Menuju konten utama

Nasi Liwet, Makanan Para Leluhur

Nasi liwet memang adalah makanan sehari-hari, tapi ia juga pernah jadi bagian sakral dari satu rangkaian upacara dan ikut menyumbang ekspresi kultural Jawa dalam bidang kebahasaan.

Nasi Liwet, Makanan Para Leluhur
Nasi Liwet. FOTO/Istimewa

tirto.id - Setelah proto-manusia mengenal api dan menggunakannya untuk memasak, para nenek moyang itu berhasil menghemat waktu makan sampai 4 jam dalam sehari. Sebelum ada api, waktu selama itu diperlukan untuk memamah makanan mentah.

Waktu yang menjadi luang kemudian dipergunakan oleh leluhur kita untuk memperkaya hidup mereka dengan belajar filsafat, seni, dan ilmu pengetahuan. Memasak telah membuat manusia menjadi makhluk mulia, begitu kata Michael Pollan, seorang jurnalis, aktivis, dan penulis buku Cooked.

Begitu pun halnya dalam proses mengubah beras menjadi sesuatu yang mudah kita makan. Setelah ditemukan ketel, perkakas memasak yang awalnya dibuat dari bahan perunggu dan besi, memasak beras menjadi semakin mudah. Proses menanak nasi yang umurnya sangat tua ini, di Jawa diistilahkan ‘ngeliwet.’ Proses ngeliwet ini tertulis dalam Serat Centhini yang ditulis pada 1819.

Nasi liwet sendiri adalah nasi gurih yang dapat kita jumpai di Jawa Tengah (khususnya Solo) dan Jawa Barat. Meski namanya sama, ada perbedaan antara sego liwet Solo dengan nasi liwet Sunda.

Maida N.H., mahasiswa yang berasal dari Klaten, baru memahami perbedaan nasi liwet Solo dengan nasi liwet Sunda itu saat ia melakukan penelitian skripsi di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Cibinong selama tiga bulan.

Mahasiswa dari salah satu kampus Yogyakarta itu baru tahu bahwa nasi liwet Sunda dimasak tanpa menggunakan santan. Berbeda dengan sego liwet Solo buatan ibunya yang menggunakan air santan dalam proses memasaknya.

Nasi liwet khas Sunda disajikan bersama lauk yang sudah bersatu dengan nasi. Lauk yang biasa melengkapinya adalah ikan asin peda merah, ikan kembung yang sudah dipindang, dilengkapi lalapan dan sambal terasi.

Sego liwet solo lahir dari kalangan masyarakat di satu daerah yang bernama Desa Menuran, Kecamatan Baki, Kabupaten Sukoharjo. Kemudian masyarakat desa itu mulai coba menjual nasi tersebut di Solo setiap hari sekitar tahun 1934 dan terus berkembang hingga sampai saat ini.

Sego liwet khas Solo dimasak dengan santan kelapa, dan disajikan dengan sayur labu siam, suwiran ayam, dan areh (semacam bubur gurih dari kelapa).

Maida bercerita kepada Tirto bahwa sentra pedagang nasi liwet memang banyak dijumpai di daerah Baki, Sukoharjo, selain beberapa daerah lain di Klaten dan Yogyakarta.

Umar Kayam yang dijuluki “si lidah cerdas” turut berkomentar mengenai nasi liwet Solo di dalam buku Mangan Ora Mangan Ngumpul. Ia menyatakan bahwa tidak ada yang bisa menandingi sego liwet khas Solo.

“Sego liwet Malioboro itu kan tiruan Solo. Itu pun tiruan yang jelek. Tidak gurih, tanpa areh yang putih mumpluk ditaruh di atas sambel goreng jipang. Sing asli itu ya sega liwet Baki itu, Pak. Lha, kalo tindak Solo mau mencicipi itu di Keprabon,” komentar Umar Kayam.

Menurut Heri Priyatmoko, sejarawan Kota Solo yang meneliti sejarah kuliner Solo, nasi liwet Solo selain menjadi makanan sehari-hari, juga menjadi bagian sakral dari rangkaian upacara dan ikut menyumbang ekspresi kultural Jawa dalam bidang kebahasaan.

Heri menjelaskan bahwa hal itu dapat dilacak dari karangan Mardiwarsito berjudul Peribahasa dan Saloko Bahasa Jawa (1980). Tercatat sejumput ungkapan yang mengenakan unsur sega atau sekul (nasi).

Contohnya, sekul pamit (nasi berpamit) yang memuat arti: terlambat mengerjakan sesuatu dan tidak memperoleh upahnya. Itu menjadi ajaran perihal pentingnya kedisiplinan. Sekul urug (nasi timbunan) berarti bahwa menimbun dengan nasi sama saja tindakan bodoh, bakal sia-sia karena akan lenyap. Kemudian, sekul tan urip berarti orang memberi sesuatu yang tiada manfaatnya.

Ragam ungkapan yang mengandung sebongkah nasihat di atas menggambarkan luasnya implikasi atau efek sosial-kultural kedekatan manusia Jawa dengan nasi. Ekspresi kultural tersebut mengajarkan keutamaan dalam hidup manusia tidak hanya urusan muluk (makan), tapi juga memunculkan nilai-nilai.

infografik nasi liwet rev

Serat Centhini yang disusun tahun 1814-1823 juga menyinggung sepintas mengenai sego liwet. Naskah kuno itu memuat selarik kalimat: liwet anget ulam kang nggajih/ wus lumajeng ngarsi/ sadaya kemebul.

Sego liwet wajib dihadirkan manakala Pulau Jawa diguncang gempa bumi. Nasi liwet beserta beraneka lauk ikan senantiasa disajikan dengan lantunan doa ketika gempa bumi terjadi di bulan Dulkaidah. Catatan ini menunjukkan nasi liwet bergerak di dua ruang berbeda, yang sakral dan yang profan: ubarampe upacara dan meja makan.

Sunarto, seorang warga Gunungkidul bercerita kepada Tirto bahwa di sana sego liwet sering dihadirkan sebagai menu utama di banyak perayaan di sana. Acara-acara itu adalah malam midodareni (agenda sebelum upacara pernikahan di Jawa), acara Maulid Nabi Muhammad, dan bagi penganut Kejawen, nasi liwet hadir di upacara nyadranan (perayaan panen). Ia hadir dalam upacara itu lengkap dengan ingkung ayam utuh, dipersembahkan bagi penunggu sumur atau mata air yang ada di sana.

Saat ini, nasi liwet yang menjadi tren di kalangan masyarakat, termasuk di perkotaan, adalah memakannya beramai-ramai atau makan bancakan (Jawa). Bancakan adalah mengkonsumsi nasi liwet bersama-sama dengan duduk berderet secara lesehan. Nasi dan lauk tersebut disajikan di atas daun pisang.

Dengan tren kuliner ini, masyarakat perkotaan seperti ingin menghadirkan suasana dari ruang yang lain, yakni pedesaan, serta waktu yang lain pula: waktu lampau, waktu milik para leluhur.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Yulaika Ramadhani

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Yulaika Ramadhani
Penulis: Yulaika Ramadhani
Editor: Maulida Sri Handayani