Menuju konten utama
28 Februari 1570

Muslihat Portugis Membunuh Sultan Khairun

Tipu muslihat.
Penjajah lari pucat
diamuk rakyat.

Muslihat Portugis Membunuh Sultan Khairun
Ilustrasi pembunuhan Sultan Khairun dari Ternate. tirto.id/Gery

tirto.id - Perang seru di Maluku itu akhirnya tuntas pada 1567. Portugis sudah kewalahan menahan gempuran pasukan tempur Kesultanan Ternate di bawah pimpinan Sultan Khairun Jamil. Mengaku kalah dan memohon jalan damai, Portugis diberi ampun oleh sang sultan, diperbolehkan berdagang, bahkan tidak dilarang menyiarkan agamanya di wilayah Ternate.

Namun, Portugis mengkhianati pengampunan itu. Diam-diam, disusunlah rencana untuk membalas kekalahan. Hingga akhirnya, pada 28 Februari 1570, tepat hari ini 448 tahun silam, siasat licik itu dijalankan. Sultan Khairun dijebak, dibunuh, kemudian mayatnya dibuang ke tengah laut.

Polemik Takhta Ternate

Lahir pada 1522, Khairun merupakan anak Sultan Bayanullah, pemimpin Kesultanan Ternate yang berkuasa sejak 1500. Pangeran Khairun bukanlah pewaris utama takhta ayahnya. Ibunya adalah orang biasa, perempuan berdarah Jawa yang dinikahi Sultan Bayanullah sebagai istri yang kesekian.

Setelah Sultan Bayanullah wafat, sempat terjadi polemik terkait suksesi kepemimpinan yang melibatkan permaisuri, yakni Ratu Nukila, dan adik kandung mendiang sultan yang bernama Pangeran Taruwese. Portugis ikut bermain dalam polemik keluarga ini dengan mendukung Taruwese.

Pangeran Hidayat (sering disebut pula dengan nama Dayalu atau Deyalo), sang putra mahkota yang masih kecil, meninggal dunia sebelum dinobatkan. Namun, ada juga versi yang menyebut bahwa ia sempat menjadi sultan, lalu dilengserkan oleh Taruwese dan Portugis, seperti dikisahkan M. Adnan Amal dalam buku Kepulauan Rempah-Rempah (2016: 7).

Pangeran Hidayat kemudian dilarikan ke Tidore, tempat asal Ratu Nukila, agar selamat dari kejaran Taruwese dan orang-orang Portugis. Taruwese sendiri sempat menguasai takhta Ternate. Namun, ia justru dibunuh oleh Portugis karena dianggap berbahaya.

Yang menjadi pemimpin Ternate berikutnya adalah Pangeran Boheyat (Abu Hayat), putra kedua dari pernikahan Sultan Bayanullah dan Ratu Nukila, sekaligus adik kandung Pangeran Hidayat. Ia ditetapkan sebagai pemimpin Kesultanan Ternate pada 1529 dengan gelar Sultan Abu Hayat II.

Pada 1531, atas campur tangan Portugis, Sultan Abu Hayat II dikriminalisasi lalu diasingkan ke Malaka dan tak pernah kembali lagi ke Ternate hingga wafatnya. Portugis selanjutnya mendesak dewan kerajaan agar mengangkat Pangeran Tabariji, saudara tiri Abu Hayat, sebagai sultan berikutnya.

Upaya ini berhasil. Namun, seperti dicatat R. Soekmono dalam Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia (1981), Sultan Tabariji lama-lama kesal dengan Portugis dan berniat melawannya. Portugis kembali menggunakan cara lamanya. Tabariji difitnah dan dibuang jauh ke Gowa, India, pada 1534. Terjadilah kekosongan kepemimpinan di Kesultanan Ternate (hlm. 50).

Dari sinilah muncul Khairun Jamil sebagai putra mendiang Sultan Bayanullah yang paling berpotensi, meskipun bukan anak yang lahir dari permaisuri. Maka, dewan kerajaan akhirnya bersepakat bahwa Khairun, yang saat itu masih berusia 12, bakal diangkat menjadi pemimpin Kesultanan Ternate pengganti Tabariji.

Aksi Sang Sultan Muda

Khairun resmi menempati singgasana tertinggi Kesultanan Ternate sejak 1534. Dewan kerajaan, keluarga istana, beserta rakyat Ternate menyepakati penobatan Khairun karena tidak ingin diperintah lagi oleh Tabariji.

Terdengar kabar dari tempat pengasingannya di India, Tabariji telah menjalin kesepakatan dengan Portugis, ia bersedia meninggalkan Islam dan beralih menjadi pemeluk Nasrani agar takhtanya kembali.

Selain itu, seperti dikutip dari buku Sejarah Sosial Kesultanan Ternate (2010), Tabariji akan menyerahkan Ambon, Buru, dan Seram, serta mengakui Kesultanan Ternate sebagai vasal dari Kerajaan Portugis (hlm. 9). Tabariji pun bersiap pulang kampung. Namun, ia ternyata tidak pernah tiba di Ternate lantaran meninggal dunia dalam perjalanan.

Mangkatnya Tabariji membuat Portugis mau tidak mau harus mengakui Khairun sebagai raja sah Kesultanan Ternate. Bagi Portugis sebenarnya tidak masalah karena menganggap Khairun yang masih bocah bakal gampang diatur. Tapi, ternyata mereka salah.

Awalnya, Sultan Khairun tidak bersikap keras terhadap Portugis. Namun, di sisi lain, raja muda ini juga menjalin koneksi lain, termasuk dengan Kekaisaran Turki Usmani yang notabene adalah lawan utama Portugis saat itu. Menurut Auni Abdullah dalam Islam dalam Sejarah Politik dan Pemerintahan di Alam Melayu (1991), Ternate bermitra rahasia dengan Turki melalui Kesultanan Aceh Darussalam (hlm. 178).

Untuk menjaga relasi dengan Portugis sekaligus meredam kecurigaan, Sultan Khairun memberikan sejumlah keleluasaan. Selain dalam hal perdagangan, Portugis juga diperbolehkan menyebarkan agama mereka di Ternate. Maka, pada 1546, sebagaimana disebutkan R.Z. Leirissa dalam Sejarah Kebudayaan Maluku (1999), tibalah seorang misionaris terbesar dalam sejarah gereja Katolik, yaitu Fransiskus Xaverius (hlm. 29).

Terkait misi gospel Portugis tersebut, seperti dikutip dari buku Sejarah Nasional: “Ketika Nusantara Berbicara” (2017) karya Joko Darmawan, ada syarat yang diajukan oleh Sultan Khairun. Kegiatan misionaris boleh dilakukan, tapi hanya menyasar rakyat Ternate atau Maluku yang belum memeluk Islam atau masih menganut ajaran leluhur (hlm. 11).

Namun, Portugis ingkar janji. Mereka menghasut kerajaan-kerajaan kecil di Maluku yang sudah berhasil dikristenkan untuk menggoyang kemapanan Ternate dan Sultan Khairun. Rakyat yang tinggal di wilayah kerajaan-kerajaan itu pun dipaksa masuk agama Katolik, termasuk orang-orang yang beragama Islam.

Sultan Khairun murka atas kelakuan Portugis yang tak patut tersebut. Maka, sang sultan menyusun kekuatan untuk menghukum mereka. Perang antara Ternate melawan Portugis pun tidak terelakkan lagi.