Menuju konten utama

Museum Pribadi Para Miliarder Dunia

Museum-museum yang dibangun dan dikelola oleh swasta marak bermunculan dalam beberapa tahun terakhir. Kehadiran mereka seakan memberi angin segar di tengah-tengah berbagai keterbatasan yang kerap meliputi museum milik negara. Apa yang melatari kemunculan fenomena ini?

Museum Pribadi Para Miliarder Dunia
Pengunjung melihat pameran seni di Fondation Beyeler, Basel. [Foto/fondationbeyeler.ch]

tirto.id - Apakah yang terlintas dalam benak seorang miliarder ketika semua hal di dunia ini telah dimilikinya? Hidup abadi? Plesiran ke Jupiter? Atau, melamar jadi presiden Amerika Serikat?

Wang Wei dan Liu Yiqian—suami istri superkaya asal Cina—punya jawaban berbeda. Mereka punya ambisi untuk membangun sebuah museum pribadi supermegah.

Mengapa pasangan ini memilih museum?

“Istri-istri para miliarder itu punya banyak uang tapi cuma tahu berbelanja saja. Aku mau ajari mereka biar lebih punya selera,” tandas Wang Wei seperti dikutip dari NBC.

Wang dan Liu adalah salah satu miliarder terkaya di daratan Cina. Keduanya terkenal gemar menghamburkan uangnya untuk jet pribadi, yacht, dan benda-benda mahal lainnya. Selain itu, kedua pasangan eksentrik ini juga sudah lama dikenal sebagai kolektor benda seni yang sangat aktif.

Sejak 2010 hingga 2012, keduanya merintis pembangunan museum “Long” di Shanghai. Museum pribadi ini dibangun di lahan seluas 107.640 square foot dan diperkirakan memakan biaya operasional sebesar 1,6 juta dolar Amerika Serikat per tahun.

Langkah Wang Wei dan Liu Yiqian turut dijejaki oleh Budi Tek, taipan produk pertanian dan pemilik Sierad Produce.

Pada 2015, pengusaha berdarah Cina-Indonesia ini menyulap sebuah hanggar pesawat terbang di Shanghai menjadi museum berkelas internasional bernama “Yuz”. Sebelumnya, Budi telah membuka museum serupa di Jakarta pada 2008.

Berbeda dengan Wang dan Liu, Budi Tek memiliki alasan yang lebih sentimentil.

“Apakah anda ingat nama kakek buyut anda? Saya tidak. Sembilan puluh sembilan persen orang akan mengajukan jawaban yang sama. Saya sendiri ingin supaya generasi mendatang kenal namaku,” ujarnya seperti dikutip dari BBC.

Apa Itu Museum Pribadi?

Museum pribadi/swasta pada dasarnya merupakan museum yang pengelolaan dan sumber pendanaannya berasal dari pihak-pihak selain pemerintah. Selain itu, inisiatif pembangunan dari museum ini juga berasal dari pihak pribadi.

The Global Private Museum Network –lembaga yang mewadahi jejaring pengelola museum-museum pribadi di dunia—mendefinisikan museum pribadi sebagai “museum seni kontemporer yang dimiliki oleh individual, keluarga, atau korporasi yang sama sekali tidak memperoleh dana publik atau memperolehnya dalam jumlah sedikit, menampilkan koleksinya sehingga dapat dinikmati publik secara fisik secara rutin, serta secara teratur menampilkan pameran seni berkurasi.

Lembaga Global Private Museum sendiri didirikan untuk mendukung sekaligus menghubungkan museum-museum pribadi khususnya museum seni kontemporer, baik antar sesamanya, maupun dengan lembaga-lembaga lain seperti pemerintahan maupun birokrasi. Hal ini termasuk menghubungkan dengan museum-museum publik, melakukan penggalangan dana, dan melakukan ekshibisi.

Museum pribadi tidak hanya berisikan karya-karya seni kontemporer. Beberapa museum pribadi bahkan mengambil tema-tema yang cukup aneh bin unik.

Salah satunya adalah Apple Museum di kota Praha, Republik Ceko. Museum yang dibuka oleh seorang kolektor misterius ini memuat berbagai koleksi produk Apple dan anak-anak perusahaannya seperti NeXT dan Pixar. Museum ini didirikan di daerah kota tua Praha di atas tiga bangunan sekaligus.

Dengan membayar 11 Euro, yang seluruhnya digunakan untuk amal, pengunjung dapat menyaksikan sekitar 472 koleksi museum.

Filantropi di Balik Museum Pribadi

Kemunculan museum-museum pribadi di berbagai penjuru dunia merupakan salah satu fenomena budaya yang menarik untuk ditelusuri dalam beberapa tahun terakhir. Umumnya, museum-museum ini didirikan atas inisiatif pribadi dari orang-orang superkaya.

Ada banyak alasan yang mereka ajukan, mulai dari filantropisme, upaya untuk menyumbangkan sesuatu bagi perkembangan seni budaya dunia, melakukan soft-power diplomacy, hingga ikhtiar untuk merawat koleksi mereka supaya tidak rusak. Tentu saja seluruh museum ini terbuka untuk umum.

Larry List—sebuah lembaga riset kesenian-- menyatakan bahwa hingga 2014 mereka telah mencatat adanya 350 museum pribadi di seluruh dunia. Sejumlah 27 persen di antaranya didirikan sebelum 2000 dan setengahnya didirikan pada satu dekade terakhir. Sementara itu, seperlima dari museum itu didirikan sejak 2010 hingga saat ini.

Dari laporan yang sama ditemukan bahwa kota Seoul merupakan kota dengan museum pribadi terbanyak di dunia karena memiliki 13 museum. Hal ini menjadikan Korea Selatan sebagai negara dengan museum pribadi terbanyak sedunia dengan 46 museum, disusul oleh Amerika Serikat di posisi kedua (43 museum), Jerman (42), Cina (26), Italia (19) dan Jepang (11).

Larry List menjabarkan, sebanyak 35 persen dari seluruh museum pribadi tersebut mampu meraup sekitar 20.000 pengunjung per tahunnya. Dari sisi pengelolaan, angka ini diperoleh lewat metode pemasaran yang inovatif dan anggaran yang jauh lebih besar dibandingkan museum milik negara.

James Pickford dari Financial Times menulis bahwa kunci sukses dari museum-museum pribadi dibandingkan museum milik negara terletak pada besarnya anggaran yang berpadu dengan independensi serta minimnya hierarki serta birokrasi yang menghalangi pengambilan keputusan.

“Museum pribadi memiliki kemampuan lebih baik dalam mengambil langkah-langkah yang lebih berisiko,” ucap Philipp Dodd, mantan direktur ICA Gallery di London, seperti dikutip dari Financial Times.

Berdasarkan riset terbaru dari Larry List yang bekerja sama dengan Art Market Monitor of Artron pada 2015, biaya operasional untuk museum pribadi rata-rata sekitar $250ribu hingga $1 juta per tahunnya. Ini tidak termasuk dalam pembelian koleksi museum yang harganya tidak bisa diestimasi.

Dari survei yang sama, biasanya, sumber pembiayaan museum pribadi didapatkan dari uang pribadi pemilik/keluarganya, pendapatan langsung museum (tiket masuk, sewa tempat), sponsor dan donor, serta sumbangan dari pemerintah. Namun, hingga kini, untuk museum pribadi, pembiayaan terbesar masih berasal dari uang pribadi pemilik atau keluarganya.

Rata-rata luas lahan museum-museum pribadi dalam riset ini mencapai 3.400 meter persegi dengan rata-rata pendirinya sudah berusia 65 tahun dan 81 persen di antaranya adalah laki-laki. Hal ini terjadi karena pembangunan museum biasanya dilakukan saat para pendirinya mulai memasuki masa pensiun atau mulai mengurangi aktivitas bisnisnya.

Salah satu contohnya adalah Francois Pinault. Miliarder penguasa fashion ini mulai aktif menggagas pembangunan museum-museum pribadinya sejak 2001 setelah ia mewariskan kerajaan bisnisnya – yang mencakup brand raksasa seperti Gucci, Yves Saint Laurent, Puma and Balenciaga—kepada anaknya, Francois- Henry.

Selanjutnya, pria yang dijuluki The Guardian sebagai salah satu kolektor paling berpengaruh dunia ini merintis pembangunan museum Palazzo Grazi dan dua museum lainnya di Venezia.

Pinault saat ini tengah gencar-gencarnya menargetkan pembangunan museum pribadi terbarunya di The Bourse de Commerce di pusat kota Paris. Ia menargetkan, museum pribadinya itu akan selesai pada 2018 mendatang.

Sejumlah 59 persen dari museum-museum ini dibangun di atas tempat tinggal para pendirinya, dengan dalih bahwa mereka “ingin menyumbangkan sesuatu kepada lingkungan tempat tinggalnya”. Beberapa miliarder yang menempuh cara ini adalah Dasha Zhukova—istri pemilik klub sepakbola Chelsea, Roman Abramovich— dengan Garage Museum-nya di Moskow dan Miuccia Prada dengan Fondazione Prada-nya di Milan.

Museum-museum pribadi dalam riset Larry List memiliki jumlah koleksi yang tidak kalah dengan museum milik negara. Sebanyak 43% museum pribadi memiliki minimal 500 koleksi karya, sementara 30 persen di antaranya memiliki hingga 1.500 karya seni.

Baca juga artikel terkait MUSEUM atau tulisan lainnya dari Putu Agung Nara Indra

tirto.id - Bisnis
Reporter: Putu Agung Nara Indra
Penulis: Putu Agung Nara Indra
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti