Menuju konten utama

Nasib Buruh Pabrik Saat Pengusaha Tolak Imbauan Kerja dari Rumah

Imbuan Jokowi agar masyarakat bekerja dari rumah tak sepenuhnya bisa diterapkan, terutama di sektor ritel dan industri padat karya.

Nasib Buruh Pabrik Saat Pengusaha Tolak Imbauan Kerja dari Rumah
Karyawan pabrik tekstil PT Tyfountex yang terkena PHK mendatangi kantor Dinas Perindustrian dan Tenaga Kerja untuk melakukan mediasi di Sukoharjo, Jawa Tengah, Senin (11/11/2019). ANTARA FOTO/Mohammad Ayudha/aww.

tirto.id - Imbauan Presiden Joko Widodo agar masyarakat bekerja dari rumah tak dapat dinikmati semua pekerja. Salah satunya adalah pekerja di sektor ritel.

“Dia kan, on store. Tidak bisa remote,” ucap Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Roy Mandey saat dihubungi reporter Tirto, Senin (16/3/2020).

Menurutnya, keputusan ini bukan semata karena perkara cari untung, melainkan juga demi memenuhi kebutuhan masyarakat. Ia mengklaim masyarakat yang tengah kerja di rumah juga akan merugi seandainya ritel tutup.

Ia bahkan menegaskan berkomitmen “tidak ada toko tutup karena Corona”. “Di episentrum wabah seperti rumah sakit, kami kan ada toko-toko juga. Lalu di stasiun kereta atau bandara itu tidak akan tutup,” ucap Roy.

Hal serupa pernah dilakukan saat terjadi lonjakan pembelian atau rush pada Minggu (15/3/2020) lalu. Roy mengatakan saat itu peritel menambah jam operasional mereka hingga di atas pukul 10 malam--akhirnya jam operasional di hari biasa.

Meski demikian, Roy mengatakan asosiasinya telah mengimbau agar para karyawan dilengkapi dengan sarung tangan, masker, sampai rajin mencuci tangan.

Ia juga berharap pemerintah memberi mereka sejumlah keringanan seperti yang diterapkan di sektor industri. Tidak perlu insentif fiskal, katanya, cukup dengan keringanan biaya operasional seperti listrik hingga air.

Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman (Gapmmi) Adhi Lukman juga mengaku keberatan bila imbauan itu bergulir menjadi mandatori. Aktivitas manufaktur seperti produksi dan riset tidak bisa menerapkan imbauan itu. Belum lagi, industri makanan dan minuman punya efek pengganda (multiplier effect) cukup besar bagi perekonomian. Ketidakhadiran buruh pabrik industri ini akan membuat pedagang asongan hingga angkutan umum menuju pabrik bisa lumpuh.

Hal yang sama juga berlaku soal kemungkinan penerapan jam kerja dengan sif. Tambahan pekerja cadangan, menurutnya, sulit dilakukan karena punya konsekuensi terhadap bertambahnya ongokos produksi.

Di sisi lain, ada kekhawatiran target produksi akan terganggu sehingga kebutuhan masyarakat terhadap makan dan minuman (mamin) tak bisa terpenuhi.

“Menjelang puasa dan lebaran kita dalam persiapan menyiapkan stok yang cukup. Jadi tidak bisa dilakukan oleh industri mamin,” ucap Adhi saat dihubungi reporter Tirto, Senin (16/3/2020).

Menimbang Opsi Lokcdown?

Peneliti dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Heri Firdaus mengatakan, terganggunya aktivitas produksi akan berdampak cukup signifikan terhadap dua hal: inflasi karena kelangkaan pasokan serta mengendurnya kinerja ekspor. Hal ini akan kontraproduktif dengan upaya pemerintah yang mempermudah prosedur ekspor-impor, bahkan merelaksasi bea masuk dan Pajak Penghasilan (PPh) impor untuk bahan baku industri.

Kalaupun importasi tetap masuk dan tidak diimbangi dengan ekspor, dikhawatirkan neraca perdagangan akan jadi korban.

“Ekspor bisa terganggu. Kalau pusat produksi tutup, apa yang mau diekspor dan diimpor?” ucap Heri saat dihubungi reporter Tirto, Senin (16/3/2020).

Memang, kata Heri, menjaga jarak dari keramaian (social distancing) hingga lockdown dapat dijadikan salah satu solusi menahan laju penularan COVID-19. Namun saat ini pemerintah Indonesia terkesan tak siap bila hal itu terjadi mengingat pusat produksi ada di Jawa dan sekitar Jakarta, berbeda dengan Cina yang memiliki banyak sentra industri sehingga ketika Provinsi Hubei di-lockdown, kebutuhannya bisa terpenuhi dari daerah lain.

Sementara itu, Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Shinta Kamdani menilai pemerintah cukup memberi imbauan dan selanjutnya membiarkan tiap perusahaan menentukan sendiri mana yang bisa dikerjakan dari rumah.

Jika dipaksakan, ia khawatir kebijakan ini mengarah pada krisis dan mematikan perusahaan.

Lagipula, ujarnya, sudah ada banyak langkah pencegahan penularan yang dilakukan. Misalnya, larangan perjalanan bisnis, membatasi adanya rapat yang tak mendesak, sampai penyediaan ruang isolasi bagi yang sakit.

“Jadi, kebijakan tiap perusahaan berbeda-beda sesuai urgensi risiko dan kebutuhan produktivitas masing-masing,” ucap Shinta dalam keterangan tertulis yang diterima reporter Tirto, Senin (16/3/2020).

Menanggapi semua keberatan dari pengusaha itu, Ketua Umum Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (Aspek) Mirah Sumirat mengatakan imbauan Jokowi untuk bekerja di rumah bisa dijalankan oleh industri padat karya. Sebab, katanya, tidak berproduksinya pabrik selama 1-2 minggu masih lebih baik ketimbang mempertaruhkan keselamatan karyawan dan perusahaan di masa mendatang.

“Kalau terinfeksi satu semua bisa kena. Pahitnya perusahaan bisa tutup. Daripada mengambil risiko besar, saya rasa 14 hari tidak merugikan perusahaan dan ekonomi terlalu parah,” ucap Mirah saat dihubungi reporter Tirto, Kemarin (16/3/2020).

Ia pun meminta semua perusahaan secara konsisten menyediakan masker, hand sanitizer dan pengecekan suhu tubuh, seandainya memang ngotot tak mau mempekerjakan karyawannya di rumah.

Ia menegaskan keselamatan dan kesehatan kerja harus diprioritaskan para pengusaha jika tak bisa memberlakukan sistem bekerja dari rumah.

Baca juga artikel terkait KERJA DARI RUMAH atau tulisan lainnya dari Vincent Fabian Thomas

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Vincent Fabian Thomas
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Hendra Friana