga depan rumah yang bersedia menampungnya setelah anaknya berusia 9 tahun menderita muntaber dan tak kunjung sembuh.

Anak-anak di Kampung Bayam mengajarkan saya berbagai hal. Saya menyimak beberapa di antaranya lebih saksama dibandingkan saran-saran yang saya terima dari orang-orang dewasa. Jika sedang menyusuri puing-puing atau area bekas gusuran, mereka mengajarkan agar saya lebih hati-hati ketika melangkah di tripleks kayu karena di baliknya sering tersembunyi paku. Mereka menuntun saya melewati genangan air bercampur segala macam puing sisa bangunan dan menunjukkan benda apa saja yang bisa saya jadikan sebagai pijakan agar tidak terperosok endapan lumpur setinggi pinggang.

Setelah diterima menjadi teman yang menyenangkan untuk diajak bicara, saya baru menyadari bagaimana rentannya kondisi kesehatan anak-anak ini. Anak-anak ini menceritakan teman-teman sebayanya sudah beberapa hari tidak bisa keluar rumah atau bermain karena sakit. Percakapan ini membawa saya pada ingatan-ingatan di banyak malam yang saya habiskan di sini bercakap-cakap dengan warga, bagaimana mereka dengan teliti menunjuk rumah-rumah yang sudah ditinggalkan penghuninya dan menyebut namanya satu per satu. Banyak dari mereka memutuskan menyerah dan pindah karena kondisi kesehatan yang terus menurun seiring kondisi Kampung Bayam semakin tidak layak huni.

Penggusuran Kampung Bayam

Hari ini hari Minggu, genap empat belas hari saya bermalam di sini. Nyamuk-nyamuk kebun yang menyulitkan saya tidur di malam-malam pertama kini sudah tidak terlalu saya hiraukan. Toh, Autan dan obat nyamuk bakar juga tidak terlalu menolong. Anjing-anjing liar hampir selalu melolong setiap ada orang asing berjalan melintasi daerah kekuasaannya kini sudah tidak terlalu peduli dengan kehadiran saya.

Setiap hari Minggu, Kampung Bayam selalu lebih sepi dari biasanya. Warga beramai-beramai menuju lokasi huntara, sebuah lahan yang disiapkan oleh Pemprov DKI dan dijanjikan akan dimanfaatkan sebagai lokasi hunian sementara untuk ditinggali warga sambil menunggu hunian permanen yang belum jelas kepastiannya. Lahan hunian sementara itu terletak di Jl. Tongkol, sekitar 3 kilometer dari Kampung Bayam. Sekalipun Pemprov DKI lewat TGUPP menjanjikan lahan lengkap dengan hunian sementara, warga Kampung Bayam lagi-lagi dipaksa menerima kenyataan ketika berhadapan dengan lahan kosong bekas pabrik fiber tanpa bangunan apa pun di atasnya untuk ditinggali.

Penggusuran Kampung Bayam

Setelah berjibaku mencari nafkah selama kurang lebih 12 jam setiap hari selama enam hari, setiap hari Minggu—hari yang seharusnya bisa mereka gunakan untuk beristirahat—warga menyempatkan diri bergotong-royong membangun hunian sementara yang layak huni. Mereka membangun hunian baru dari puing-puing Kampung Bayam yang tersisa; mereka patungan membeli berbagai macam alat pertukangan seperti gergaji, paku, mata bor, dan sebagainya.

Ketika saya pertama kali mengunjungi lokasi huntara untuk pertama kali, mereka baru saja menyelesaikan fondasi bangunan dari batu kali dan semen. Setelah fondasi itu selesai, warga berencana menggali delapan tangki septik yang akan dibagi untuk 50 rumah yang sedang mereka bangun. Husni bercerita sedang mempelajari bagaimana cara mengolah sampah menjadi biogas, usaha yang menurutnya mungkin dan layak sekali untuk dicoba.

Penggusuran Kampung Bayam

Dalam berbagai kesempatan ketika mendokumentasikan korban penggusuran, saya sering menemukan bagaimana perasaan senasib sebagai korban ketidakadilan menyatukan warga dalam solidaritas kolektif, dan warga Kampung Bayam sudah tidak asing dengan hal tersebut. Mereka sekelompok petani urban yang selama bertahun-tahun merawat kebun bayam sebagai sumber penghasilan dan pangan mandiri. Gotong-royong dan solidaritas adalah bagian dari realitas sosial masyarakat Kampung Bayam. Kampung Bayam adalah ruang hidup mereka, dan penggusuran paksa adalah upaya untuk memisahkan ikatan manusia dengan tanah dan ruang hidupnya, sekaligus degradasi terhadap nilai-nilai kebudayaan dan kemanusiaan.

Malam ini adalah malam terakhir saya menginap. Saya menghabiskan waktu bercengkerama dengan warga di depan kamar seperti biasa sambil memperhatikan bangunan beton menjulang terang benderang dan crane yang lalu lalang di atas kepala kami.

Penggusuran Kampung Bayam

“Bangunan segede gini ini bikinnya mulai dari mana, ya?” tanya saya, tanpa terlalu berharap akan menemukan jawabannya.

“Mulai dari ngusir warga,” jawab Husni, sambil menyeduh dua gelas kopi saset untuk kami berdua.
Baca juga artikel terkait PHOTO STORY atau tulisan lainnya

tirto.id - Sosial budaya
Fotografer: Bhagavad Gita
Penulis: Bhagavad Gita
Editor: Sabda Armandio