Menuju konten utama

Naik-Turun Rapor Perdamaian Indonesia

Laporan Global Peace Index (GPI) 2016 menunjukkan perbaikan peringkat Indonesia. Sejak Institute for Economic and Peace merilis laporan tahunannya pada 2007 silam, posisi Indonesia cenderung naik-turun. Klaim Presiden Jokowi yang menyatakan bahwa Asia-Pasifik adalah wilayah teraman di dunia juga patah oleh laporan GPI 2016 ini. Kenyataannya Asia-Pasifik masih tak lebih aman ketimbang Eropa dan Amerika Utara. 

Naik-Turun Rapor Perdamaian Indonesia
Presiden Joko Widodo berjabat tangan dengan Presiden Amerika Barack Obama saat pertemuan KTT G-7 Outreach sesi I di Nagoya, Jepang. Pertemuan antara Indonesia dan kelompok negara maju G-7 tersebut membahas topik stabilitas dan kesejahteraan di Asia. ANTARA FOTO/Yudhi Mahatma.

tirto.id - Akhir Mei 2016 di Shima, Jepang, di hadapan 20 perwakilan negara-negara peserta Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G-7 Outreach, Presiden Joko Widodo mengeluarkan pernyataan tegas. “Indonesia siap menjadi motor terciptanya Asia dan dunia yang damai dan sejahtera," ujarnya kepada Antara.

Pada pidatonya, orang nomor satu di Indonesia itu mengilustrasikan konflik di berbagai belahan dunia sebagai faktor utama munculnya krisis kemanusiaan. Dunia, dalam pandangannya, memerlukan arsitek yang mengedepankan prinsip-prinsip keterbukaan, transparan, dan inklusif. Selain itu, kata Jokowi, sebuah negara selayaknya menghormati kedaulatan, integritas negara lain, menghormati hukum internasional, serta mengutamakan dialog dalam menyelesaikan masalah.‎

Presiden Jokowi juga mengklaim, "‎Saat ini, Asia Pasifik adalah wilayah yang tergolong paling aman, dibandingkan kawasan lainnya di dunia ini”.

Benarkah pernyataan presiden itu?

Institute for Economic and Peace (IEP) baru-baru ini mengeluarkan laporan bertajuk “Global Peace Index (GPI) 2016”. Di dalamnya terangkum penilaian terhadap 163 negara di dunia yang dianalisis berdasarkan 23 kriteria kualitatif maupun kuantitatif.

Dari 23 kriteria itu, IEP memberi kisaran nilai 0 sampai 5. Semakin tinggi poin dalam kriteria IEP, semakin tidak aman sebuah negara. Selanjutnya total data diurutkan dari peringkat 1 hingga 163 berdasarkan tingkat keamanannya.

Laporan itu menyebut, di tahun ini negara-negara Skandinavia dan Eropa lain—yang dikenal akan kemakmuran ekonomi dan kemajuan di berbagai bidang—masih menempati urutan 10 besar negara paling aman dan damai sedunia. Data ini persis laporan tahun-tahun sebelumnya. Islandia menempati urutan pertama, lalu diikuti Denmark, Austria, Selandia Baru, Portugal, Ceko, Swiss, Kanada, Jepang, dan Slovenia.

Bagaimana dengan Indonesia? Di tengah munculnya aksi terorisme di Jakarta pada awal tahun ini maupun merebaknya isu radikalisme lain, peringkat Indonesia justru menembus ke posisi 42 (poin GPI 1.799) di tahun 2016. Peringkat itu lebih baik dari posisi tahun sebelumnya yakni di posisi 47 (poin GPI 1.811).

Menurut laporan IEP itu, Indonesia diberi poin tinggi alias cenderung negatif pada tingkat kriminalitas, tingkat kekerasan, kekerasan demonstrasi, dan teror politik. Keempatnya mendapat poin 3.0/5. Sejumlah kriteria lain mendapat skor 2.0 atau lebih yaitu akses terhadap senjata api, intensitas konflik internal, kematian akibat konflik internal, dampak dari aksi terorisme, dan konflik dengan negara tetangga.

Namun, ada juga kriteria yang menjadikan peringkat Indonesia membaik. Hasil positif tersebut antara lain terdapat pada kriteria tingkat kematian dari konflik internal maupun eksternal. Poinnya hanya 1.0/5.

Nilai positif lain yang berada di bawah 2.0 mencangkup kinerja aparat keamanan dan polisi, tingkat bunuh diri, tingkat penahanan, instabilitas politik, impor dan ekspor senjata, dana pengeluaran militer, personil angkatan bersenjata, dana penjaga perdamaian PBB, senjata nuklir dan senjata berat lain, dan kondisi kaum terlantar.

Naik-Turun Peringkat

Jika dibandingkan dengan negara-negara lain baik di kawasan ASEAN, Asia-Pasifik, maupun dunia, Indonesia termasuk salah satu negara yang mengalami dinamika naik-turunnya peringkat tiap tahunnya. Namun, secara umum sejak 2008 hingga 2016 Indonesia tak pernah keluar dari posisi 40 atau 50 besar.

Merujuk laporan GPI 2008, Indonesia menempati posisi 59 dari 161 negara. Tahun 2009 naik delapan peringkat menjadi di posisi 51. Tren peningkatan masih terjadi di tahun 2010 di mana Indonesia naik enam peringkat dan menghuni posisi 45. Tahun 2011 posisi Indonesia turun dua tingkat ke posisi 47, tapi tahun 2012 naik lagi ke posisi 44. Kala itu jumlah negara yang dinilai bertambah satu menjadi 162.

Kenaikan peringkat terjadi lagi di tahun 2013 meski hanya satu tingkat saja ke posisi 43. Namun, di tahun 2014, tahun di mana Indonesia menyelenggarakan pemilihan presiden langsung ketiga, posisi Indonesia melorot ke posisi 52 atau turun sembilan peringkat. Perbaikan posisi pelan-pelan dicapai di tahun-tahun setelahnya alias pascapemilu. Peringkat Indonesia mulai stabil lagi stabil dan melesat ke posisi 47 di tahun 2015 lalu 42 di tahun ini.

Khusus di wilayah Asia Tenggara, Indonesia bersama-sama Timor-Leste, Myanmar, dan Thailand berhasil meningkatkan peringkatnya sejak tahun lalu. Kondisi ini menjadi pertanda bahwa masing-masing negara, termasuk di dalamnya ada Cina, mengendurkan tensi politik dan militer menyangkut perebutan kepentingan di kawasan Laut Cina Selatan.

Kondisi internal di Indonesia memang masih kalah aman dan damai ketimbang Singapura yang bercokol di posisi 20 atau Malaysia di peringkat ke-30. Namun Indonesia masih lebih stabil daripada Laos (52), Timor Leste (56), Vietnam (59), Kamboja (104), Myanmar (115), dan yang paling buncit Filipina (139).

Di kawasan Asia-Pasifik, negara yang berperingkat lebih baik dari Indonesia antara lain Australia dengan rangking 15 besar. Ada pula Jepang yang mampu menghuni posisi 9. Tapi Negeri Matahari Terbit pun masih kalah dari Selandia Baru yang secara mengagumkan menjadi negara paling aman dan damai di kawasan Asia-Pasifik dengan menghuni peringkat 4 dunia.

Apa itu (Ke)Damai(an)?

Penyusun laporan GPI sudah sejak tahun 2007 lalu bergulat dengan persoalan mendasar tentang apa itu “damai” dan/atau “kedamaian” sebelum menyusun kriteria penilaian. Menyadari kesulitan di tingkat etimologis tersebut, maka para peneliti mengambil definisi paling sederhana untuk mengilustrasikan kondisi harmonis: suatu kawasan disebut damai bila tak sedang dalam kondisi perang.

Kondisi perang amat berpengaruh terhadap meningkatknya nilai 23 kriteria GPI dan menyebabkan sebuah negara makin tak aman. Perang jelas membuat anggaran militer naik berlipat-lipat. Kenaikan juga terjadi pada angka kekerasan, instabilitas politik, impor/ekspor/akses atas senjata api. Semua ini, menurut GPI, menyeret masyarakat sipil ke dalam konflik destruktif, meningkatkan aksi terorisme, aksi kriminalitas, dan tentu saja angka mortalitas.

Untuk itu, negara-negara dalam kondisi perang menghuni posisi terbawah GPI 2016. Negara Timur-Tengah paling rajin dilanda perang, seperti Suriah, menjadi negara paling tidak aman tahun ini. “Prestasi” serupa pernah mereka torehkan pada 2015 dan 2014. Poinnya mereka tahun ini mencapai 3.806 meningkat dari sebelumnya “hanya” 3.645.

Sementara Irak (161), Afghanistan (160) ada di atas Suriah dengan kondisi sedikit lebih baik. Palestina tahun ini ikut serta dalam GPI untuk pertama kalinya menempati posisi ke-148, empat tingkat di bawah sang musuh bebuyutan, Israel.

Mudah ditebak sebelumnya, negara-negara penggemar konflik horizontal suku, agama, ras, dan antar golongan, (SARA) di dataran Afrika adalah para penghuni posisi bawah laporan GPI tahun ini, tak jauh berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Libya (149), Nigeria (151), Kongo (155), Sudan (156), Somalia (157), Republik Afrika Tengah (158), dan Sudan Selatan (159).

Ironisnya, banyak bukti menunjukkan bahwa konflik-konflik di kawasan tersebut didukung secara politis maupun suplai senjata dari negara-negara damai, khususnya negara-negara Barat termasuk Amerika Serikat.

Faktanya, negara-negara hobi perang tersebut juga lemah secara ekonomi. Penciptaan kesejahteraan secara mendasar adalah formula paling kongkrit untuk menanggulanginya dalam jangka panjang. Tentu dengan tak melupakan faktor lepasnya pengaruh dari negara-negara adidaya sebab yang hobi bermain pengaruh politis dan militer dan yang jadi korban bukan warga negaranya, melainkan warga negara-negara berkonflik itu.

Menciptakan perdamaian entah di kawasan regional, hingga internasional adalah seni politis dari masing-masing pemegang kedaulatan negara yang bersangkutan. Pekerjaan rumahnya pun kompleks, mulai dari pembenahan masalah ekonomi, pendidikan, hukum, hingga sosial-budaya.

Atas pekerjaan yang maha-berat itu dan dinamika dunia internasional yang tak bisa ditebak terutama kebijakan politiknya, data statistik laporan Global Peace Index secara keseluruhan dari 2008 hingga 2016 mengalami kondisi naik-turun. Sempat menaiki tren positif dari 2008 hingga 2010, dari 2010-2011 mengalami penurunan, setahun setelahnya naik lagi, dan dua tahun setelahnya turun lagi, sebelum akhirnya naik lagi dari 2014-2016.

Lalu benarkah klaim Jokowi soal Asia-Pasifik sebagai kawasan teraman?

Mengacu pada rata-rata nilai GPI per regional, Asia-Pasifik dengan poin 1.940 rupanya masih kalah dibanding Eropa (1660) dan Amerika Utara (1.771). Berturut-turut di bawahnya ada Amerika Tengah dan Kawasan Karibia (2102), Amerika Selatan (2106), Afrika (2234), Rusia dan Asia Tengah (2356), Asia Selatan (2414), dan akhirnya Timur Tengah (2554).

Cita-cita luhur tentang “perdamaian abadi dan keadilan sosial” mesti terus diupayakan secara konkret oleh pemerintah Indonesia. Jika ingin lebih bijak tentu perlu bersandar dengan data yang jelas agar tak sekedar klaim tanpa bukti.

Baca juga artikel terkait POLITIK atau tulisan lainnya dari Akhmad Muawal Hasan

tirto.id - Politik
Reporter: Akhmad Muawal Hasan
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti