Menuju konten utama

Naik Turun Popularitas Mandi dari Masa ke Masa

Perlu ratusan tahun bagi budaya barat untuk menjadikan mandi sebagai bagian dari aktivitas harian mereka.

Ilustrasi Mandi. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Bagi masyarakat modern, mandi telah menjadi aktivitas rutin untuk membersihkan tubuh. Terbukti, nilai industri perawatan tubuh global telah mencapai USD 83,2 miliar pada 2021 dan tingkat pertumbuhan per tahun diperkirakan meningkat 5,8% dari 2022 sampai 2028 – menurut laporan Grand View Research, perusahaan konsultan dan riset pasar yang berbasis di AS dan India.

Naiknya permintaan produk shower and bath (shower gel, sabun cair, body scrub, sabun batangan) meningkatkan total penjualan produk perawatan tubuh.

Namun tidak semua orang tahu bahwa mandi tak selalu identik dengan kebersihan. Ribuan tahun lalu, orang di dunia barat mandi bukan supaya bersih, tapi untuk relaksasi, sosialisasi, atau ritual.

Sementara, ratusan tahun lalu, orang barat bahkan tidak mandi karena menganggapnya bahaya bagi tubuh. Mandi baru mulai dikaitkan dengan kesehatan setelah abad ke-19.

Mungkin tidak ada catatan sejarah tentang kapan manusia pertama kalinya mandi. Namun Romawi Kuno memiliki budaya mandi yang paling terkenal dan banyak didokumentasikan.

Sejak abad ke-3 SM, sudah berdiri pemandian umum yang didukung oleh jaringan saluran air buatan. Dua ratus tahun kemudian, telah terdapat 850 pemandian. Pemandian ini bisa ditemui di kota kecil di bawah kekuasaan Romawi, tapi tentu saja kompleks pemandian di kota besar lebih megah. Dibangun dengan ratusan bata terakota antiapi, berlantai mosaik, berdinding marmer dan dihiasi patung-patung.

Orang kaya dan rakyat biasa boleh memanfaatkan pemandian itu. Di dalamnya, bukan hanya ada fasilitas kolam air panas, air hangat, dan air dingin, tapi juga ruang ganti, ruang olahraga, ruang pijat dan perawatan kesehatan. Bahkan ada pula pemandian yang dilengkapi perpustakaan, ruang ceramah, air mancur dan taman.

Melihat pembagian ruangnya, pemandian jelas tak hanya dibangun demi kebersihan dan kesehatan warga, tapi juga untuk memuaskan publik dan sebagai glorifikasi para sponsor yang mendukung fasilitas mewah ini.

Dalam buku “Clean: A History of Personal Hygiene and Purity”, Virginia Sarah Smith menulis bahwa pemandian umum ini dibangun untuk kesenangan, politik, dan propaganda. Bukan demi mencegah penyakit. Dalam periode yang panjang, dampak kebersihan dari sistem pemandian umum ini justru bukan hal utama. Pergi ke pemandian menjadi kebiasaan sosial dan kultural pada masa itu.

Hingga abad pertengahan, orang Eropa tetap memperhatikan kebersihan badan dan masih menyukai aktivitas mandi. Mereka juga membenci bau badan dan lebih memilih aroma yang segar. Namun setelah zaman renaisans, sekitar abad ke-16 dan 17, pemandian umum dan kebersihan badan tidak lagi sepopuler dahulu.

Menurut buku “Cleanliness and Culture” oleh Kees van Dijk and Jean Gelman Taylor (eds), ada beberapa faktor yang mendorongnya. Pemandian umum mulai dipandang tidak senonoh karena tidak memisahkan antara tempat laki-laki dan perempuan. Apalagi, pengaruh gereja semakin kuat. Karena gereja mengecam nudity, sementara di pemandian orang perlu melepas busana sebelum mandi, akhirnya satu per satu pemandian pun tutup.

Buku tersebut juga menyebutkan bahwa orang nasrani di Spanyol menganggap bahwa mandi adalah kebiasaan para muslim Moor, karena itu mereka tidak mau mencontohnya. Pemandian di Spanyol dilarang sejak 1576.

Pemerintah dan gereja kala itu bahkan melarang warga untuk mandi di sungai karena menganggap aktivitas ini kurang bermoral. Namun larangan ini diabaikan karena masyarakat –baik kelas atas maupun rakyat jelata—sangat gemar mandi di sungai untuk bersantai.

Infografik Mandi Biar dikata Ningrat

Infografik Mandi Biar dikata Ningrat. tirto.id/Fuad

Bau Badan Melambangkan Kekuatan

Dalam buku “The Clean Body, A Modern History” karya Peter Ward, tertulis bahwa Louis XIV hanya mandi dua kali sepanjang hidupnya. Pada 1665, saat ia berusia 27, dokter menyuruh Louis XIV mandi untuk menyembuhkannya dari konvulsi (kejang).

Namun mandi justru membuatnya sakit kepala seharian. ‘Eksperimen’ ini diulang lagi tahun depannya, tapi tak kunjung membuahkan hasil. Sejak itu, Louis XIV tak pernah lagi mau mandi. Padahal, ia punya kamar mandi dengan bak mandi marmer yang besar.

Ia bukannya tak peduli dengan kondisi kulitnya. Setiap pagi setelah bangun tidur, para pelayan menggosok tubuhnya dan ia juga sering berganti baju sepanjang hari. Terutama mengganti baju dalam linennya. Tapi ia hanya bersentuhan dengan air saat mencuci tangan dengan air wangi di pagi hari, serta menyeka wajahnya setiap dua hari sekali dengan handuk lembap.

Penduduk Eropa takut kalau mandi mengurangi kekuatan mereka. Mereka juga percaya bahwa mandi itu berbahaya, terutama setelah abad ke-14 ketika wabah pes mulai menyebar di Eropa. Berendam dalam air dianggap berisiko membuka pori-pori sehingga racun dan penyakit bisa masuk ke dalam tubuh. Karena itu, mereka lebih memilih untuk ‘mandi kering’ dengan cara mengelap tubuh dengan kain.

Hingga abad ke-18, di Prancis khususnya dan Eropa umumnya, bau badan dikaitkan dengan kekuatan dan kesehatan. Beberapa dokter bahkan percaya kalau bau badan dapat menghalau wabah penyakit. Para pekerja kasar juga yakin bahwa bau badan mereka bermanfaat bagi kesehatan.

Namun orang Eropa –baik bangsawan Prancis maupun birokrat Inggris — tidak menganggap diri mereka kotor. Pada abad ke-17, konsep kebersihan di Eropa berkisar pada penampilan. Air lebih sering dipakai untuk mencuci baju, bukan badan. Terutama mencuci baju dalam linen yang menempel langsung pada kulit.

Linen yang putih adalah pertanda kebersihan. Karena itu, menjaga kebersihan tubuh bisa dilakukan dengan rutin mengganti baju dalam.

Sebagian orang Eropa di Asia mendapat pengaruh dari penduduk lokal untuk mandi, terutama di negara tropis. Buku “Cleanliness and Culture” menyebutkan kalau orang Inggris di India diperkenalkan pada kebiasaan mandi rutin oleh warga setempat.

Tapi ketika pulang ke negerinya, mereka dihina kurang jantan oleh rekan-rekan yang jarang mandi. Tentu tak semua orang Eropa yang bisa dipengaruhi, termasuk serdadu Belanda di Batavia. Bahkan, pada 1750 muncul aturan kalau serdadu Belanda diwajibkan mandi setidaknya 8—10 hari sekali! Aturan ini dibatalkan pada 1775, mungkin karena atasan mereka juga tak suka mandi.

Kembali Mandi

Sesungguhnya, kegiatan mandi tidak pernah sepenuhnya hilang, tapi baru pada pertengahan abad ke-18 gagasan tentang mandi sebagai kegiatan yang menyehatkan baru muncul. Masa itu, kaum elite mulai tidak bisa menolerir bau badan dan kembali menyukai aroma tubuh yang segar. Kamar mandi kembali menjadi elemen penting di rumah para bangsawan.

Pada awal abad ke-19, tepatnya pada 1810, seorang imigran India bernama Sake Dean Mahomed mendirikan Indian Vapour Baths and Shampooing Establishment di Brighton, Inggris. “Sampo” berasal dari kata Hindi yang berarti pijat.

Ia mengklaim kalau pijat dan mandi uap dapat mengobati rematik dan penyakit lainnya. Walau awalnya kurang disambut, tapi akhirnya ia mendapatkan klien penting: Raja George IV dan Raja William IV. Aktivitas mandi lambat laun kembali populer. Pemandian bermunculan lagi.

Pada abad ke-19, mandi dan kebersihan badan menjadi karakter orang kelas atas. Bau yang tak enak menjadi penanda keterbelakangan dan identik dengan orang kelas bawah, kelas pekerja dan kaum miskin.

Aktivitas mandi menjadi pembeda antara kaum elite dan rakyat jelata. Mulai banyak orang yang menyadari keterkaitan antara kebersihan dan kesehatan.

Selanjutnya, kemajuan dalam industri, perpipaan, arsitektur dan sains juga membantu menumbuhkan budaya mandi. Kamar mandi semakin banyak dibangun di rumah-rumah orang kaya. Lalu pada abad berikutnya, juga di rumah rakyat biasa. Selain itu, produksi dan promosi sabun juga mendorong masyarakat untuk mengutamakan kebersihan badan dengan mandi secara rutin.

Pada awal abad ke-20, penelitian mengenai pentingnya kebersihan semakin digalakkan. Akhirnya, setelah melewati proses ratusan tahun, kebersihan pribadi menjadi sesuatu yang amat penting bagi orang Eropa dan Amerika Serikat.

Baca juga artikel terkait MANFAAT MANDI atau tulisan lainnya dari Eyi Puspita

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Eyi Puspita
Penulis: Eyi Puspita
Editor: Lilin Rosa Santi