Menuju konten utama

Narasi Keberagaman di Festival Kecantikan

Di Amerika Serikat, festival kecantikan muncul untuk kaum yang terdiskriminasi dari standar kecantikan dunia barat.

Narasi Keberagaman di Festival Kecantikan
Ilustrasi seminar kecantikan. Paris Hilton (kiri) muncul bersama moderator Phillip Picardi saat acara industri kecantikan Beautycon Festival NYC di New York. AP Photo / Leanne Italie

tirto.id - Usia Elisakh Hagia belum 10 tahun. Satu hal yang membedakannya dari mayoritas anak seusianya ialah potongan kuku tangan yang panjang, berlapis cat kuku berbagai warna, dan nampak seperti hasil manikur. Ia kerap memupur wajah dengan makeup tipis. Elisakh adalah Youtuber asal Indonesia yang tinggal di Los Angeles, Amerika Serikat. Akhir pekan lalu, ia jadi salah satu tamu Beautycon, festival kecantikan yang tahun ini mendatangkan puluhan ribu pengunjung. Di Instagram, anak ini mengunggah foto diri yang dipotret oleh seorang fotografer Getty Images, situs penyedia foto komersil. Elisakh menulis caption, “So, I preached, ‘Makeup, skin care, or any kind of beauty is not a SIN for kids and pre teens.”

Makeup pun bukan dosa bagi anak remaja. Beautycon juga merupakan magnet dari anak berusia belasan tahun yang sudah memiliki produk kosmetik buatan Kylie Jenner, Kim Kardashian, dan Rihanna.

Di acara festival kecantikan, para remaja mewujudkan mimpi untuk bertemu idola: Youtuber atau influencer kecantikan yang usianya belum menginjak kepala dua. Salah satu idola dunia kecantikan itu ialah Tana. Wired melaporkan bahwa ia sudah jadi pembicara salah satu talkshow Beautycon saat berusia 18 tahun. Waktu itu Tana sudah memproduksi 130 tayangan video yang di antaranya berisi cara merias diri di pagi hari. Tayangan itu bikin ia punya pengikut 2,1 juta orang di akun Instagram.

Bagi Moj Mahdara, penggagas festival Beautycon, keberadaan para remaja di tengah 70-an lapak dagangan lini produk kecantikan itu sah-sah saja. Mahdara ingin agar Beautycon bisa jadi tujuan bagi semua orang berusia 16-24 tahun yang tertarik untuk bereksperimen dalam makeup.

Mahdara menekankan kata "semua orang", karena ia lelah dengan pengkotakan dan diskriminasi. Kepada Forbes ia berkata, “Saya tumbuh jadi liyan," ujarnya. "Liyan dalam arti saya generasi pertama Iran-Amerika, gay, DO dari kampus, dan tak punya keinginan untuk jadi dokter atau pengacara."

Ia merasa industri media dan hiburan di Amerika Serikat senantiasa menampilkan standar kecantikan yang seragam. Di sana Mahdara tidak melihat keragaman. Kejadiannya berbeda saat ia menonton tayangan via internet yang menampilkan tutorial makeup untuk orang Asia, serta munculnya vlogger transgender yang berbagi cara merias wajah. Ia pun punya ide untuk merancang kopi darat yang mempertemukan para Youtuber dengan sejumlah lini kecantikan. Tak disangka, Mahdara berhasil mendatangkan 10.000 orang. Hal ini meyakinkannya untuk membuat festival kecantikan Beautycon.

Dari tahun ke tahun, Beautycon bertambah besar. Pada 2016, mereka berhasil meraup pendapatan 9 juta dolar. Tahun 2017, pendapatannya melonjak jadi 16 juta dolar. Tahun ini, rentang harga tiket dari 50 dolar hingga yang termahal 2.000 dolar. Acara ini juga makin luas, tak hanya diadakan di New York dan Los Angeles, tapi juga di London dan Dubai.

Lambat laun, para influencer mulai menyuarakan misi keberagaman dalam dunia rias wajah dan penerimaan kaum LGBT. Beberapa selebritas turut diundang ke acara ini untuk menyuarakan hal tersebut. Zendaya bicara tentang kesehatan mental, juga keinginannya untuk bisa mewakili suara wanita kulit hitam.

Kim Kardashian bahkan bicara tentang pandangannya terhadap penjara wanita. Selebritas dengan pengikut 114 juta orang di Instagram ini menarik massa dalam jumlah yang signifikan. Massa itu juga jadi target dari berbagai lini produk kecantikan lain, termasuk Amore Pacific, grup retail kecantikan asal Korea Selatan yang menaungi lini Sulhwasoo, Laneige, dan Innisfree. Dua tahun terakhir respons pasar Amerika Serikat terhadap produk ini cukup besar. Amore Pacific pun yakin bahwa acara ini bisa jadi ladang meraih untung. Kepopuleran lini Korea ini dikemas jadi subtema keberagaman yakni Korean Beauty.

Infografik Beauty Fair

Festival Kecantikan di Jakarta

Gema Beautycon nampaknya turut menginspirasi pelaku industri kecantikan dalam negeri. Pada tahun 2017, IDN Media menyelenggarakan festival kecantikan Beautyfest Asia. Format acara serupa dengan Beautycon yakni terdiri dari bazaar produk kecantikan, temu wicara, workshop kecantikan, serta jumpa dan ngobrol dengan para influencer kecantikan. Judithya Pitana, Pemimpin Redaksi Popbella.com, penyelenggara acara, berkata bahwa acara ini punya misi untuk memotivasi perempuan dalam menjalani peran-perannya. Tahun ini langkah tersebut coba diwujudkan dengan mengundang Susi Pudjiastuti sebagai bintang tamu pada pembukaan acara.

Susi mengundang banyak massa. Yang tak kalah ramai ialah sesi meet and greet atau bersalaman dan berfoto dengan Ssinnim, influencer kecantikan asal Korea, dan Jovi Adhiguna, influencer Indonesia. Ssinnim diundang lantaran gaya rias wajah Korean makeup masih sangat diminati di dalam negeri. Pengunjung yang sebagian besar berasal dari kalangan remaja dan dewasa muda berminat untuk menonton Ssinnim memberi tips makeup. Mereka rela mengantre lebih dari 30 menit untuk bisa bersalaman dan foto bersama Youtuber yang punya 1,5 juta pengikut di Youtube ini.

Demikian pula dengan Jovi. Antrean untuk bersalaman dengannya tak kalah panjang. Judith berkata bahwa Jovi membawa kebaruan dalam dunia influencer kecantikan di dalam negeri. Ia sempat menjadi duta untuk produk lipstik L’Oreal, Make Over, dan Lakme.

Dalam Beautyfest Asia, Jovi turut hadir dan membaca nominasi Beauty Awards, bagian acara dalam Beautyfest yang bertujuan memberi penghargaan pada pelaku industri kecantikan. Salah satu penerima penghargaan ialah Hayati Azis, model perempuan berambut plontos dan berkulit sawo matang.

Festival yang diselenggarakan selama tiga hari tersebut mendatangkan sekitar 9.000 orang. Massa lebih besar sempat diraih oleh Jakarta X Beauty, festival kecantikan yang diadakan oleh Female Daily Network. Tahun ini festival tersebut mendatangkan 16.000 pengunjung. Festival diikuti sekitar 40 lini produk kecantikan lokal dan internasional yang rata-rata meraih keuntungan Rp200 juta selama tiga hari festival.

Hanifa Ambadar, CEO Female Daily Network berkata bahwa salah satu tujuan festival ini adalah untuk memberikan tempat alternatif belanja produk kecantikan. “Konsumer milenial sudah punya pengetahuan tentang produk yang harus mereka beli. Pengetahuan mereka bisa jadi lebih luas ketimbang para penjaga toko. Di sini kami mencoba meniadakan gap tersebut lewat produk-produk kosmetik dan perawatan wajah yang lebih beragam,” katanya.

Ia mengimbau agar semua tenant melakukan promosi harga, dan hal itu dilakukan. Purbasari misalnya. Mereka menyediakan paket berisi tiga buah produk makeup yang dijual dengan harga Rp70 ribuan. Produk Estee Lauder memotong harga lipstik sebesar 40%. Lini makeup Maybelline mengadakan flash sale dengan memberi diskon besar-besaran setiap produk di jam-jam tertentu. Diskon parfum sekelas Elie Saab mendekati setengah harga. Ini membuat lorong ruangan bazaar jadi serupa lorong pasar. Orang tidak bisa leluasa berjalan.

Belum lagi jika talkshow dengan influencer diadakan. Langkah kaki para pengunjung jadi mandek. Hanifa turut mengundang influencer asal Korea Selatan, Liah Yoo, yang ia sebut sebagai ‘skin care guru’. Untuk bisa makan bersama dan berbincang santai soal kecantikan dengan Liah, pengunjung harus membayar Rp500 ribu. Fans Liah tidak keberatan untuk membayar jumlah tersebut.

Hanifa berharap tahun depan ia bisa menyelenggarakan acara di beberapa daerah dan tidak harus terpaksa menolak beberapa lini produk kecantikan yang ingin berpartisipasi.

Festival kecantikan di Indonesia masih baru dirintis, dan ia mirip seperti Beautycon ketika pertama diadakan: bazaar produk kecantikan. Namun, siapa tahu beberapa tahun ke depan acara semacam ini bisa jadi panggung aktivisme.

Baca juga artikel terkait KECANTIKAN atau tulisan lainnya dari Joan Aurelia

tirto.id - Gaya hidup
Penulis: Joan Aurelia
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti