Menuju konten utama
15 September 2013

Munzir al-Musawa: Habib yang Menyeru Kedamaian, bukan Kekerasan

Dakwah Munzir al-Musawa yang menyampaikan tasawuf secara populer merupakan jalan yang ditempuh para habib sejak lama.

Munzir al-Musawa. tirto.id/Deadnauval

tirto.id - Sesaat setelah Munzir al-Musawa mengucapkan salam, lelaki yang didatanginya hanya mendelik bengis, memandanginya saksama, dan berkata, “Mau apa?”

Sebelum menjawab pertanyaannya, Munzir mengulurkan tangan dan lelaki itu menyambut uluran tangannya. Ia lalu mencium tangan lelaki itu, memandangnya dengan lembut dan penuh keramahan.

“Saya mau mewakili pemuda sini, untuk mohon restu dan izin pada bapak, agar mereka diizinkan membuat majelis di musala dekat sini,” jawab Munzir dengan suara rendah.

Lelaki itu tak menimpalinya. Ia justru roboh, terduduk di kursinya dan menunduk seraya menutup kedua matanya. Sesaat kemudian ia mengangkat kepalanya. Wajahnya memerah dan berurai air mata.

Sembari terisak ia bercerita. Seumur hidup ia tak pernah didatangi ustaz atau kiai. Jangankan dicium orang alim, anaknya saja jijik untuk sekadar mencium tangannya. Sebagai seorang preman yang ditakuti, yang kerap datang ke rumahnya hanya orang-orang jahat yang memintanya untuk membantai musuh, atau mengajaknya menghamburkan uang agar ia senantiasa mau berbuat jahat.

Maka saat Munzir Al-Musawa mendatanginya seraya mengucapkan salam dan mencium tangannya, ia merasa malu sekaligus haru.

“Saya ini bajingan, kenapa minta izin pengajian suci pada bajingan seperti saya?” ucapnya.

Singkat cerita ia pun bertobat, menjadi kepala keamanan kampung dan musala, serta rajin mengikuti pengajian di majelis yang diampu oleh Munzir.

Kisah ini dituturkan Munzir Al-Musawa dalam kumpulan tanya jawab antara ia dan murid-muridnya yang bertajuk Cahaya Cinta Habib Mundzir Al-Musawa (2011). Ia menceritakan pengalamannya saat menerima keluhan tentang para remaja masjid yang rajin mengadakan taklim hatmul Alquran, namun dihalang-halangi dewan masjid. Alasannya, bacaan Alquran para remaja itu dinilai banyak yang salah.

Munzir memang memberikan contoh yang ekstrem. Namun ia sejatinya ingin menunjukkan bahwa jangankan dewan masjid yang tentunya berpendidikan, bahkan seorang preman yang hidup di jalanan pun bisa luluh hatinya jika didekati dengan baik.

“Berbuat baiklah padanya, beri hadiah dan akhlak mulia, sungguh resep ini mujarab menundukkan orang yang buruk akhlak pada kita,” ucapnya kepada para remaja masjid itu.

Wajah Damai Habib Lulusan Hadramaut

Pada tahun terakhirnya belajar di Ma’had Darul Musthafa, Tarim, Yaman atau Hadramaut, di Indonesia tengah terjadi krisis. Gelombang kerusuhan membakar sejumlah wilayah, mengiringi lengsernya Soeharto.

Di Yaman, Munzir al-Musawa belajar di bawah bimbingan langsung Habib Umar bin Hafidz. Ia mendalami ilmu fikih, tafsir Alquran, hadits, sejarah, tauhid, tasawuf, dakwah, dan syariah.

“Habib Umar bin Hafidz secara eksplisit melarang murid-muridnya berdemonstrasi dan ikut politik praktis,” kata Ismail Fajrie Alatas, sejarawan kandidat doktor University of Michigan, yang memerhatikan diaspora orang-orang Hadrami di Asia Tenggara, sebagaimana di kutip Idrus F. Shahab dan kawan-kawan dalam Karnaval Habib Kota (2019).

Masih pada tahun yang sama dengan lengsernya Soeharto, Munzir akhirnya pulang ke tanah air. Hasil didikan gurunya yang melarang ikut politik praktis membuatnya mendirikan Majelis Rasulullah, sarana dakwahnya dengan wajah yang ramah.

Menurut Ahmad Syarif Syechbubakar dalam “Meet the Habibs: the Yemen connection in Jakarta Politics”, yang tulisannya kemudian diterjemahkan oleh Tirto, kepulangan lulusan Ma’had Darul Musthafa, Yaman, seperti Munzir Al-Musawa membuat ajaran-ajaran Tarekat Alawiyah direvitalisasi.

Sebagaimana ekspresi politik yang tiba-tiba menggelora, langkah ini merupakan bagian dari ekspresi keagamaan yang selama Orde Baru berkuasa banyak dihalangi pemerintah.

“Di Jakarta, revitalisasi ini meliputi peningkatan aktivitas ziarah ke makam wali seperti Habib Ali Kwitang dan Habib Gubah al-Haddad (Mbah Priok). Pada saat bersamaan, popularitas majelis taklim dan majelis zikir pun semakin berkembang,” tulis Ahmad Syarif Syechbubakar.

Idrus F. Shahab mencatat bahwa dalam ceramahnya Munzir al-Musawa banyak menawarkan tasawuf dalam kemasan populer.

“Saya berdakwah dengan mengenalkan kelembutan Allah dan Rasul-Nya yang jarang dibahas oleh para dai masa kini,” ucap Munzir seperti dikutip Idrus F. Shahab.

Mustamiknya yang dari hari ke hari kian banyak membuat setiap ceramahnya kian ramai. Pelbagai media pendukung seperti umbul-umbul, baliho, drum band, dan live streaming video membuat pengajiannya pun bertambah semarak.

Dakwah Munzir Al-Musawa lewat Majelis Rasulullah yang mengedepankan amar makruf menjadi perhatian masyarakat. Di sisi lain, ada Front Pembela Islam (FPI) yang juga dipimpin seorang habib, namun lebih mengedepankan dakwah nahi mungkar yang keras.

Saking kerasnya FPI, sejumlah masyarakat dan akademisi bahkan mengaitkan organisasi ini dengan premanisme. Ian Douglas Wilson dari Murdoch University Australia menyebutkan bahwa organisasi ini adalah cara preman “menyesuaikan diri untuk berganti kostum agar cocok dengan lingkungan sosial dan politik yang baru”.

Ia menerangkan dalam “’Selama Caranya Halal’: Preman Islam di Jakarta” yang dihimpun dalam Ustadz Seleb, Bisnis Moral & Fatwa Online: Ragam Ekspresi Islam Indonesia Kontemporer (2012), organisasi bagi preman sebagai kaum oportunis abadi dan bunglon ideologi, hanya penting jika dapat menyediakan perlindungan untuk memperoleh dan memelihara wilayah kekuasaan.

“Beberapa kasus menyebutkan, pergantian pakaian ala militer pemuda-pemuda nasionalis menjadi jubah putih atau surban orang-orang Islam radikal hanyalah soal kamuflase belaka,” imbuhnya.

Pendapatnya ia lengkapi dengan mengutip hasil wawancaranya dengan seorang preman yang menjadi anggota FPI.

“Sekarang, di era reformasi, bela bangsa dan segala tetek bengek sudah tidak laku lagi, kelompok-kelompok (yang mengangkat isu) jihad dan maksiatlah tempat untuk dituju,” ucapnya sebagaimana dikutip Ian.

Dengan mengedepankan baik sangka atau praduga tak bersalah, penilaian Ian tentu tak seluruhnya benar. Pelbagai pemberitaan media massa tak jarang melaporkan bahwa aktivitas FPI tak selamanya tentang kekerasan, tapi juga tentang bantuan kemanusiaan di darah-daerah bencana.

Namun, dengan segala citra dan persepsi yang kadung terbentuk di benak masyarakat Indonesia, khususnya Jakarta, dakwah Munzir al-Musawa lewat Majelis Rasulullah kerap ditempatkan sebagai kutub yang berlawanan dengan FPI. Dan belakangan, polarisasi ini semakin dipertajam dengan aksi-aksi FPI yang gemar mengerahkan massa dalam pelbagai unjuk rasa yang kental dengan muatan politik.

Perjalanan ke Pelbagai Penjuru Nusantara

Sikap dakwah Munzir Al-Musawa sejatinya adalah jalan dakwah yang sejak lama ditempuh para habib di Indonesia. Menurut penuturan Ismail Fajrie Alatas dalam wawancaranya dengan Tirto pada Rabu (12/12/2018), tradisi dakwah para habib adalah menekankan pada aspek-aspek amaliyah.

“Mereka menganut jalur tasawuf, lebih tertarik pada isu-isu seperti bagaimana mengajarkan masyarakat wudu yang benar, salat yang benar, dan sebagainya,” terangnya.

Oleh sebab itu, imbuhnya, tokoh-tokoh habib besar di Indonesia seperti Habib Utsman bin Yahya, justru melarang orang melawan pemerintah kolonial Belanda selama mereka memberikan keleluasaan kepada umat Islam untuk mempraktikkan agamanya.

“Ini seperti Anda mengirim anak-anak muda bunuh diri karena akhirnya mati konyol,” kata Ismail Fajrie Alatas mengira-ngira ungkapan Habib Utsman bin Yahya kepada beberapa kiai tarekat, saat terjadi pemberontak petani di Banten pada 1888 yang ditulis sejarawan Sartono Kartodirdjo.

Contoh lain adalah Habib Ali Kwitang yang berhubungan baik dengan pemerintah kolonial Belanda dan pemerintah Orde Lama. Hal itu diteruskan oleh anaknya, yakni Habib Muhammad yang berhubungan baik dengan Golkar dan pemerintah Orde Baru.

“Yang penting pokoknya bagaimana pemerintah itu tidak represif,” imbuh Fajrie Alatas.

Infografik Mozaik Habib Munzir bin Fuad al-musawa

Infografik Mozaik Habib Munzir bin Fuad al-musawa. tirto.id/Sabit

Ia tak menyangkal bahwa dalam sejarah panjang dakwah para habib ada juga yang bersikap keras terhadap penguasa, namun karena minoritas ia menyebutnya anomali. Dan karena lebih kerap gagal daripada berhasil, maka mayoritas para habib menyebutnya sebagai “ini bukan jalan kita” kepada setiap gerakan perlawanan itu.

Genealogi ideologi mayoritas para habib inilah yang diusung Munzir Al-Musawa. Hal ini membuatnya selalu diterima pada setiap perjalanan dakwah di pelbagai penjuru Nusantara.

Ia pernah mengunjungi Banten, Banyuwangi, Madura, Bali, Lombok, sampai Papua dengan sambutan baik dari masyarakat setempat. Sebuah video dengan kualitas gambar buruk memperlihatkan ia disambut masyarakat tempatan di Papua dengan tarian adat. Selain di Indonesia, ia juga sempat berdakwah di Singapura, Malaysia, dan Pathani (Thailand selatan).

Di tengah antusiasme sebagian masyarakat Muslim Indonesia yang senantiasa menantikan majelis-majelis taklimnya, Munzir Al-Musawa jatuh sakit. Pada 15 September 2013, tepat hari ini enam tahun lalu, habib yang menempuh dakwah ramah ini mengembuskan napasnya yang terakhir.

Diiringi ribuan jemaahnya, almarhum dikebumikan di kompleks makam keluarga Habib Abdullah bin Ja’far al-Hadad di Jalan Rawajati Timur II, Kelurahan Rawajati, Kecamatan Pancoran, Jakarta Selatan.

Fandi, mahasiswa sebuah universitas di Ciputat, Tangerang Selatan, menyampaian kesaksiannya kepada Kompas (17/9/2013) tentang gurunya, “Habib Munzir mengajarkan hal-hal yang seharusnya dilakukan dalam kehidupan harian yang sering diabaikan orang, seperti peduli terhadap sesama dan menegur orang dekat (anggota keluarga) yang berbuat salah.”

Kesaksian lain disampaikan Abdul Rahman Hasan, warga Pasar Minggu, Jakarta Selatan, yang sering mengikuti majelis taklim Munzir Al-Musawa.

“Dengan sangat lembut ia selalu meminta jemaah untuk menghormati sesama tanpa membeda-bedakan golongan. Secara pribadi, saya kehilangan seorang guru,” ungkapnya.

Baca juga artikel terkait DAKWAH ISLAM atau tulisan lainnya dari Irfan Teguh

tirto.id - Humaniora
Penulis: Irfan Teguh
Editor: Ivan Aulia Ahsan