Menuju konten utama
11 April 2019

Mus Mulyadi, Buaya Keroncong yang Punya Tujuh "Anak" di Suriname

Kisah Mus Mulyadi, si Buaya Keroncong yang serba bisa.

Mus Mulyadi, Buaya Keroncong yang Punya Tujuh
Ilustrasi Mozaik Mus Mulyadi. tirto.id/Deadnauval

tirto.id - Di Suriname, Amerika Selatan, nama Mus Mulyadi barangkali tak akan lekang oleh waktu. Di negara bekas jajahan Belanda itu, namanya dijadikan nama jalan, rumah sakit, dan stadion. Tak kurang dari tujuh kali ia menyambangi negeri yang banyak dihuni orang-orang Jawa tersebut. Di sana, ia kerap membawakan lagu-lagu keroncong dan pop Jawa.

Suatu malam, seperti dilaporkan Tempo (27/03/1993), Mus ditelepon penggemarnya di Suriname yang meminta izin memakai namanya untuk anak yang baru lahir. Sampai tahun 1993, tak kurang dari tujuh anak di Suriname yang memakai namanya.

Mus Mulyadi lahir di Surabaya pada 14 Agustus 1945 dari pasangan yang berminat pada kesenian. Ayahnya yang bernama Ali Sukarni menyukai gamelan. Sementara Muslimah, ibunya, gemar musik keroncong. Dua hal inilah yang akhirnya juga melekat dengan Mus Mulyadi, yakni keroncong dan pop Jawa.

Selain kesohor dalam kedua jenis musik tersebut, Mus Mulyadi juga terkenal dengan musik pop dan rock. Sejak tahun 1960-an, ia sudah menjadi anak band. Mus, seperti dicatat Denny Sakrie, pernah bergabung dalam band Ariesta Birawa sebagai pemain bas yang merangkap penyanyi.

Selain Mus Mulyadi, personil lain band pop yang dipimpin oleh Busro Birawa adalah Sunatha Tandjung (gitar utama), Mochammad Jusi (gitar pengiring), dan Zainal Abidin (drum). Pada akhir 1960-an, band ini mengiringi Nany Suwandi dalam album Djoko Tarub yang direkam Dimita Record milik Dick Tamimi.

Awal 1970-an, Sunatha Tanjung menjadi gitaris AKA, band rock asal Surabaya. Menurut Ita Siti Nasyi'ah dalam Ucok Aka Harahap: Antara Rock, Wanita & Keruntuhan (2013:47), Zainal Abidin juga sempat bergabung dengan AKA sebelum akhirnya digantikan adiknya, Syech Abidin. Hal itu terjadi karena Zainal Abidin kembali ke Ariesta Birawa yang belakangan ditinggalkannya juga.

Di Ariesta Birawa, nama Mus Mulyadi tidak terlalu terkenal. Hal ini sejalan dengan kondisi band tersebut yang tidak populer. Selepas Mus Mulyadi keluar, Ariesta Birawa merilis album bernuansa rock progresif, sebuah genre musik yang meski ada penggemarnya namun tidak terlalu banyak. Band ini tak banyak dikenal kecuali oleh orang-orang sezaman.

Selain bersama Ariesta Birawa, Mus Mulyadi juga pernah rekaman bersama Exotic Band untuk lagu Sedetik Dibelai Kasih. Ia bernyanyi sambil bermain bass, sementara Jerry Souisa dan Arkan memetik gitar, serta Zainal menggebuk drum. Sebelum lagu ini direkam, bersama Zainal dan Jerry, Mus Mulyadi pernah bermusik di Singapura.

Favourite Group

Pertemuan Mus Mulyadi dengan Aloysius Riyanto—pimpinan band 4 Nada—adalah pertemuan penting dalam karier musiknya. Rekaman bersama 4 Nada pun pernah dilakoninya. Band ini mulanya adalah band pengiring di perusahaan rekaman Remaco milik Eugene Timoty. Tahun 1972, bersama Mus Mulyadi, bekas para personel band ini kemudian membentuk band baru yang bernama Favourite Group.

Band ini hadir di tengah produktivitas Koes Plus yang luar biasa dalam menelurkan album pada paruh pertama era 1970-an. Meski demikian, bagi pendengar musik Indonesia, Favourite Group bukan band yang memalukan di jagat pop Indonesia. Karya-karya mereka diapresiasi oleh masyarakat luas.

Album perdana mereka berisi lagu-lagu seperti Angin Malam, Seuntai Bunga Tanda Cinta, Setitik Embun, dan Mawar Berduri. Lagu-lagu dengan lirik yang cukup melankolis itu laris manis di pasaran, dan kebanyakan dinyanyikan oleh Mus Mulyadi selaku penyanyi utama.

Dalam album Favourite berikutnya terdapat lagu-lagu seperti Mimpi Sedih, Aku yang Kau Tinggalkan, dan Cintaku Suci. Lagu-lagu Favourite kebanyakan diciptakan oleh Aloysius Riyanto.

Setelah album ketiga, Mus Mulyadi cabut dari band. Posisinya digantikan oleh Mamiek Slamet. Dan pada tahun 1978, Mus Mulyadi kembali bergabung dengan Favourite Group.

Infografik Mozaik Mus Mulyad

Infografik Mozaik Mus Mulyadi. tirto.id/Deadnauval

Main Film & Buaya Keroncong

Tahun 1974, seperti dicatat JB Kristanto dalam Katalog Film Indonesia 1926-2005 (2005), Mus Mulyadi ikut main film yang berjudul Putri Solo dan Aku Mau Hidup. Kedua film itu diproduksi oleh PT Agasam Film milik Fred Young. Namun pencapaiannya di film tak sesukses musisi-musisi lain yang main film seperti Rhoma Irama.

Mus Mulyadi lebih dikenal karena suaranya dalam musik keroncong. Ia pernah berduet dengan diva keroncong Indonesia, Waldjinah. Menurut Gus Joman dalam Campursari-Catatan Pinggir: Elmatera (2017:22), Mus Mulyadi melakukan terobosan karena membawakan lagu-lagu keroncong dengan cengkok modern. Lagu keroncong terkenal yang dibawakannya antara lain: Kota Solo, Dinda Bestari, dan Jembatan Merah. Tak heran jika Mus Mulyadi mendapat julukan Buaya Keroncong.

Jejak Mus Mulyadi di band diikuti oleh adiknya, Mus Mujiono, yang pernah satu band dengan kawan Mus Mulyadi, yakni Zainal Abidin dalam De Hand. Namun, belakangan Mus Mujiono dikenal sebagai gitaris musik jazz.

Di masa tuanya, suami Helen Sparingga ini terus bernyanyi, terutama lagu-lagu keroncong. Mul Mulyadi wafat pada 11 April 2019, tepat hari ini setahun lalu.

Baca juga artikel terkait MUSISI INDONESIA atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Musik
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Irfan Teguh