Menuju konten utama

Muda Melawan Tambang: Amputasi Kaki Kanan Lutfi & Inspirasi STM

Anak muda Bogor Barat menolak keberadaan tambang batu andesit yang merugikan warga.

Muda Melawan Tambang: Amputasi Kaki Kanan Lutfi & Inspirasi STM
Muda, Anti Tambang. tirto.id/Lugas

tirto.id - Sebuah truk pengangkut hasil tambang mogok di Jalan Raya Sudamanik, desa Lumpang. Truk itu teronggok begitu saja di jalan sehingga membuat pengendara lain kerepotan. Jalur itu merupakan jalan yang biasa dilewati truk-truk pengangkut batu dan pasir hasil tambang.

Siang itu, 1 November 2019, Lutfi Nurhaipah, sisiwi kelas 12 IPA 3 SMAN 1 Parungpanjang, pulang sekolah mengendarai motor seperti biasa. Ia melaju dari sekolahnya ke arah Parungpanjang. Saat ia menghindari truk mogok itu, dari arah yang sama sebuah truk melaju kencang berusaha menyalip Lutfi.

Badan truk menyenggol motor yang dikendarai Lutfi. Motor kehilangan keseimbangan, Lutfi terpelanting.

Ia jatuh. Kaki kanannya tergilas ban truk yang melaju.

Eni, guru Lutfi yang menyaksikan peristiwa itu langsung memeluk Lutfi dan membawanya ke RSUD Tangerang.

Lutfi selamat, tapi tidak kakinya. Dokter memutuskan untuk mengamputasi kaki Lutfi, 15 centimeter dari pergelangan.

Sejak itu, Lutfi hilang semangat sejadi-jadinya. Mentalnya hancur.

Padahal sebelumnya, Lutfi dikenal sebagai seorang siswi yang "aktif sekali," kata Humas SMAN 1 Parungpanjang Dwi Bowo kepada reporter Tirto, Rabu 13 November 2019. Dia tercatat di kelas 12 IPA 3, "aktif di pramuka dan OSIS."

Dwi mengatakan Lutfi sempat ingin tak lagi sekolah karena "malu" dan "takut kawannya mengejek" meski beberapa bulan lagi ujian nasional tiba. Dia juga awalnya enggan dijenguk pihak sekolah.

Tapi siswa satu sekolah, juga guru-guru, punya cara untuk membuktikan kalau mereka ada di sisi Lutfi: menggelar aksi simpatik.

Aksi simpatik digelar pada Rabu, 6 November 2019, pada jam sekolah. 840 siswa dan puluhan guru beramai-ramai keluar dari sekolah menggunakan sepeda motor menuju lokasi aksi, lapangan sepakbola di samping Kantor Kecamatan Parungpanjang, Jalan Raya Moh Toha. Seluruh siswa turut serta, berasal dari kelas 10 sampai 12.

Jarak dari sekolah hingga lokasi aksi 7,9 kilometer. Tidak sampai 20 menit jika jalan lancar. Sepanjang perjalanan mereka membentangkan poster dari karton yang berisi dukungan untuk Lutfi. Foto-foto dan video dikirim ke Lutfi untuk membangkitkan semangatnya.

Sekolah Bersuara Soal Tambang

Meski motivasi utamanya untuk memberikan semangat ke Lutfi, sesungguhnya dalam aksi ini pihak sekolah juga protes terhadap kondisi jalan rusak karena sering dilalui truk-truk dengan angkutan berat.

Mereka lantas menitipkan tuntutan ke kecamatan agar disampaikan ke kabupaten, di antaranya: 1. penegakan aturan terhadap kesepakatan aturan jam tayang operasional dump truck; 2. penertiban sopir di bawah umur dan tanpa SIM; dan 3. meminta aparat menindak truk yang membawa muatan melebihi kapasitas.

Tiga tuntutan itu adalah masalah lama yang belum terpecahkan. Akibatnya korban seperti Lutfi terus berjatuhan. Sentral Gerakan Rakyat Parung Panjang, organisasi yang juga mengadvokasi isu tambang, menyebut tahun 2018 ada 14 orang meninggal dunia karena kecelakaan truk tambang. Sementara itu, Gubernur Jawa Barat Ridwal Kamil mengatakan “ada 100an lebih” tanpa menyebut sejak kapan.

"Aksi damai ini bukan hanya soal Lutfi saja, tapi demi kenyamanan berkendara orang lain. Kami hanya mau waktu kami berangkat, pulang sekolah, enggah usah ada truk. Begitu saja," kata Juanda, siswa kelas 12 IPS SMAN 1 Parungpanjang yang saat aksi bertindak sebagai salah satu koordinator massa, Rabu 13 November 2019.

Juanda mengatakan inisiatif aksi berasal dari siswa, bukan guru, hanya saja kebetulan pada saat yang sama guru memang ingin melayangkan protes ke pemerintah karena siswanya jadi korban.

Saya bertanya ke Juanda, kenapa bisa terpikir untuk aksi. Dalam pikiran saya aksi itu asing bagi anak-anak sekolah. Apa dia punya kenalan demonstran? Atau dia mengikuti akun-akun Instagram ‘aktivisme’?

Selepas jam belajar, di warung depan sekolah, tempat biasa "anak-anak bandel nongkrong," Juanda menjawab enteng: "terinspirasi anak STM."

Yang Juanda maksud adalah demo-demo pelajar menentang berbagai peraturan bermasalah di DPR RI, Jakarta—yang berujung ricuh—September lalu. Juanda sendiri mengaku ikut aksi pada 30 September bersama 14 kawan yang lain, setelah melihat berita di televisi anak-anak seusianya turun aksi pada 25 September.

Jauh sebelum anak-anak SMA aksi damai, warga sebenarnya sudah berkali-kali protes ke pemerintah. Tjandra Adji Prahara, penggerak Masyarakat Peduli Parungpanjang (MP3), mengatakan kepada reporter Tirto kalau itu mulai terjadi sekitar "10 tahun ke belakang."

Protes biasanya bersifat reaksioner, seperti memblokir jalan, atau bahkan merusak truk, tiap kali ada kasus—biasanya kecelakaan.

Baru beberapa tahun terakhir warga mulai protes lewat organisasi. Mereka mengadvokasi diri sendiri dengan cara lebih terstruktur—menekan pemerintah, memberikan pendidikan politik ke warga, kampanye ke masyarakat luas secara konsisten, dan sebagainya.

Salah satu yang melakukan itu adalah Sentral Gerakan Rakyat (Segra) Parungpanjang. Yang menarik dari organisasi ini adalah para penggeraknya yang berusia tidak terpaut jauh dengan Juanda, lahir antara 1994-2001. Mereka awalnya bergabung di Aliansi Gerakan Jalur Tambang (AGJT)—yang dibentuk pada akhir 2017 dan punya misi utama agar pemerintah merealisasikan jalur khusus tambang, tapi akhirnya memisahkan diri karena satu dan lain hal.

Anak Muda Melawan Tambang

Saya menemui mereka di sebuah kedai di kawasan Parung Panjang pada Selasa 12 November 2019 malam. Satu pertanyaan utama saya saat itu adalah: kenapa akhirnya mereka mau berhimpun dan melakukan sesuatu? Pertanyaan serupa yang saya ajukan ke Juanda dan dia jawab "karena melihat demo di televisi."

Jawaban mereka membawa kami ke obrolan berjam-jam dan berhenti saat petugas kebersihan bekerja—tanda kedai bersiap tutup.

Yang bisa saya simpulkan dari obrolan tersebut adalah, mereka memutuskan terlibat advokasi karena pengalaman keseharian bertemu dengan bacaan-bacaan teori sosial berperspektif kritis.

Orang-orang yang saya temui, Aziz, Reja, Sindi, Dimas, Tebe, dan Bagus, menyaksikan bagaimana lingkungan mereka berubah karena pembangunan. Merekalah yang mengonsumsi kabar bahwa si a mati karena tertabrak, si b cacat karena terlindas, kata si nenek tempat itu dulu sawah tapi sekarang jadi perumahan, dan sebagainya.

Tebe bercerita kepada saya kalau dia berkenalan dengan "ideologi pembebasan" ketika magang di sebuah kedai kopi seorang kawannya yang langganan didatangi orang-orang berlatar belakang "musik dan pergerakan." Dari sana dia mulai memahami kalau apa yang terjadi di lingkungannya bukan semata-mata karena "takdir tuhan".

"Kalau ada yang meninggal karena tambang, ada tetangga nyeletuk: itu sudah takdir. Saya jawab, enggak, itu enggak, bisa dihindari. Seharusnya enggak kejadian," katanya dengan mantap.

Sementara Aziz memulai semuanya dari "skena musik". “Di skena ada zine, tapi terbatas,” katanya.

Bacaannya berkembang ketika mulai berkuliah ilmu politik di salah satu kampus di Ciputat. Dia sempat bergabung ke salah satu organisasi ekstra kampus, HMI, tapi merasa lama kelamaan organisasi itu "konservatif" dan tidak sesuai apa yang dia yakini. Aziz akhirnya memutuskan keluar dan lebih banyak aktif di luar kampus.

Cerita Dimas, anggota Segra termuda yang saya temui malam itu—kelahiran 2001—bagi saya paling menarik. Ia memulainya lewat lagu Jingga karya Efek Rumah Kaca. Dimas, yang kala itu baru kelas 2 SMA di Bandung, penasaran dengan penggalan lirik lagu itu: "yang hilang menjadi katalis / di setiap Kamis / nyali berlapis."

Dia kemudian paham bahwa "ternyata ada yang tiap Kamis demo. Akhirnya mencari apa itu Kamisan."

Dimas menemukan selain Jakarta, di Bandung juga ada aksi Kamisan—aksi menuntut pemerintah menuntaskan pelanggaran HAM masa lalu—dan lantas ikut terlibat. "Di sana ternyata ada teman-teman pelajar lain, akhirnya kami bikin kolektif," ujar Dimas. Kolektif itu bernama Aliansi Pelajar Bandung.

Tuntutan Segra berbeda dengan AGJT. AGJT mau pemerintah merealisasikan jalur tambang agar truk tidak ada di jalan yang sama dengan pengguna jalan lain. Sementara Segra lebih utopis: ingin tambang-tambang itu ditutup saja sekalian.

Menurut mereka solusi yang lain, baik jalur khusus tambang atau pembatasan jam operasional, tidak berguna karena bukan itu akar masalahnya. Akar masalahnya adalah keberadaan tambang itu sendiri.

"Jalur khusus tambang, nanti buka lahan lagi, gusur orang lagi," kata Bagus.

Sementara Tebe mengatakan, jika ada yang diuntungkan dari jalur khusus tambang atau pembatasan jam operasional, itu adalah bisnis properti, bukan masyarakat. "Karena ada tambang sekarang bisnis properti juga sulit jalan, karena banyak debu-debu juga."

Infografik HL Indepth Tambang Bogor

Muda, Anti Tambang. tirto.id/Lugas

Pada 27 Juni 2019, anak-anak muda ini menggelar aksi kamisan di depan kantor Kecamatan Parungpanjang. Satu ketika mereka juga vandal di beberapa titik di Parung Panjang dengan tujuan "menarik atensi masyarakat." Mereka juga memperluas kampanye lewat media sosial seperti Instagram dan perpustakaan jalanan—menggelar lapak baca di ruang-ruang publik dan menjalin interaksi dengan pembaca.

Sasaran kampanye mereka juga anak-anak muda. Mereka rutin mengajak "orang-orang baru lewat media, satu persatu pesan personal dibalas, bertukar nomor, dan ada pertemuan offline," kata Aziz.

Maka dari itu mereka senang betul ketika mendengar siswa SMAN 1 Parungpanjang menggelar aksi damai.

"Ada harapan ketika pelajar turun. Masyarakat semakin sadar bahwa kondisi ini memang parah," kata Bagus menimpali.

Pernyataan bagus selaras dengan keterangan Dwi Bowo. Menurutnya, respons masyarakat saat dan setelah aksi sangat positif. Buktinya banyak sekolah mengumpulkan sumbangan untuk Lutfi setelah tahu ada aksi. Banyak pula yang menghubunginya mengatakan ingin ikut terlibat.

"Ternyata mereka diam, cuma enggak ada wadah. Karena itu kemarin support-nya luar biasa," katanya.

Baca juga artikel terkait ANAK MUDA MELAWAN TAMBANG atau tulisan lainnya dari Rio Apinino

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Rio Apinino
Penulis: Rio Apinino
Editor: Mawa Kresna