Menuju konten utama

Musim Semi Bisnis Broadway

Keberhasilan di Broadway kerap kali berarti kesuksesan finansial serta popularitas untuk jangka panjang. Lakon musikal Lion King dan Phantom of the Opera, misalnya, masing-masing telah menghasilkan lebih dari 6 miliar dolar Amerika Serikat dari pementasan di seluruh dunia.

Musim Semi Bisnis Broadway
Suasana malam hari di broadway, simbol New York City dan Amerika Serikat. [foto/shuuterstock]

tirto.id - 2015/2016 adalah musim yang cemerlang bagi Broadway. Pusat teater komersial tersyhur itu berhasil meraup pendapatan kotor tertinggi sepanjang sejarah, 1,37 miliar dolar Amerika Serikat.

Menurut catatan The Broadway League—asosiasi yang menghimpun lebih dari 700 pemilik rumah pertunjukan, kelompok teater, produser, serta para pelakon lain industri tersebut—1.648 pertunjukan yang digelar di Broadway pada musim lalu telah memikat 13,32 juta penonton, lebih banyak 216 ribu orang dibandingkan tahun sebelumnya.

Jumlah penonton yang bertumbuh sebesar 1,6 persen itu, meski tidak terkesan luar biasa, adalah tengara keberhasilan. “Keberagaman lakon musikal dan drama di Broadway, baik karya-karya baru maupun hasil kemas ulang, menegaskan bahwa kami menyediakan pertunjukan untuk siapa saja,” ujar Charlotte St. Martin, presiden The Broadway League. Ia menerangkan "rahasia kesuksesan" Broadway kepada AM New York.

Tapi, beragam saja tentu tidak cukup. Salah satu penyokong utama kesuksesan Broadway adalah lakon unggulan. Pada 2015/2016, posisi itu ditempati oleh Hamilton, drama musikal (hip-hop) tentang Alexander Hamilton, seorang bapak bangsa Amerika, yang diciptakan oleh Lin-Manuel Miranda dan disutradarai oleh Thomas Kail.

Hamilton yang dipentaskan di Richard Rodgers Theater sejak 6 Agustus 2015 itu berhasil mendapatkan 11 piala Tony, penghargaan prestisius di dunia teater yang dianggap setara Academy Award alias Oscar, untuk sejumlah kategori utama. Beberapa di antaranya ialah pertunjukan musikal terbaik, naskah musikal terbaik, dan pemeran utama musikal pria terbaik.

Masih ada sejumlah apresiasi lain: Undangan dari Gedung Putih dan berbagai acara bincang-bincang di televisi. Dan puncaknya, Miranda diminta berpose untuk sampul majalah Rolling Stone, seperti Muhammad Ali dan Jar Jar Binks.

Keberhasilan di Broadway kerap kali berarti kesuksesan finansial serta popularitas untuk jangka panjang. Lakon musikal Lion King dan Phantom of the Opera, misalnya, digelar terus-menerus selama puluhan tahun. Tempatnya bukan hanya di kawasan Broadway, New York, melainkan juga di berbagai kota dan negara di seluruh dunia. Masing-masing tercatat telah menghasilkan lebih dari 6 miliar dolar Amerika Serikat.

Sejumlah pengamat menyatakan Hamilton bisa saja menyusul para pendahulunya. Dalam seminggu, hasil penjualan tiket Hamilton berkisar di angka 2 juta dolar. Bila ritme itu dipertahankan, lakon musikal tersebut akan menjaring hampir 100 juta dolar Amerika Serikat dalam setahun.

Dan tiket bukanlah satu-satunya cara menghasilkan uang. Menurut Nielsen, Album musik Hamilton telah terjual lebih dari 428 ribu kopi. Spotify dan Apple Music mencatat streaming sebanyak 365 juta kali. Secara keseluruhan, album musik itu telah meraup hasil penjualan senilai 11 juta dolar Amerika Serikat.

Ada pula buku Hamilton: the Revolution yang mengisahkan proses penciptaan Hamilton di balik layar. Buku itu ditulis Miranda bersama Jeremy McCarter. Hasilnya tidak main-main: terjual lebih dari 100 ribu eksemplar hanya dalam dua bulan pertama. New York Times menempatkan buku itu di peringkat pertama dalam daftar laris nonfiksi hardcover.

Namun, tidak berarti jalan Hamilton (dan pertunjukan-pertunjukan lain di Broadway) bebas hambatan. Pada masa persiapan pentas saja lakon itu menggerogoti dana sebesar 12,5 juta dolar Amerika Serikat. Begitu tayang, tiap pekan para penyelenggara mesti membayar sebesar 650 ribu dolar untuk sewa rumah pertunjukan dan lain-lain. Dalam setahun, biaya operasional itu senilai 34 juta dolar Amerika Serikat.

Semua orang dalam tim Hamilton tentu ingin ada selisih sebesar-besarnya di antara pendapatan dan modal. Dan untuk itu, mereka butuh setiap lembar uang yang bisa mereka peroleh dari setiap kursi di gedung pertunjukan. Sialnya, pikiran serupa juga berkembang di kepala para pengambil untung dari kerja orang lain.

Sekitar 13 hingga 22 persen (180-300) dari 1319 kursi yang tersedia di Richard Rodgers Theatre diduduki oleh para calo. Harga rata-rata tiket pementasan laris di Broadway adalah 172 dolar Amerika Serikat, tetapi calo biasa menjualnya kembali di situs-situs seperti StubHub, Craiglist, dan Ticketmaster dengan harga yang jauh lebih mahal: rata-rata 872 dolar.

Dari setiap pertunjukan Hamilton, para calo menyulap sekitar 150 ribu dolar. Artinya, mereka mendapatkan 60 juta dari sekitar 400 pertunjukan selama setahun. Tentu saja tidak sepeser pun mampir ke kantong produser, investor, dan orang-orang yang bekerja keras untuk mewujudkan pementasan. Yang paling berbahaya dari percaloan adalah ia mengikis minat para penonton.

Broadway dan Off-Broadway

Meski mengulurkan janji-janji kesuksesan serta diliputi pesona yang gemerlap, Broadway belum tentu diinginkan oleh para pekerja teater. “Ia penting dalam deretan industri budaya, tapi, ya, bukan untuk kalangan teater ala Beckett atau Shakespeare,” ujar Goenawan Mohamad, sastrawan dan intelektual terkemuka Indonesia.

Menurut Goenawan, Broadway tidak pernah dianggap serius dan terpandang oleh pekerja teater kontemporer Indonesia. Bagi mereka, Broadway hanyalah industri bisnis yang kelewat komersial. “Yang mereka pandang dengan kagum justru teater-teater Off-Broadway.”

Off-Broadway adalah kategori yang memayungi tempat-tempat pertunjukan profesional di New York yang memiliki daya tampung 100 hingga 499 kursi. Menurut Ken Bloom dan Frank Vlastnik dalam Broadway Musicals: The 101 Greatest Shows of All Time, gerakan Off-Broadway dimulai pada 1950an, sebagai reaksi terhadap komersialisme Broadway serta sebagai tempat persemaian seniman-seniman generasi baru.

Sebagai “alat ukur” kualitas artistik sekaligus tanda apresiasi, teater Off-Broadway memiliki sejumlah penghargaan, yaitu New York Drama Critics' Circle Award, Outer Critics Circle Award, Drama Desk Award, Obie Award, Lucille Lortel Award, dan Drama League Award.

Di luar Broadway dan Off-Broadway, ada satu kategori lagi, yaitu Off-Off-Broadway. Teater jenis ini biasanya berdaya tampung kurang dari 100 kursi. Istilah itu juga melingkupi pementasan-pementasan teater di New York yang tidak terikat kontrak dengan League of Resident Theatres, Broadway, atau Off-Broadway. Rentang pertunjukan dalam kategori ini mencakup penampilan para amatir hingga seniman-seniman profesional yang telah mapan.

Teater Off-Off-Broadway diciptakan sebagai, tentu saja, reaksi terhadap Off-Broadway plus penolakan menyeluruh terhadap teater komersial. Ada seniman Indonesia yang pernah menjajal teater jenis ini. “Putu Wijaya main di La Mama dan Rendra di sebuah gereja agak di luar New York,” kata Goenawan Mohamad. “Sebenarnya, mereka tenggelam di kancah teater di kota itu.”

Baca juga artikel terkait TEATER atau tulisan lainnya dari Dea Anugrah

tirto.id - Musik
Reporter: Dea Anugrah
Penulis: Dea Anugrah
Editor: Maulida Sri Handayani