Menuju konten utama

Naik Turun TIME, Majalah Berita Paling Berpengaruh di Dunia

Majalah TIME adalah gelombang baru di industri media pada era 1920’an yang berjaya hingga awal milenium dengan gaya laporan yang khas. Kini, legenda itu tengah bergulat dengan jaman.

Naik Turun TIME, Majalah Berita Paling Berpengaruh di Dunia
Ilustrasi Mozaik Majalah Time. tirto.id/Deadnauval

tirto.id - Tidak dapat dipungkiri, majalah TIME merupakan salah satu majalah paling berpengaruh di dunia hingga saat ini. Namun, siapa yang menyangka bahwa raksasa media asal Amerika Serikat itu ternyata lahir dari sebuah ide sederhana: mengubah penyajian berita yang dinilai ‘kaku’.

Nama besar TIME dimulai dari dua orang pria, Henry R. Luce dan Briton Hadden, yang punya ide mendirikan sebuah majalah pada 1922. Pengalaman profesional mereka di bidang jurnalisme sesungguhnya masih seumur jagung, tidak lebih dari dua tahun. Alan Brinkley menuliskan dalam bukunya The Publisher: Henry Luce and His American Century, “mereka bukan siapa-siapa, jika tidak bisa dibilang angkuh” (hal. 89).

Namun Luce dan Hadden adalah lulusan Yale University, sebuah kampus prestisius di AS. Wajar saja jika keduanya memiliki rasa percaya diri yang tinggi. Seperti dilaporkan oleh New York Times, sebelum lulus pada 1920, mereka sempat menjadi editor dari Daily News di Yale.

Luce, yang merupakan anggota Phi Beta Kappa (sebuah perkumpulan akademisi brilian di Yale), dinilai oleh teman-temannya di Yale sebagai yang “paling brilian” di kelasnya. Hadden, sementara itu, dinilai sebagai orang yang memiliki “peluang paling besar untuk menjadi orang sukses.”

Brinkley melihat bahwa usia yang relatif muda dan kurangnya pengalaman lapangan, memberikan keunggulan bagi keduanya dalam misi mereka untuk menciptakan sesuatu, mengutip Luce, “yang sangat berbeda dari apapun yang sekarang diberikan kepada publik Amerika.”

Menurut mereka, media AS kala itu amat jauh dari layak. Kurang sumber berita, pun kebanyakan koran menampilkan informasi dengan cara yang tidak mudah dicerna para pembacanya. “Orang harus berpikir sangat keras untuk membaca [koran],” sebut Luce.

Hadden memiliki sikap yang sangat keras terhadap New York Times. Menurutnya, Times adalah koran yang tidak dapat dibaca. Padahal, Times pada 1922 telah menjelma menjadi koran paling disegani di New York dan AS secara keseluruhan.

Bagi banyak orang di New York, membeli Times merupakan simbol bahwa mereka bagian dari kalangan elite dan terpelajar. Brinkley menuliskan, membeli Times secara informal menjadi suatu yang dekat dengan sebuah “kewajiban sosial” bagi kalangan elite di kota yang lekat dengan julukan Big Apple itu.

Luce dan Hadden boleh jadi tidak salah. Format Times secara keseluruhan kala itu memang membosankan: terdiri dari delapan kolom dengan tulisan kecil berdempetan, hanya terkadang diselingi oleh beberapa gambar atau ilustrasi.

Tidak hanya koran, majalah pun demikian, kendati Luce dan Hadden menilainya sedikit lebih baik. Salah satu majalah penting yang memiliki pengaruh pada Luce dan Hadden adalah Literary Digest.

Berdiri sejak tahun 1890, Digest pada awal 1920-an sudah menjadi salah satu majalah terlaris di AS dengan sirkulasi lebih dari satu juta eksemplar. Majalah ini unik. Isinya kebanyakan tidak dibuat oleh tim redaksinya sendiri namun menampilkan laporan dari media lain. Namun, ketika mempublikasikan berita, mereka akan memilih cerita yang paling detail dan panjang. Sementara itu, untuk tajuk rencana, Digest akan memasangkan tajuk yang memiliki opini yang berseberangan.

Kesuksesan Digest inilah yang menginspirasi Luce dan Hadden. Digest membuktikan bahwa ada pangsa pasar yang cukup besar bagi media yang ingin memberikan alat bagi masyarakat untuk mengenai dunia yang lebih luas, sesuatu yang sulit ditemukan pada koran-koran kala itu.

Inilah yang kemudian membuat Luce dan Hadden ingin menghadirkan sebuah publikasi yang menyediakan analisis terhadap berita-berita yang ada untuk pembaca. Model itu kini disebut dengan jurnalisme interpretatif, kala jurnalis menyediakan konteks yang lebih luas bagi pembaca.

Ketika Waktu Menguji

Nama TIME ketika Luce melihat sebuah iklan yang bertuliskan “Time for a Change” dalam perjalanan ke rumahnya pada suatu malam. Pada titik itulah, ia yakin bahwa TIME adalah nama yang tepat.

Esok harinya, ketika sampai di kantor, ia menyampaikan ide tersebut pada Hadden, yang kemudian segera menyetujuinya. Brinkley menuliskan, bagi keduanya, kata TIME merepresentasikan apa yang ingin mereka bangun: mencatat perjalanan waktu dan menghemat waktu pembaca.

Dari nama tersebut, munculah sejumlah slogan memanfaatkan arti kata TIME, yakni waktu, seperti “Take TIME – It’s brief” hingga “TIME will tell dan “TIME is valuable.” Publikasi yang menggunakan nama TIME saat itu sudah banyak, termasuk New York Times, dan kerap menyebut diri mereka sendiri secara singkat dengan sebutan “Times”. Pada akhir abad ke-19, bahkan ada majalah dengan nama yang sama persis di Inggris. Logo dari majalah itu bahkan digunakan oleh Luce dan Hadden sebagai dasar desain huruf dari judul majalah mereka.

Lebih lanjut, Luce dan Hadden kemudian juga sempat berkesperimen dengan sejumlah anak judul, atau lebih tepatnya kategorisasi tipe bagi publikasi mereka. Mereka sempat menggunakan kata “chronicle” (kronik), “digest” (intisari), dan “weekly newspaper” (koran mingguan) hingga menemukan istilah baru yang paling pas dengan konsep dan ide mereka: “news-magazine” (majalah berita). Pada akhir 1920-an, tanda penghubung hilang dari kata tersebut dan menjadi “newsmagazine”.

Terbitan pertama TIME lahir pada tanggal 3 Maret 1923, tepat hari ini 90 tahun lalu. Pada titik inilah, TIME kemudian menjadi pelopor. Seperti dikutip dari Encyclopaedia Britannica, bentuk TIME yang berisikan puluhan artikel pendek kemudian menjadi acuan bagi sebagian besar majalah berita lainnya.

Artikel tersebut merangkum informasi mengenai sejumlah topik krusial maupaun yang melibatkan kepentingan umum. Artikel-artikel itu lantas disusun dalam kelompok-kelompok tertentu seperti bisnis, edukasi, seni, olahraga, buku hingga politik nasional dan internasional.

Infografik Mozaik Majalah Time

Infografik Mozaik Majalah Time

Pada 1927, TIME telah mencapai sirkulasi sejumlah lebih dari 175.000 eksemplar dan menjadi salah satu majalah berita paling berpengaruh di AS. Pada tahun ini pula, TIME mulai mengeruk keuntungan. Pada 1929, Hadden meninggal dunia karena infeksi streptococcus. Pada tahun yang sama pula Luce mulai mengembangkan ide mengenai majalah Fortune yang kelak menjadi majalah bisnis ternama di bawah naungan Time, Inc. Fortune dipublikasikan pertama pada tahun 1930.

Setelah kematian Hadden, Luce tetap menjadi editor dan penggerak utama majalah TIME. Pada 1964, ia kemudian menjabat sebagai editorial chairman dari Time Inc. Kematian Hadden membawa sejumlah pertentangan antara Luce dengan keluarga Hadden terkait kepemilikan saham Hadden.

Era 1990’an hingga awal abad ke-21 menjadi era keemasan Time Inc. Mereka membeli Warner Communication dan membuat konglomerasi media terbesar bernama Time Warner dengan profit tahunan mencapai 10 miliar dolar.

Zaman internet lah yang kemudian secara perlahan menggoyah raksasa media tersebut. Setelah sempat jatuh bangun dengan berbagai macam model bisnis dan bisnis penopang, Time Inc., dijual kepada Meredith Corporation, perusahaan rivalnya, pada tahun 2017 dengan nilai mencapai 2,8 miliar dolar. Meredith lantas mengumumkan bahwa mereka mencari pembeli untuk majalah TIME, Fortune, Sports Illustrated, dan Money.

Kondisi ini tidak bertahan lama. Oleh Meredith, majalah TIME kemudian dijual kepada Marc Benioff, Chief Executive Officer (CEO) Salesforce, sebuah perusahaan teknologi, dan istrinya pada Septermber 2018. Harga jualnya sebesar 190 juta dolar secara tunai.

Kini, nasib sang pionir sama dengan sejumlah publikasi lainnya di seluruh dunia yang sedang memasuki era temaram yang serba tak pasti: berada di dalam cengkeraman raksasa teknologi.

Apakah mereka masih bisa terus bertahan? Waktu yang akan menjawab.

Baca juga artikel terkait MAJALAH TIME atau tulisan lainnya dari Ign. L. Adhi Bhaskara

tirto.id - Bisnis
Penulis: Ign. L. Adhi Bhaskara
Editor: Nuran Wibisono