Menuju konten utama

Musik Indonesia Akan Baik-Baik Saja tanpa Jakarta

Bisakah belantika musik di Indonesia tumbuh tanpa bergantung pada Jakarta?

 Musik Indonesia Akan Baik-Baik Saja tanpa Jakarta
Avatar Soni Triantoro. tirto.id/Sabit

tirto.id - Sementara definisi untuk musik Indonesia masih bersimpang selisih, kita bisa mulai dengan menyelamatkan belantika dari penyunatan maknanya sebagai “lapak musik Jakarta”.

Pada dekade 70-80-an, kala TVRI masih pemain tunggal di pertelevisian, musik-musik populer mendapatkan arusnya di sana. Namun, pemerintah pusat memantik TVRI di daerah untuk lebih banyak memainkan musik-musik dengan balutan musik tradisional, seperti campursari, jaipongan, dan beragam pop daerah. Paradigmanya sederhana: untuk daerah adalah seni daerah, tidak usah muluk-muluk.

Berdekade kemudian, negara berubah pikiran. Daerah tidak bolek katrok, mungkin pikir mereka. Kepala Subdit Edukasi Ekonomi Kreatif untuk Publik, Dr. Mohammad Amin, memaparkan fakta minimnya pendapatan domestik bruto dari sektor musik (0,45%), dibandingkan dengan tiga sektor unggulan masing-masing: kuliner (40.75%), fashion (18,2%) dan kriya (15,3%). Maka musisi non-Jakarta harus diajak jualan. Badan Ekonomi Kreatif (BEKRAF) lalu menghelat lokakarya musik bertajuk “WRockshop Produksi dan Promosi Musik Indonesia Di Era Digital” ke sejumlah daerah dengan melibatkan musisi, manajer band, promotor, penyiar radio, dan wartawan.

Sayangnya, materi mereka tampak meremehkan. Misalkan ada materi tentang “apa itu runner?” dalam helatan di Yogyakarta. Padahal sebagian audiens adalah mereka yang sudah khatam menggarap konser-konser band internasional.

“Ada dikotomi bahwa daerah tidak tahu apa-apa, sehingga kita diajari hal-hal basic yang seolah tidak pernah kita tahu,” ujar Desta, salah seorang jurnalis musik yang diundang dalam acara yang menyuarakan ukuran kesuksesan musik dari tingkat sebaran album itu.

Tak menampik bahwa lokakarya adalah prakarsa yang baik, namun eksekusinya menunjukan kacamata pukul rata dan ketidakmampuan pemerintah melihat potensi yang berbeda di tiap daerah.

Sebagai kota kemaruk --pusat pemerintahan, bisnis, politik, sekaligus hiburan tumpang tindih jadi satu-- sentralisasi dan ketimpangan adalah pekerjaan rumah yang tak pernah ditagih guru. Jakarta sebagai ruang sosial dan kultural yang melebar telah menuntun pada ketidakadilan ekonomi, politik, dan ternyata juga fasilitas berkesenian. Sulit berharap tumbuhnya ragam Tin Pan Alley, Seattle sound, atau West Coast – East Coast. Padahal, belantika seharusnya tidak melulu Barasuara, Danilla, Fourtwnty, dan artis-artis ibukota lain yang belakangan sebenarnya progresivitasnya terantuk di situ-situ saja.

Perihal ini, saya coba membacanya dalam pertautan tiga komponen utama—mengesampingkan pemerintah yang sejak awal sudah tersesat. Tiga komponen itu yakni organisator, audiens, dan media.

Pertama, adalah keluhan umum bahwa band Jakarta mudah mendapat akses tampil di daerah, namun tidak sebaliknya. Apalagi penyelenggara acara musik berorientasi komersial memang cenderung memprioritaskan artis ibukota. Lebih-lebih jika sudah terseret ke wacana acara-acara buatan perusahaan rokok.

Sponsor rokok sedari lama dipandang bukan bagian dari infrastruktur ideal untuk menjadi pilar industri musik, bahkan dalam beberapa konteks justru dianggap sebagai kanker. Untuk konser di daerah sendiri pun, manajemen konten acara bersponsor rokok menjurus monoton dan seringkali tidak berpihak pada talenta-talenta lokal selain Jakarta.

Ini merupakan wujud pemaksaan standar dari brand untuk daerah. Kebanyakan artis lokal sekadar dijadikan penampil pembuka dalam rangka pemenuhan syarat kepatutan saja, termasuk main jam 3 sore untuk acara yang sudah dipastikan baru ramai pada jam 8 malam.

“Bahkan ada yang tampil sebatas formalitas. Dikasih di Welcome Stage. Panggung kecil, sound kecil, dan apresiasi ala kadarnya. Yang paling nahas, kadang dimainkan di ‘jam-jam mati’ (antara ada dan tiada),” ujar Iksan Skuter, solois asal Malang-Bandung. Pun servis penyelenggara seringkali jauh dari memuaskan, baik soal honor yang tidak mengikuti standar minimal, hingga nihilnya kesempatan soundcheck.

Apakah mereka bisa disalahkan? Tidak sepenuhnya, karena perusahaan rokok bukan kolektif pergerakan. Mereka mencari uang dan popularitas sejak dalam pikiran. Sementara kecenderungan pasar pula untuk lebih menyukai artis-artis urban ibukota, sebagaimana tren-tren lainnya. Mendidik audiens jelas bukan hal mudah, apalagi kuncinya ada di ekspos media, dan ini satu lagi peranan yang dikuasai ibukota.

Jangankan musik folk penjaja eksotisme, musik dangdut saja bisa naik kelas sejak media-media Jakarta memasarkannya pada awal 1990-an. Andrew N Weintrub dalam Dangdut: Musik, Identitas, dan Budaya Indonesia menyatakan masuknya acara dangdut di stasiun-stasiun televisi swasta komersial memungkinkan dangdut memperluas jangkauannya ke kuping-kuping kelas-menengah, dan berhasil menghapus citra kampungan yang tadinya melekat padanya.

Sejak bertahun-tahun lalu, hampir tak ada media yang punya infrastruktur cukup kuat untuk mengklaim dirinya media musik nasional. Ketika Rolling Stone Indonesia dan Trax tutup warung, sebenarnya kancah-kancah daerah punya peluang. Namun, sejauh ini belum ada yang menampakkan ambisi dan keseriusannya untuk itu. Dalam realitas media, sesuai kata Remotivi, separuh dari Indonesia masih Jabodetabek.

Timothy Taylor dalam Strange Sounds menyebut perkembangan digital sebagai “The most fundamental change in the history of Western music since the invention of music notation in the ninth century”.

Saya tidak seoptimis itu.

Platform streaming memang tampak lebih mudah mempertemukan karya dengan pendengarnya, tapi bagaimana jika pendengar itu dihadapkan dengan begitu banyak produk, atau secara sederhana, bagaimana cara artis mendapatkan perhatian di antara jutaan artis lainnya?

Mereka yang punya sumber daya superior akan dengan mudah memanipulasi ruang yang sekilas tampak netral itu. Media sosial memang revolusioner, namun fungsi media umum dalam memberikan legitimasi dan kesempatan memperkenalkan musik dan penciptanya pada pasar yang lebih luas masih belum tergantikan.

Apalagi masyarakat yang bergerak kian digital dalam beberapa konteks justru mengarahkannya makin Jakarta-sentris. Konglomerasi media mengadopsi model bisnis multiplatform, sehingga semua media mereka terkonvergensi dan makin tersentralisasi.

Konglomerasi yang berbasis di Jakarta, menurut Tapsell dalam Media Power In Indonesia, Oligarch, Citizens and the Digital Revolution, menggunakan digitalisasi untuk menghubungkan area regional dengan konten nasional mereka. Digitalisasi justru mencegah potensi semakin beragam pandangan yang dimungkinkan oleh internet, entah itu perkara politik, sosial, ataupun musik.

Mari Melalaikan Jakarta

Jogja, hampir dalam bidang apapun, sejak lama punya sentimentalitas dan antusiasme tersendiri untuk selalu mencoba menciptakan sesuatu yang tidak ada di Jakarta, dan sialnya kerap berhasil dalam musik. Sebut saja Frau, Senyawa, Jogja Hip Hop Foundation, Sisir Tanah, atau NDX AKA.

Yang disebut terakhir ini amatlah menarik. NDX AKA didirikan pada tahun 2011 oleh dua remaja tanggung di daerah semi-rural di Jogja, dan mengusung eksperimen sekelas “Norwegian Wood” dari The Beatles: mencampurkan hip hop dengan dangdut. Lagu-lagu mereka seperti “Sayang”, “Kimcil Kepolen”, dan “Bojoku Ketikung” lalu lalang di sudut-sudut ruang publik, juga panggung-panggung biduan dangdut tanpa peduli apa itu hak cipta dan apa itu anarki.

Lantaran berjarak dengan kancah hip hop, NDX AKA lebih banyak mempraktikkan modus sirkulasi dari kancah musik dangdut. Salah satu efeknya adalah media-media musik bisa dibilang terlambat mencium eksistensi mereka, meski kiprahnya sudah jauh melampaui artis-artis langganan media. Dalam kasus ini, pentingnya kontribusi media ternyata bisa dilangkahi.

Salah satu faktornya adalah pola jangkauan mereka yang justru lebih mendekati pola pentas Orkes Melayu ketimbang lazimnya artis hip hop yang menyasar kota-kota pusat industri kreatif. NDX biasa tampil di Kediri, Purwodadi, Pemalang, Tegal, Purworejo, Bojonegoro, Pati, Tulungagung, Demak, Nganjuk, Kudus, Magelang, Kendal, Rembang, Purbalingga, Klaten, Sragen, dan masih banyak kota lainnya.

“Kami paling banyak main di Jawa Timur – Jawa Tengah, paling barat itu di Pemalang sama Purbalingga,” tukas Nanda (vokalis) dalam penelitian terkait distribusi musik NDX AKA yang disusun oleh Titah Asmaning. Pada salah satu momen terbaiknya, mereka pernah tampil di hadapan 20 ribu penonton saat tampil di Jepara.

Masuk di tahun 2016, NDX AKA sudah tertangkap radar para organisator acara musik yang lebih prestise. Misalnya, mereka diundang tampil di FKY (Festival Kesenian Yogyakarta) 2016 dan mencetak rekor hari teramai sepanjang sejarah festival tahunan tersebut. Terakhir, Jakarta pun takluk, mereka tampil sangat dirayakan di Synchronize Fest 2018.

Dalam angan-angan bengal--dan irasional--kita bisa saja melakukan boikot nasional kepada kancah musik Jakarta. Namun, wacana yang lebih masuk akal dan perlu dibicarakan lebih jauh adalah kelirunya persepsi bahwa kesuksesan musisi daerah harus dimulai dari penerimaan oleh kancah Jakarta. Ada seantero musisi yang berhasil membangun tumpuan sepak terjang dari kota-kota yang kadang dianggap sebagai kota penyangga, semacam Boyolali, Magelang, Purwokerto, dan sebagainya.

Bolehlah jika dangdut dianggap terlalu tipikal sekaligus asing untuk dijadikan preseden. Contoh lain adalah Rebellion Rose yang cukup membuat saya terkesima tatkala menggelar peluncuran album ketiganya yang bertajuk Sehat Selalu Sodaraku di awal November lalu.

Bukan cuma konser tunggal ala kadarnya, band punk rock asal Jogja ini mengundang dua puluh lebih band lain, “...yang selalu menjamu kami saat manggung di kota-kota tempat mereka tinggal...” dan sederet kolaborator lain dalam sebuah helatan ala festival, lengkap dengan gelar wicara serta camping ground.

Inisiatif setaraf ini yang diperlukan untuk merawat ekosistem kancah lintas kota yang menghidupi. Tak mengkhianati upaya-upaya itu, hasil berkata mereka menjadi salah satu eksponen dari Jogja yang terpantau kian melejit, meraup massa dalam jumlah besar di sebaran daerah-daerah non-Jabodetabek, terutama dari Lamongan, Gresik, Jember, dan Lumajang.

Pola jejaring ini juga jangan sampai hanya tersangkar di spektrum Jawa dan berakhir menjadi satu lagi gerakan Jawasentris. Ketergantungan akan sponsor rokok nyatanya justru sangat kuat di luar Jawa. Bagi banyak musisi di kancah Kalimantan atau Sulawesi, akses bekerjasama dengan sponsor rokok misalnya masih iming-iming yang kuat, termasuk bisa dipertemukan dengan pasar musik di Jawa. Kesempatan semacam ini seharusnya bisa mereka dapatkan tanpa mesti menunggu inisiatif sponsor. Dinamika sosial dan budaya luar Jawa yang beragam perlu masuk perhitungan dalam membangun jejaring.

Jakarta memang mengesalkan sejak dulu, tapi tidak perlu mengeluh atau menagih yang tidak mampu mereka penuhi. Kuping mereka yang membesarkan Young Lex ini tidak menentukan segalanya, masih ada sekitar 255 juta pasang kuping lain.

*) Opini kolumnis ini adalah tanggungjawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi tirto.id.

*) Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.