Menuju konten utama

Mukarim, si Gila yang Menyelamatkan Pantai Pasuruan

Mangrove tak hanya menahan abrasi tapi juga punya nilai ekonomi.

Mukarim, si Gila yang Menyelamatkan Pantai Pasuruan
Mukarim, 72 tahun, di Desa Penunggul, Nguling, Pasuruan Jawa TImur, 20 November 2019. foto/Wisnu Agung Prasetyo untuk Storigraf

tirto.id - Mukarim mengarahkan telunjuknya ke pondasi-pondasi yang rusak di bekas lahan penampungan air laut. Sebagian besar retak dan roboh. Lahan seluas sekitar 10 hektar itu dulunya tambak udang windu.

“Ini karena dihantam air laut,” ujar Mukarim di Penunggul, Pasuruan, pekan ketiga November 2019.

Sekitar 1983 wilayah ini memang menjadi salah satu sentra udang windu. Beberapa pengusaha menyewa lahan milik negara di dekat pantai utara wilayah Pasuruan itu. Namun, air laut menggerus wilayah daratan, termasuk tambak dan beberapa pemukiman nelayan.

Mukarim yang besar dan lahir di daerah itu mengingat sekitar 1962-an, jarak pemukiman nelayan dan bibir pantai lebih dari 500 meter.

Para nelayan tak menyangka air laut perlahan-lahan mendekat. Puncaknya pada 1986 saat air pasang mendekati pemukiman nelayan, termasuk kediaman Mukarim. “Kurang lebih 50 meter dari rumah saya,” ujarnya.

Mukarim terusik. Jika dibiarkan terus, air laut bisa menghantam dan menenggelamkan rumahnya. Ia mulai memutar otak agar abrasi tak sampai ke desanya.

Suatu hari, saat pergi mencari ikan di Probolinggo, ia melihat ada tanaman yang bisa tumbuh di pinggir pantai. Ia bertanya tentang tanaman itu kepada penduduk setempat. Setelah diberitahu, ia baru mengetahui nama tanaman itu adalah bakau.

Kepada Mukarim, penduduk setempat bilang tanaman itu biasanya berbuah pada September hingga Desember atau penduduk setempat menyebutnya bulan Rasul. Saat bulan yang disebut tiba, sambil berlayar mencari ikan, Mukarim mampir ke wilayah itu. “Kadang dapat 100 sampai 500,” katanya mengenang.

Biji-biji bakau itu kemudian ia tanam di plastik bekas gula untuk dijadikan bibit. Setelah tiga bulan, ia menanam bibit di belakang rumah lalu merembet ke pinggiran lain. Ia melakukannya selama bertahun-tahun.

Lima tahun berlalu, jerih payahnya mulai terlihat. Bakau tumbuh berjejaring dan mampu menahan laju air pasang. Melihat itu, ia tambah semangat. Ia mengajak rekannya sesama nelayan untuk menanam bakau. Tapi justru ia dicibir.

“Saya dibilang gila,” ujarnya. “Gubuk saya dibakar.”

Padahal, gubuk itu menjadi tempat singgah melepas penat usai menanam benih bakau.

Cibiran tak menyurutkan nyali. Ia terus menanam bakau sepanjang lahan pinggir pantai di desanya. “Selama 13 tahun itu saya bisa menanam 57 hektar,” ujarnya. “Itu dari tangan saya sendiri.”

Setelah 1999, para nelayan mulai menerima ajakan Mukarim untuk ikut menanam bakau. Pemerintah Kabupaten Pasuruan pun baru mengetahui ada aktivitas penanaman bakau di Desa Penunggul.

“Kami mulai dibina,” kata Mukarim.

Para nelayan membentuk kelompok. Tanaman bakau semakin meluas. “Sampeyan lihat sendiri, kan, lautnya nyaris tidak kelihatan.” Mukarim terkekeh.

Luas tanaman bakau saat ini mencapai 183 hektare. Daratan di sepanjang tanaman bakau bertambah. “Sekarang jarak bibir pantai dengan daratan kurang lebih 1 km,” katanya.

Saat kami ke Desa Penunggul, ia mengajak kami ke hutan bakau. Pepohonan terbentang di bibir pantai utara di Desa Penunggul, bahkan hutan mangrove itu melintasi desa lain, sebilah jembatan bambu sepanjang 200-an meter membelahnya.

Kami sempat melihat beberapa orang mencari dan mengumpulkan tebalan (sejenis kerang laut) dari sela-sela akar bakau, juga tiram yang menempel di akar bakau.

“Sore hari nanti ada pedagang yang mengambil hasil pencari itu,” ujarnya.

Pada 2005, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menganugerahi Kalpataru kepada Mukarim. Ia mengaku berhenti menjadi nelayan setelah mendapat anugerah itu. “Pak SBY meminta saya untuk menularkan ilmu ke masyarakat lain,” katanya.

Mukarim

Mukarim berpose di pohon bakau di Desa Penunggul, Nguling, Pasuruan, Jawa TImur, 20/11/ 2019. ©Wisnu Agung Prasetyo/Storigraf

Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Jawa Timur Gunawan Saleh mengatakan ada empat daerah rawan abrasi, yakni Pasuruan, Tuban, Gresik, Sampang.

Selain menanam bakau dan cemara udang, pemerintah provinsi membuat sabuk pantai atau para nelayan menyebutnya bedeng (karung pasir dan batu). Menurut Gunawan, tidak semua jenis tanah/pasir di pinggir pantai bisa ditanami bakau atau cemara udang.

Ia mencontohkan di daerah Bancar, Tuban, bakau atau cemara udang kurang bisa berkembang. Untuk mengatasinya, pihaknya membangun bedeng. Kondisi ini berbeda dengan Penunggul yang jenis tanahnya mendukung bakau karena ada arus sungai. Arus sungai, kata Gunawan, biasanya membawa lumpur yang bisa menyuburkan pohon bakau. “Kalau Anda lihat di sana hutan bakaunya lebat sekali,” ujarnya.

Menurut Mukarim, pembangunan sabuk pantai sebenarnya solusi rentan. Sebab, dari beberapa pengalaman yang ia lihat di beberapa lokasi, karung-karung pasir dan batu jika dihantam ombak lama kelamaan jebol. Selain itu, “biayanya mahal.”

Menurut Mukarim, jika sabuk pantai sudah dibangun, sebaiknya pemerintah segera menanam bibir pantai itu dengan jenis bakau atau cemara udang.Tentu, kata dia, harus dilihat juga jenis bakau apa yang pas untuk daerah setempat.

Bertahun-tahun menggeluti bakau membuat Mukarim menerima undangan dari perguruan tinggi dan para tamu dari luar daerah, seperti Aceh, NTB, NTT, hingga Kalimantan, bahkan dari mancanegara, seperti Malaysia, Jepang, dan Jerman.

Para tamu dari luar negeri umumnya melakukan penelitian. Dari luar daerah biasanya memesan bibit.

“Ini ada yang pesan 450 ribu bibit,” katanya. Ia menjual per bibit seharga Rp4.000, termasuk perawatan selama enam bulan.

Untuk mengelola pesanan yang berjibun, pemerintah daerah setempat membuatkan badan usaha berupa CV untuk Mukarim, dikelola anaknya yang bakal menjadi penerusnya.

Beberapa tahun terakhir ini banyak pengusaha tertarik dengan buah bakau untuk dibikin sirup dan keripik. Ia berkata belum lama ini ada yang memesan satu ton buah bakau.

Mukarim tak serakah. Untuk mengumpulkan buah bakau, ia melibatkan penduduk sekitar. “Bagi-bagi rezekilah,” ujarnya.

_____

Liputan ini adalah kolaborasi antara Storigraf dan Tirto atas dukungan dan kerja sama dari Internews’ Earth Journalism Network (EJN) dan Resource Watch.

Baca juga artikel terkait ABRASI PANTAI atau tulisan lainnya dari Storigraf & Tirto

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Storigraf & Tirto
Editor: Fahri Salam