Menuju konten utama

Nasib Guru Honorer di Tengah Pandemi COVID-19

Pandemi COVID-19 juga turut memengaruhi guru honorer dan guru kontrak.

Nasib Guru Honorer di Tengah Pandemi COVID-19
Guru honorer dan guru tidak tetap melakukan aksi tutup mulut saat menggelar aksi di halaman kantor Bupati Blitar, Jawa Timur, Senin (29/10/2018). ANTARA FOTO/Irfan Anshori/kye.

tirto.id - Sri Hariyati berprofesi sebagai guru honorer sejak tahun 1997. Saat ini dia mengajar di salah satu SMP Negeri Kabupaten Blitar dengan gaji Rp1 juta per bulan yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) setempat.

Sri saat ini masih memiliki tanggungan dua orang anak yang beranjak dewasa. Meski suaminya bekerja, akan tetapi Sri tetap terpanggil untuk ikut mencukupi kebutuhan ekonomi rumah tangganya. Selain menjadi guru honorer, ia juga berjualan di kantin sekolah.

“Menjadi guru honorer seperti panggilan jiwa. Kalau bukan karena itu, mungkin saya sudah keluar dari dulu,” ujar wanita berusia 50 tahun tersebut kepada Tirto, Rabu (10/6/2020).

Selama 23 tahun mengajar sebagai guru honorer, Sri berupaya memperjuangkan nasibnya dengan mengikuti berapa kali tes Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) selama enam tahun terakhir. Sayangnya, hingga kini usaha tersebut belum membuahkan hasil. Ia mengaku tak tahu apa yang menyebabkannya begitu sulit menembus tes CPNS.

Kini persoalan tak hanya sebatas pada perjuangan perubahan status. Pandemi Covid-19 yang menyerang berbagai lapisan ekonomi masyarakat turut memberi dampak pada penghasilan Sri sehari-hari.

Bagi para guru-guru yang memiliki akses internet mumpuni dan tak soal dengan tagihan listrik mungkin tidak begitu pengaruh. Sementara bagi Sri, yang terbiasa mengandalkan pendapatan harian dari kantin sekolah kini harus lebih memutar otak.

Akhirnya, Sri pun memilih untuk berjualan pakaian dan makanan meski hasilnya tak semulus pada kondisi normal.

“Hanya saja Rp 1 juta untuk hidup dalam satu bulan mana mungkin cukup, makanya kami cari tambahan. Kerja kami sama dengan guru PNS, tetapi status dan gaji yang berbeda,” ujarnya.

Kondisi serupa dialami juga oleh seorang guru kontrak di salah satu SMA swasta menengah-bawah DKI Jakarta, Amri (bukan nama sebenarnya). Nasibnya terancam apabila Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) 2020 ditiadakan atau hanya mendapatkan sedikit murid. Jika hal itu terjadi, sekolah tempatnya mengajar akan melakukan efisiensi karyawan yang tentu sasaran utamanya pada guru kontrak atau tidak tetap.

Amri sudah menjadi guru kontrak sejak 2017. Selama dua tahun dia menjadi guru honorer di sekolah swasta Jakarta. Memasuki tahun ketiga, posisinya bergeser menjadi guru kontrak.

“Kalau kontrak setahun habis, kita mengajukan lagi lamaran kerja. Kalau honorer, ngajar terus tanpa mengajukan lamaran lagi,” ujarnya.

Sebagai guru kontrak, Amri dibayar per jam. Dia bisa mengantongi uang Rp40.000 sampai Rp50.000 untuk 1 jam mengajar dan ditambah Rp50.000 sebagai akomodasi transportasi yang diberikan setiap kedatangan.

Beruntung hitungan penghasilannya masih sama selama pandemik berlangsung. Namun. semua itu bisa berubah, jika para orangtua tersendat membayarkan Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP).

“Kalau pandemi ini yang dirasakan THR, dibayarnya dicicil 2 termin dan kinerja kadang jebol kuota. Walaupun dikasih dari sekolah sedikit,” ujarnya.

Kini, baik Amri dan Sri hanya bisa berharap ada bantuan tambahan dari pemerintah untuk guru kontrak dan honorer yang terdampak efek domino Covid-19.

Insentif di Luar BOS

Secara terpisah, Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan (Dirjen GTK) Kemendikbud Iwan Syahril mengaku sudah melakukan ragam upaya untuk membantu guru honorer selama pandemik. Salah satunya dengan fleksibilitas penggunaan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS).

Hal tersebut telah diatur dalam Permendikbud 19/2020 tentang perubahan atas Permendikbud 8/2020 tentang Petunjuk Teknis BOS Reguler.

Menurut Iwan, Permendikbud tersebut diperuntukkan untuk menghapus Nomor Unik Pendidik dan Tenaga Kependidikan (NUPTKK) sebagai salah satu syarat guru honorer menerima gaji dari penggunaan BOS.

Kemendikbud telah memberikan diskresi kepada masing-masing kepala sekolah terkait penggunaan BOS untuk guru honorer.

“Permendikbud sebelumnya pembayaran gaji guru honorer 50 persen dari dana BOS. Karena pandemik COVID-19, kepala sekolah dibebaskan menggunakan BOS sesuai kebutuhan pembayaran,” ujarnya kepada tirto, Rabu.

Wakil Sekretaris Jenderal Forum Serikat Guru Indonesia (FSGI), Satriwan Salim mencatat persoalan nasib guru honorer/kontrak terdampak efek domino COVID-19 terjadi di beberapa daerah, semisal Pulau Jawa, Sumatera, hingga NTT.

Menurut Satriwan, guru-guru tersebut sebagian besar mengajar untuk sekolah swasta. Sehingga ia mendesak Kemendikbud untuk tidak hanya mengandalkan BOS sebagai solusinya. Melainkan perlu insentif lain di luar dana BOS.

“Karena dana BOS bukan hanya untuk gaji guru honorer saja. Tapi demi kelengkapan dan kebutuhan sekolah. Guru honorer mestinya berhak dapat Dana BANSOS selama pandemi,” ujarnya kepada tirto.

Persoalan nasib guru honorer kian rentan, sebagai akibat ketidakmampuan pihak yayasan atau sekolah swasta dalam memenuhi upah mereka. Hal itu pun sebagai efek kelanjutan dari ketidakmampuan orangtua siswa dalam membayar secara penuh SPP, karena perekonomian orangtua pun terdampak COVID-19.

“Sudah lama kami meminta bantuan pada pemerintah pusat dan daerah. Intervensi pusat dan daerah wajib berupa insentif pada sekolah swasta yang finansialnya guncang,” katanya.

Baca juga artikel terkait HARI GURU atau tulisan lainnya dari Alfian Putra Abdi

tirto.id - Pendidikan
Reporter: Alfian Putra Abdi
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Reja Hidayat