Menuju konten utama

Munafik 2: Eksorsime Syar'i tentang Pengabdi Setan Berkedok Agama

Munafik 2 adalah satire yang mau menunjukkan bahwa mereka yang sesatlah yang suka melempar label sesat pada kaum lain.

Munafik 2: Eksorsime Syar'i tentang Pengabdi Setan Berkedok Agama
Misbar Munafik 2. YOUTUBE/Movie Addict Malaysia

tirto.id - Petualangan si eksorsis syar'i Ustaz Adam berlanjut. Dua tahun lalu, ia sempat jadi pesohor di dunia maya karena menarik perhatian penonton serumpun Melayu.

Di Malaysia, negeri asalnya, Ustaz Adam berjaya lewat Munafik (2016), yang konon jadi film dengan penonton terbanyak sepanjang sejarah negeri mayoritas penduduk muslim itu.

Di media sosial, video perempuan bertelekung hitam yang merayap naik dinding viral dan berhasil menyebarkan ketenaran Ustaz Adam. Film horor kental dakwah Islam itu juga sempat hadir di layar bioskop Indonesia, delapan bulan pasca-tayang dan berjaya di tanahnya sendiri.

Laris dan untung besar jadi alasan Syamsul Yusof dan Skop Production melanjutkan sekuelnya. Syamsul ini pemeran Ustaz Adam, sekaligus penulis naskah, editor film, dan sutradara Munafik. Sementara Skop Production, rumah produksi milik Datuk Yusof Haslam, ayah Syamsul, adalah salah satu rumah produksi terbesar di Malaysia.

Konon, menggelontorkan bujet yang lebih besar demi visi sang anak bukan jadi perkara buat sang ayah.

“Sebagai pengarah (sutradara) mude, of course dia nak melahirkan sebuah karya yang lebih baik, die begitu teliti dalam pengarahan die,” kata Datuk Yusof Haslam, menjelaskan mengapa Syamsul butuh dua tahun mempersiapkan kelanjutan petualangan Ustaz Adam.

Adegan kematian Maria, perempuan yang berusaha dirukiah Ustaz Adam pada video tersebut jadi pembuka Munafik 2. Ustad Adam masih terbayang-bayang kegagalannya menyelamatkan sang pembunuh istri dan anaknya. Ia trauma berurusan dengan setan. Masih tak mau keliling kampung untuk merukiah orang-orang yang kesurupan.

Di masa-masa itu, ia pun kembali tinggal bersama orangtuanya. Walhasil, kita akan bertemu lagi dengan Datuk Rahim Razali yang berperan jadi ayah Ustaz Adam—kali ini memerankan porsi yang lebih banyak. Dan untuk pertama kalinya melihat Salmah, ibu Ustaz Adam yang diperankan dramatis oleh Ku Faridah. Selain menambah dalam lapisan karakter Ustaz Adam, kehadiran dua karakter ini penting jadi motivasi sekaligus penyebab konflik sang ustaz terkait pekerjaannya sebagai eksorsis.

Pak Rahim ingin Ustaz Adam pergi ke kampung seberang, mengecek kawan lamanya yang konon sakit-sakitan diganggu makhluk halus. Namun, sang ibu tak memberi izin. Dalam adegan dramatis yang banjir air mata, Ustaz Adam akhirnya meyakinkan ibunda bahwa bakat rukiah yang dimilikinya adalah titipan Yang Maha Kuasa—sebuah karunia yang harus ia pakai buat kemaslahatan umat.

Maka dengan dialog yang juga dramatis, dan air mata yang mengucur, sang ibu menjawab, “Karena Allah Ta’ala, emak izinkan Adam pergi, Dam.”

Petualangan Eksorsis a la Drama Melayu

Dialog dramatis dan pengambilan gambar ekstrem jadi ciri khas Syamsul yang paling menonjol dalam film ini. Percakapan melankolis antara Ustaz Adam dan ibunya beberapa kali hadir. Bahkan untuk berdakwah depan warga kampung saja, sang ustaz mesti hapal blocking: mondar-mandir sana-sini sambil tak lupa mengacungkan jari telunjuk. Benar-benar didramatisir. Tapi, rupanya menarik menonton Syamsul Yusof yang narsis memoles diri sebagai Ustaz Adam.

Karakter ini benar-benar dibikin terang di dunia yang benar-benar gelap dan jahiliyah. Kamera Syamsul benar-benar detail menangkap ekspresi, cara menoleh, melihat, duduk, berdiri, berjalan, bahkan tangis Ustaz Adam, sehingga karakter sang ustaz benar-benar jadi sinar utama dalam film yang secara harfiah memang gelap belaka.

Bukankah cuma seseorang yang sering kali bercermin yang persis paham semua angle terbaiknya?

Saya sendiri lebih senang melihat ia melakoni peran Ustaz Adam, ketimbang menontonnya nge-rap.

Mata kamera Syamsul juga seringkali mengambil angle miring, kalau tak salto 360 derajat sekalian. Mungkin ingin menguatkan kesan: betapa ‘miringnya’ semesta tempat Ustaz Adam tinggal. Yang kalau dipikir-pikir memang miring.

Sampai ¾ film, saya sempat lupa kalau latar Munafik 2 adalah zaman sekarang: tempat ponsel, mobil, dan kantor polisi sudah diciptakan manusia. Kalaupun bukan 2018, pasti di tahun-tahun yang tak terlalu jauh ke belakang. Kekhilafan itu pasti bersebab. Sejak awal film, kita sudah dibawa Syamsul mengikuti Sakinah (Maya Karin), perempuan protagonis yang memilih tinggal di tengah hutan untuk merawat ayahnya yang lumpuh.

Anggap sajalah Sakinah ini orang yang amat miskin, dan tak tersentuh pendidikan sehingga pilihan-pilihannya jadi lebih masuk akal dan tidak kelihatan konyol. Kampung sebelah yang dimaksud ayah Ustaz Adam—tempat tinggal Sakinah—memang amat terpencil. Ustaz Adam mesti naik boat, membelah sungai, dan melewati hutan bakau agar tiba di sana.

Saking terpencilnya, seorang dukun yang pakaiannya mirip Jafar dalam semesta Aladdin dengan tampang mirip Limbad, berhasil menguasai daerah itu dan disembah sebagai nabi zaman now. Namanya Abu Jar (Nasir Bilal Khan).

Konon, ia adalah alasan Sakinah membawa kabur sang ayah dan Aina, putri semata wayangnya (Nur Zara Sofia) jauh-jauh dari peradaban. Dukun sesat itu kebelet ingin mempersuntingnya. Iman Sakinah tak mengizinkan hal itu. Tentu saja ini bikin sang dukun berang dan sempat mengejar-ngejar Sakinah sampai ke dalam gua. Beberapa hari kemudian, gua yang sama dipakai Sakinah untuk bersembunyi dari Abu Jar karena takut rumahnya yang di tengah hutan didatangi.

infografik misbar munafik 2

Sesungguhnya Sakinah tak bersalah karena keputusan-keputusan konyolnya adalah bagian dari naskah yang ditulis Syamsul.

Secara keseluruhan, tak ada yang baru dari Munafik 2. Konflik dan putaran alurnya masih mirip-mirip yang pertama. Ada perempuan yang kerasukan, iman Ustaz Adam goyah karena ditinggal orang-orang dicintainya, seorang dukun penyembah setan, ranjau jumpscare, dan solusi deus ex machina dalam wujud geledek.

Bedanya, kehadiran dukun penyembah setan yang kali ini diwakili Abu Jar terasa lebih eksploratif. Syamsul menyelipkan pesan moral tentang sulitnya membedakan Islam betulan dengan Islam yang yang suka memanipulasi dan memperburuk nama orang-orang mukmin. Pesan itu tegas dilemparnya dalam beberapa dialog antara Ustaz Adam dan Abu Jar, lengkap dengan kutipan-kutipan ayat.

Abu Jar bahkan sempat bilang: "Aku bukan bawa ajaran Syiah". Ia juga sempat beberapa kali mengumpat setan Yahudi. Sementara Ustaz Adam sempat membalas bahwa setinggi-tingginya ilmu manusia, ia tetap bisa keliru dan tak lebih tinggi dari hadist dan Al-Quran. Potongan ini ingin menonjolkan satire bahwa terkadang mereka yang sesatlah yang suka melempar label sesat pada kaum lain.

Sayang, pesan itu tak akan terlihat lebih menonjol daripada lubang-lubang dalam naskah Syamsul. Jika ia ingin penonton (utamanya di luar Islam) melihat Islam yang tenang, syahdu, cinta damai, dan tak jahiliyah seperti yang dibawa Abu Jar, mungkin ada baiknya Syamsul tidak membunuhi terlampau banyak orang saleh (protagonis) dalam film ini. Seolah-olah syarat orang baik adalah rela disiksa di dunia lalu mati mengenaskan (dibunuh anak sendiri, disembelih tenggorokannya, atau ditikam tengkuknya). Barulah kemudian ia berhak dapat pertolongan dari Tuhan, yang bentuknya berupa geledek.

Setelah menonton 121 menit penuh adegan dar-dor-der yang bikin capek, dan kematian antagonis utama, setelah nyaris semua protagonis mati, pulang-pulang muncul pertanyaan di kepala saya: “Kenapa Tuhan baru muncul di belakang? Eh, Kenapa Ustaz Adam enggak panggil polisi saja?”

Baca juga artikel terkait FILM HOROR atau tulisan lainnya dari Aulia Adam

tirto.id - Film
Penulis: Aulia Adam
Editor: Windu Jusuf