Menuju konten utama
3 Juni 2016

Muhammad Ali: Kisah Petinju Arogan yang Memilih Islam

Kepalan liat.
Menemukan kelebat
sinar syahadat.

Muhammad Ali: Kisah Petinju Arogan yang Memilih Islam
Cassius Marcellus Clay Jr. alias Muhammad Ali (1942-2016). tirto/Sabit

tirto.id - "Saya yang terhebat" adalah kalimat yang paling sering diucapkan Muhammad Ali saat menggambarkan dirinya sendiri. Terkadang ia juga sengaja melebih-lebihkan: "Aku yang terhebat. Aku dua kali yang paling terhebat. Aku bersih dan berkilau. Aku akan menjadi juara dunia yang bersih dan berkilau." Terkadang pula ia hanya melengkingkan suara sambil memamerkan wajah mulusnya yang jarang terkena pukul lawan: "I am preeeetttyyyy."

Orang-orang boleh kesal dengan lagak pongah Ali, tapi mereka tak dapat membantah betapa hebatnya ia di atas ring tinju. Ali bertarung seperti Hercules dan punya tekad kuat dalam menghabisi lawan selayaknya Jason yang mengejar Golden Fleece. Dia adalah Galahad dalam legenda Arthurian, serupa mitos layaknya Cyrano de Bergerac, dan seorang bernyali besar seperti D'Artagnan. Ketika ia marah, para pria perkasa ketakutan dan ketika mulai tersenyum, banyak perempuan pingsan.

"Saya telah memiliki petanda," kata Ali suatu ketika. "Suatu hari saya melontarkan tinju pertama saya dan mengenai ibu saya hingga giginya copot. Jika Anda tak percaya, silakan bertanya kepadanya."

Ali lahir dengan nama Cassius Marcellus Clay Jr. di Louisville, Kentucky, pada 17 Januari 1942. Nama itu, sebagaimana juga nama yang dipakai sang ayah, ditakik dari nama seorang politikus kulit putih Republik, Cassius Marcellus Clay, yang juga dikenal sebagai pejuang penghapusan perbudakan pada abad ke-19. Ibunya bernama Odessa O’Grady Clay dan dia punya seorang saudara perempuan dan empat saudara laki-laki.

Perkenalan Ali dengan tinju pertama kali dimulai pada Oktober 1954. Kala itu, Ali yang masih berusia 12 datang ke sebuah acara tahunan Louisville Service Club di Columbia Auditorium bersama temannya dengan menaiki sepeda.

Setibanya di sana, Ali memarkir sepeda sembarang saja dan segera bergegas berkeliling melihat jajanan yang dijual. Ketika hendak pulang, ia dan temannya mendapati sepedanya tadi telah dicuri orang. Sambil merengek selayaknya bocah culun, ia melapor kepada polisi setempat, Joe Martin.

Kepada Martin, Ali mengatakan ingin 'menghajar' pencurinya. Kebetulan, Martin juga merupakan pelatih petinju kanak-kanak di sebuah pusat olahraga lokal. Mendengar rengekan Ali, Martin menyarankan agar ia belajar tinju terlebih dahulu sebelum menghabisi si pencuri. Martin sendiri yang akan melatihnya.

"Memangnya kamu tahu caranya berkelahi?" tanya Martin.

"Tidak, tapi aku akan tetap berkelahi," jawab Ali.

"Kenapa kamu tidak belajar berkelahi dulu sebelum menghajarnya?"

Istri Martin, Christine, menyebut Ali kecil adalah anak yang menyenangkan, mudah bergaul dengan siapapun, sayang kepada ibunya, dan satu lagi: religius. "Cassius sangat mudah bergaul dengan sesama. Sangat mudah diatur. Sangat sopan. Apa pun yang Anda minta untuk dilakukan, itulah yang akan dilakukannya. Semua karena ibunya. Dia adalah orang yang hebat," ungkap Christine.

"Tiap melakukan perjalanan bersama-sama, sebagian besar anak laki-laki bersikap genit sambil menyiuli gadis-gadis cantik, tetapi tidak dengan Cassius. Dia selalu membawa Alkitabnya kemana pun. Sementara teman-temannya nongkrong, dia justru duduk tenang dan membaca Alkitabnya."

Kelak, ada dua hal yang amat berpengaruh dalam perjalanan hidup Ali: rivalitas abadinya dengan Joe Frazier dan pergulatannya dengan iman.

"Katakan kepada Joe Frazier, Dia Masih Mirip Gorilla"

Ali memulai debut profesionalnya pada 29 Oktober 1960, ketika ia mengalahkan Tunney Hunsaker dalam pertandingan tinju enam ronde. Hingga akhir 1963, Ali telah membukukan rekor mengerikan: 19 (15 menang KO)-0. Beberapa petinju yang ia telah kalahkan antara lain Tony Esperti, Jim Robinson, Donnie Fleeman, Alonzo Johnson, George Logan, Willi Besmanoff, LaMar Clark, Doug Jones, hingga Henry Cooper.

Pada 1962, Ali bahkan pernah mengalahkan mantan pelatihnya yang juga seorang petinju veteran, Archie Moore. Dalam perjalanannya, kehebatan Ali sebagai petinju kian melangit. 61 kali bertanding, 56 kali menang, 37 kali menang KO, 5 kali kalah, serta mengantongi 3 gelar juara dunia adalah pencapaian Ali hingga ia kerap didapuk sebagai "The Greatest Boxer of All Time".

Tercatat ada lima laga hebat yang pernah dilakoni Ali. Pertama, ketika ia mengalahkan Sony Liston. Selain karena telah melambungkan nama Ali, pertarungan ini sebetulnya tidak terlalu istimewa. Liston yang dihadapi Ali merupakan Liston yang sudah tua dengan fisik yang juga tak sekuat dulu, adapun Ali yang lebih muda tengah berada dalam kondisi fisik prima. Kedua, laga trilogi melawan Joe Frazier. Dan ketiga, mega-laga melawan George Foreman yang bertajuk Rumble in The Jungle.

Di antara semuanya, perseteruan antara Ali dengan Frazier lah yang paling dikenang sejarah. Dalam tinju, persaingan keduanya nyaris setara dengan rivalitas antara LA Lakers-Boston Celtics di basket, Boca Junior-River Plate di sepakbola, atau Yankees-Red Sox di baseball. Mereka tak hanya mengadu atletisisme dan saling mengucurkan darah masing-masing, tetapi juga berperang caci maki.

Ali dan Frazier adalah dua kutub yang sepenuhnya berlawanan. Jika Ali bermulut besar dan mendeskripsikan gayanya bertarungnya "mengapung seperti kupu-kupu, menyengat seperti lebah", Frazier adalah sosok yang hanya mengeluarkan ocehan pahit saat diperlukan dan di atas ring. Ia serupa samsak kokoh dengan ketahanan luar biasa dalam menerima pukulan bertubi-tubi dari lawan. Membahas Ali tanpa Frazier akan seperti membicarakan Neil Armstrong tanpa menyebut bulan.

Pertemuan pertama antara Ali dengan Frazier digelar di Madison Square Garden, New York, 3 Agustus 1971. Dalam duel yang bertajuk "The Fight of the Century" itu, Ali untuk pertama kalinya menderita kekalahan. Mereka kembali bertemu di laga kedua pada 28 Januari 1974 di tempat yang sama. Kali ini, giliran Ali yang menunjukkan kedigdayaannya atas Frazier lewat kemenangan angka. Sial bagi Frazier, sebab kala itu ia juga kehilangan gelar juara dunia kelas berat WBC dan WBA setelah ditumbangkan George Foreman.

Laga ketiga antara Ali dengan Frazier digelar di Manila, Filipina, pada 1 Oktober 1975 dan diberi tajuk "The Thrilla in Manila". Ali keluar sebagai pemenang dalam laga yang berlangsung 15 ronde ini lewat kemenangan TKO. Inilah laga yang paling brutal serta mengerikan bagi keduanya. Frazier bahkan sempat kehilangan penglihatannya, sementara Ali nyaris menyerah karena staminanya sudah tak sanggup lagi.

Sebelum keduanya berseteru, Ali dan Frazier sebetulnya dikenal memiliki hubungan yang akrab. Setidaknya itulah yang terungkap dalam sebuah acara di televisi Inggris, "This Is Your Life", yang tayang pada 1978. Frazier, yang secara tak terduga hadir dalam acara tersebut, sempat berseloroh ketika pada suatu hari ia memberi Ali tumpangan dari Philadelphia ke New York.

"Sepanjang perjalanan ke New York, Ali tidak memberi saya kesempatan berbicara. Dia terus mengoceh. 'Smokin Joe Frazier, kamu pikir kamu bisa mengalahkan aku'. Saya harus mendengar dia mengoceh sepanjang perjalanan."

Tak terlalu jelas sebetulnya apakah Frazier memang menganggap Ali hanya rival di atas ring. Sebab dalam autobiografinya yang terbit pada 1996, Smokin’ Joe, ia menunjukkan hal berbeda dengan kembali mendamprat Ali:

"Kenyataannya adalah saya sangat ingin berkelahi dengan sampah itu lagi—memotongnya menjadi beberapa bagian dan mengirimkannya kembali kepada Yesus. Sekarang, ketika segala sesuatu tidak berjalan baik untuknya, orang-orang bertanya kepada saya apakah saya turut bersedih. Tidak. Sama sekali. Saya tidak peduli. Mereka ingin saya mencintainya, tapi yang akan saya lakukan adalah menggali kuburan dan menguburkan pantatnya ketika Tuhan memutuskan untuk memanggilnya."

Pada 2001, beberapa bulan sebelum ia meninggal, Frazier kembali memberi respon ketus ketika Ali mengatakan kepada New York Times bahwa ia telah meminta maaf kepada rivalnya tersebut.

"Dia tidak pernah minta maaf ke saya, dia minta maaf ke surat kabar. Saya masih menunggu permintaan maaf langsung darinya," ujar Frazier.

Ali balik membalas perkataan itu dengan tak kalah menyebalkan, seperti ketika mereka masih muda:

"Jika Anda lihat Frazier, bilang kalau dia masih seperti gorila."

    Pergulatan Iman Menuju Islam

    Ali hidup di Amerika pada masa ketika kaum kulit hitam secara frontal mulai berani mendobrak kultur rasialisme. Salah satu kelompok terdepan dalam melakukan hal itu adalah Nation of Islam yang memiliki pemimpin bernama Elijah Mohammad dan motor gerakan seorang aktivis kulit hitam yang radikal, Malcolm X.

    Dalam struktur kelas sosial Amerika saat itu, Nation of Islam sebetulnya berada dalam lapisan terendah, minoritasnya minoritas, karena mereka adalah kelompok para Muslim berkulit hitam. Namun, sikap ekstrim mereka yang kerap mengutuk kebejatan kaum kulit putih membuat gaung Nation of Islam dengan cepat dikenal khalayak.

    Ali, yang turut pula menjadi korban sentimen rasialis pada saat itu, kemudian bergabung dengan Nation of Islam pada 1964, tak lama usai mendengarkan ceramah berapi-api Elijah Muhammad di Philadelphia. Dalam wawancaranya dengan jurnalis Michael Parkinson, Ali mengungkap bagaimana Elijah menyebut kaum kulit putih sebagai iblis.

    Pada tahun yang sama pula Ali memutuskan untuk berpindah keyakinan ke Islam. Dalam salah satu biografi termashyur tentangnya yang ditulis Jonathan Eig, Ali: A Life, Ali mengungkap kepindahannya pada sebuah konferensi pers yang semula digelar untuk menyambut pertandingan melawan Liston.

    Ali yang muak karena rombongan jurnalis mulai bertanya mengenai relasinya dengan Black Muslims—label yang secara diskriminatif kerap digunakan media AS dalam menyebut Nation of Islam—kemudian memproklamirkan fakta mengejutkan: ia bukan lagi seorang Kristiani.

    "Saya percaya kepada Allah dan perdamaian. Saya mencoba untuk tidak pindah ke lingkungan kulit putih. Saya tidak ingin menikahi perempuan kulit putih. Saya dibaptis ketika usia 12, tetapi saya tak tahu apa yang saya lakukan kala itu. Sekarang saya bukan seorang Kristiani lagi. Saya tahu akan ke mana dan saya sudah tahu apa yang benar. Saya tak perlu mengikuti kemauan Anda. Saya bebas menjalani pilihan saya."

    Namun, dalam artikelnya yang tayang di Washington Post pada 26 Oktober 2017 lalu, Eig juga mengungkap versi lain terkait keputusan Ali untuk masuk Islam. Eig sebetulnya sudah mengetahui hal ini sejak ia mewawancarai Belinda Boyd, istri kedua Ali, untuk kepentingan penulisan Ali: A Life. Kala itu, Belinda memberikan Eig secarik surat dari Ali yang isinya kurang lebih mengenai sisi spiritual sang legenda. Berdasarkan pertimbangan tertentu, Eig memutuskan untuk tidak mencantumkan nama Belinda di biografi yang ia tulis.

    Menurut Eig berdasarkan surat tadi, iman Ali mulai bergejolak ketika pada suatu hari ia melihat kolom kartun dalam koran pagi. Kolom tersebut menunjukkan gambar seorang kulit putih tengah memukul budak kulit hitam miliknya dan memaksanya beribadah seperti yang dijalani kebanyakan orang kulit putih. Menariknya, kolom tersebut justru menggugah nalarnya.

    "Saya menyukai kartun tersebut. Pesannya masuk akal bagi saya," tulis Ali di surat tersebut yang kini telah diberikan Eig kepada pihak National Museum of African American History and Culture.

    Ali memang tidak pernah mempermasalahkan ajaran Kristen yang dulu ia anut. Namun, yang mengusik pikirannya adalah bagaimana ia (dalam hal ini juga termasuk kaum kulit hitam lainnya) yang menjadi pemeluk Kristen dengan cara pemaksaan. Eig menulis: "Lalu dia merasa kenapa harus tetap menjaga sisa-sisa warisan zaman perbudakan? Bagaimana jika ia tidak memegang teguh agama dan namanya, apa lagi yang bisa ia ubah?"

    Sebagai sosok yang dididik dalam aturan Kristiani sejak kecil, Ali mengaku perpindahan agama yang dijalaninya tersebut tidak membuat keluarga, terutama sang ibu, memusuhi dirinya. Dalam salah satu biografinya yang lain karya Thomas Hauser, Muhammad Ali: His Life and Times, ia mengungkapkan hal itu sambil turut mengenang masa kecilnya.

    "Ibuku seorang Baptis, dan ketika saya besar, dia mengajari segala yang ia ketahui tentang Tuhan. Setiap Minggu, ia mendandani saya, dan membawa saya dan abang saya ke gereja. Ia mengajari kami hal-hal yang dianggapnya benar. Ia mengajari kami supaya mencintai sesama dan memperlakukan siapa pun dengan baik. Ia mengajari kami bahwa berprasangka dan membenci itu salah."

    Ketika saya beralih agama, Tuhan ibu tetap menjadi Tuhan saya, hanya saja saya menyebutnya dengan nama yang lain. Dan pandangan tentang ibu saya tetap seperti yang saya katakan jauh sebelumnya. Dia baik, gemuk, perempuan menawan yang suka memasak, makan, menjahit, dan senang berada bersama keluarga. Ia tidak suka mabuk, merokok, mencampuri urusan orang, atau mengganggu siapa pun. Tak seorang pun lebih baik kepadaku sepanjang hidupku, kecuali dia."

    Infografik Mozaik Muhammad ali the champ

    Sejak memutuskan menjadi Muslim dan bergabung secara aktif dengan Nation of Islam, Ali pun turut pindah ke Chicago agar dapat tinggal dekat dengan masjid Maryam, markas komunitas tersebut. Ia menetap di Chicago dengan berpindah-pindah selama kurang lebih 12 tahun. Ali juga sempat dua kali mengubah namanya. Semula ia menggunakan Cassius X, namun Elijah memilihkan nama yang kemudian dipakainya hingga akhir hayat: Muhammad Ali.

    "Cassius Clay adalah nama seorang budak. Saya tidak memilihnya dan tidak pula menginginkannya," kata Ali kala itu.

    Bergabung dengan Nation of Islam membuat Ali menjadi jauh lebih berani dalam menyatakan sikap politiknya. Ketika invasi AS ke Vietnam terjadi pada 1 November 1955, hingga kejatuhan kota Saigon pada 30 April 1975 dan membuat perang tersebut meluas hingga Laos dan Kamboja, pemerintah Negeri Paman Sam memutuskan untuk menggelar kebijakan wajib militer. Ali secara kontroversial menolak ikut wamil karena tidak sesuai dengan keyakinannya.

    "Saya tidak punya masalah dengan Vietcong. Mereka tidak pernah memanggil saya negro, mereka tidak pernah menggantung saya, mereka tidak mengejar saya dengan anjing, mereka tidak merampok kebangsaan saya, tidak memerkosa ibu dan membunuh ayah saya. Lalu menembak mereka untuk apa? Bagaimana saya bisa menembak mereka, orang-orang malang itu. Silakan bawa saya ke penjara!

    Saya tidak akan mempermalukan agama saya, kaum saya atau diri sendiri dengan menjadi alat untuk memperbudak orang-orang yang berjuang untuk keadilan mereka sendiri, kebebasan dan kesetaraan. Jika saya berpikir perang akan membawa kebebasan dan kesetaraan untuk 22 juta orang, mereka tidak perlu memanggil saya, saya akan bergabung besok. Saya tidak akan rugi dengan berdiri teguh untuk keyakinan saya. Saya akan masuk penjara, memang kenapa? Kami sudah di penjara selama 400 tahun."

    Sikap Ali tersebut berujung penahanan dan denda sebesar US$10 ribu. Pemerintah AS pun juga mencabut gelar juara milik Ali, dan melarangnya bertanding tinju sepanjang 1967-1970. Selama tidak aktif berlaga di atas ring, Ali memperoleh dukungan seiring tumbuhnya berbagai penolakan terhadap invasi AS ke Vietnam. Ia pun sering diundang menjadi pembicara di berbagai wilayah AS untuk mengkritik invasi tersebut. Pada 3 Januari 1972, Ali pun akhirnya berkesempatan menunaikan haji ke tanah suci Mekkah.

    Namun, kendati keras dalam mempertahankan prinsipnya, tidak pernah sekalipun Ali menjadi seorang Muslim ekstremis yang memusuhi agama lain. Terutama sejak ia mulai berguru kepada putra sekaligus penerus Elijah, Wallace Muhammad. Berbeda dengan Elijah, Wallace mengajarkan Islam yang lebih moderat, menyatakan bahwa orang kulit putih tidak selamanya dipandang sebagai iblis. Lewat Wallace, pemikiran Ali tentang Islam pun perlahan berubah menjadi inklusif dibanding Nation of Islam yang tetap eksklusif.

    Ali sempat pula mendalami sufisme berdasarkan pengakuan dari putrinya, Hana Yasmeen Ali, yang juga turut menulis autobiografi sang ayah, The Soul of a Butterfly (2004). Dalam wawancara yang dilansir beliefnet.com 2005 lalu, Hana menyebut Ali mulai tertarik kepada sufisme setelah membaca buku Inayat Khan dan secara perlahan itu mengubah kepribadiannya dari yang dulu amat religius, kini lebih mementingkan sisi spiritual keimanan.

    "Ayah saya memiliki koleksi buku Hazrat Inayat Khan tentang ajaran sufi. Buku-buku tua, berwarna kuning dan banyak halaman yang sudah sobek. Pemikiran mereka luar biasa. Ayah selalu mengatakan itu adalah buku-buku terbaik di dunia.

    Ayah saya sekarang lebih spiritual daripada religius. Penting baginya untuk menjadi religius dan mengambil sikap ketika di awal-awal ia menempuh langkah ini. Sekarang saat yang berbeda. Dia tetap mencoba meyakinkan orang untuk memeluk Islam, tapi tidak dengan cara yang sama. Kesehatan dan spiritualitasnya telah berbeda, dan bukan lagi mengenai hal religius saja, tapi tentang bagaimana membuat orang bahagia, beramal, dan menyemangati orang-orang."

    Barangkali, salah satu hal yang dapat dikenang dari Muhammad Ali hingga ia meninggal pada 3 Juni 2016, tepat hari ini dua tahun lalu, bukan hanya figurnya kontroversial, melainkan bagaimana keberaniannya dalam mempertanyakan ulang segala hal yang terberi dalam hidup, lalu merumuskannya dalam proses pencarian berdarah-darah. Dan yang terbaik dari semuanya: Ali melakukan itu semua untuk kebahagiaan orang banyak.

    Baca juga artikel terkait PETINJU DUNIA atau tulisan lainnya dari Eddward S Kennedy

    tirto.id - Olahraga
    Penulis: Eddward S Kennedy
    Editor: Ivan Aulia Ahsan