Menuju konten utama

Mungkinkah Kita Melupakan Kurt Cobain?

Masih relevankah membicarakan Kurt Cobain dan mendengarkan Nirvana?

vokalis nirvana, kurt cobain, tampil di festival reading, inggris, agustus, 23, 1991. [foto/shutterstock]

tirto.id - Bagaimana cara mengingat Kurt Cobain?

Ketika Nirvana masih belum jadi apa-apa, Krist Novoselic ingat bagaimana Kurt dulu sempat menjadi petugas kebersihan di Aberdeen High School, sebuah SMA yang jaraknya hanya sepelemparan tombak dari tepi sungai Wishkah yang berlumpur. Basis Nirvana itu ingat Kurt pernah dikeluarkan dari sekolah itu. Dari pekerjaan tersebut, Kurt punya cukup uang untuk menyewa sebuah flat kecil di 404 N Michigan Street.

"Di sana sempat ada seorang pria yang tidak akan pernah membersihkan dapur atau membuang sampah, atau melakukan pekerjaan seperti itu, tetapi Kurt Cobain bukan orang yang malas," kenang Krist seperti dilansir Guardian. "Sebenarnya ia tukang pembersih toilet—begitulah cara dia membayar untuk (album) demo kami." Maka ketika mereka memikirkan konsep video klip "Smells Like Teen Spirit", ditampilkanlah sesosok petugas pembersihan yang menari sambil membawa ember dan setongkat kain pel.

Anda tentu tahu bagaimana kemudian fenomenalnya lagu tersebut. Tak hanya berhasil melambungkan nama Nirvana ke jagat rock n roll, "Smells Like Teen Spirit membuat album kedua mereka Nevermind diburu para pecinta musik. Hingga detik ini dan jutaan detik setelah ini, "Smells Like Teen Spirit" akan selalu menjadi salah satu lagu rock terbaik yang menjadi penanda suatu generasi: “Lagu kebangsaan bagi anak-anak apatis” dalam Generasi X.

Pertanyaan selanjutnya: Bagaimana cara untuk melupakan Kurt Cobain?

Menggugat Nirvana, Melupakan Kurt Cobain

Dalam opininya yang provokatif di Guardian pada 2014 lalu berjudul "Nirvana Had Nothing on Australia's Lubricated Goat", Chris Dubrow, mantan vokalis iNsuRge, band industrial rock dari Sidney, menyatakan kisah tentang Nirvana selama ini terlalu dibesar-besarkan.

“Seiring peringatan ke-20 kematian tragis Kurt Cobain yang dirayakan di seluruh dunia, saya tidak dapat mengelabui perasaan saya yang menganggap bahwa Nirvana terlalu dibesar-besarkan.”

Pernyataan Dubrow tak sekadar olok-olok. Sasaran tembak tulisannya justru bukan Nirvana atau Kurt an sich, melainkan bagaimana posisi Australia yang kerap diabaikan dalam sejarah Grunge. Sebagai seorang musisi yang telah aktif dalam skena bawah tanah Australia sejak periode 1980-an, terutama di Melbourne, Dubrow punya argumentasi yang sekiranya perlu dicermati ulang.

“Bagi saya, adegan berguling-guling di lantai lengket di sebuah pub kelas dua di Australia telah menghasilkan citarasa grunge yang lebih baik, jauh sebelum orang Amerika menemukan hal tersebut di Seattle. Dan bahkan Cobain sendiri pernah mengakui bahwa gelombang Australia merupakan pengaruh besar,” tulisnya.

Ia juga menambahkan bahwa dari sekian album Nirvana hanya Bleach yang cukup representatif membawa semangat Grunge (versi Australia) dalam musikalitasnya: “Mungkin cuma album pertama Nirvana, Bleach (1989), yang hampir menyentuh nafas Grunge Australia, namun itu bahkan tidak sebanding dengan energi murni dan liar dari band-band seperti Scientists, X (band Australia, bukan AS), Beasts of Bourbon, Feedtime, Cosmic Psychos, dan Lubricated Goat.”

Dubrow makin bersemangat mengemukakan argumennya: “Band-band Australia itu adalah para seniman pembuat terobosan asli yang tidak dapat diabaikan ketika mendiskusikan sejarah rock di eranya. Tetapi, seperti halnya para seniman Inggris tahun 1960-an, yang mengajarkan orang Amerika tentang musik blues mereka sendiri, radio-radio komersial Australia butuh Seattle untuk menemukan suara kami sendiri.”

Seattle memang dianggap sebagai lokasi kelahiran Grunge yang dapat dilacak sejak pertengahan 1980-an. Selain Nirvana, ada Soundgarden, Temple of The Dog, Pearl Jam, Alice in Chains, dan Mudhoney yang kelak dikenal dunia ketika memasuki periode 1990-an. Pengaruh Grunge pun sampai ke Australia dengan hadirnya Silverchair. Namun, tidak demikian dalam pandangan Dubrow selaku musisi yang sudah akrab dengan skena musik non-populer di negara tersebut pada periode yang sama.

Dubrow kemudian menutup argumennya dengan kalimat yang lebih pedas: “Adapun yang dilakukan Nirvana hanyalah membawa citarasa musikalitas itu ke pinggiran kota sehingga saudara-saudari mereka yang malang tidak harus bepergian ke pub-pub kami yang penuh bau busuk.”

Ada beberapa hal fatal dalam argumen Dubrow. Ia mungkin abai dengan Green River, band asal Seattle yang oleh majalah Rolling Stone ditahbiskan sebagai pionir musik Grunge sejak awal 1980-an. Namun begitu, Grunge bukanlah genre musik monolitik. Dengarkanlah tekstur musik band-band so-called Grunge dari Seattle. Nirvana tidak terdengar seperti Pearl Jam. Pearl Jam tidak mirip Soundgarden. Soundgarden berbeda dengan Alice in Chains. Alice in Chains tidak terdengar seperti Screaming Trees. Tak ada kemiripan antara Screaming Trees dan Mudhoney. Dan musik Mudhoney tidak ada mirip-miripnya dengan Hammerbox.

Anda juga jelas tidak dapat menyamakan, atau sekadar menyandingkan, kesuksesan Nirvana, Pearl Jam, atau Alice in Chains dengan band-band besar lain yang lahir dari Whisky a Go Go, sebuah klub malam terkenal yang berada di ruas jalan legendaris di kota Hollywood Barat, Los Angeles, Sunset Strip. Ada semangat berbeda, dengan gaya hidup yang juga bertolak belakang. Terakhir: penting untuk tidak memandang Grunge sebagai suatu gerakan sosial, kendati berada dalam kegelisahan yang kurang lebih sama dengan Punk Rock.

Dengan mengamati hal-hal semacam itulah maka benar belaka apa yang dituliskan Lisa Wright dalam artikelnya di Noisey. Ia menganggap argumen Dubrow tak ubahnya “komentar butthurt (kondisi dimana seseorang tidak bisa menerima kenyataan) di kolom Youtube”. Wright menulis: “Pada dasarnya (tulisan itu) hanyalah tipikal komentar butthurt, lalu berusaha membantah kenyataan tersebut dengan segala cara."

Namun, salah jika Anda menganggap Wright tengah membela Kurt atau Nirvana lewat artikel tersebut. Sebaliknya, ia bahkan menganjurkan kepada khalayak agar segera melupakan Kurt. Simak saja judul artikelnya: 'Why We Need to Stop Talking About Kurt Cobain'. Hanya saja, tidak seperti Dubrow yang terkesan menihilkan pencapaian Kurt atau Nirvana, pesan Wright berbeda: Anda perlu melupakan Kurt karena segala pujaan berlebih terhadapnya adalah sikap yang justru dibencinya.

Infografik Kurt Cobain

Infografik Kurt Cobain

Anda tahu bagaimana Kurt begitu membenci popularitas, sehingga pada 5 April 1994, ia memutuskan mengakhiri hidup dengan menembakkan shotgun Remington 20 ke kepalanya. Mari ingat kembali penggalan isi surat bunuh dirinya yang legendaris itu:

“Kejahatan terburuk yang pernah aku perbuat adalah berpura-pura pada semua orang bahwa aku orang yang sangat bahagia 100%. Kadang aku perlu mendapatkan dorongan persis sebelum aku naik ke atas panggung. Aku sudah mencoba sekuat tenaga untuk menghargainya. Dan aku benar-benar menghargai hal itu (dan Tuhan, aku meyakini-Nya, percayalah aku meyakini-Nya, tapi itu tidak cukup).

Aku menghargai kenyataan banwa aku dan kami (Nirvana) telah memengaruhi dan menghibur begitu banyak orang. Aku pasti salah satu orang narsistik yang hanya menghargai sekitar ketika mereka pergi. Aku terlalu sensitif. Aku perlu sedikit mati rasa untuk menghadirkan kembali antusiasme semasa kecil."

Hidup Kurt memang penuh ironi. Bahkan setelah ia tiada dan Nirvana bubar pun popularitasnya terus berkibar. Barangkali hanya Bob Marley, Che Guevara, dan Yesus Kristus yang mampu melampaui pamornya. Sebagai penutup, Anda tentu berhak menggugat Nirvana sekaligus berseru kepada siapapun agar melupakan Kurt Cobain, sebagaimana Dubrow yang pretensius atau Wright dengan sinisismenya.

Tapi, di dalam lubuk hati terdalam, kita sama-sama tahu bahwa hal itu nyaris mustahil dilakukan.

Baca juga artikel terkait MUSIK ROCK atau tulisan lainnya dari Eddward S Kennedy

tirto.id - Musik
Penulis: Eddward S Kennedy
Editor: Windu Jusuf