Menuju konten utama

MTQ: Lahir dari Rahim NU, Pernah Jadi Alat Propaganda Orde Baru

Musabaqah Tilawatil Quran XXVII tahun 2018 digelar di tengah situasi berduka, sebab musibah gempa sedang menghantam sejumlah daerah di Indonesia.

MTQ: Lahir dari Rahim NU, Pernah Jadi Alat Propaganda Orde Baru
Presiden Joko Widodo memukul beduk pada pembukaan Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ) Nasional XXVII, di Deli Serdang, Minggu (7/10/2018). FOTO/KemenkoPMK

tirto.id - Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ) Nasional tahun ini diselenggarakan di tengah bencana gempa yang datang berturut-turut. Setelah Lombok, kini giliran Palu dan Donggala yang diguncang gempa disertai tsunami yang sampai hari ini telah menewaskan seribu orang lebih.

Dalam sambutannya pada pembukaan MTQ Nasional XXVII tahun 2018 di Kota Medan, Minggu (7/10/2018), Presiden Jokowi menyampaikan hal tersebut disertai dengan keterangan bahwa pelbagai musibah yang menimpa adalah ujian bagi orang-orang yang beriman.

“Sesungguhnya kami adalah milik Allah, dan sungguh hanya kepada-Nya kami akan kembali. Ya Allah karuniakanlah kepadaku pahala kepada musibah yang menimpaku dan berilah aku ganti yang lebih baik daripadanya,” ucap Presiden Jokowi mengutip doa Rasulullah.

MTQ Nasional yang diselenggarakan di Medan dan Deli Serdang ini digelar pada 4-13 Oktober 2018. Edy Rahmayadi selaku Gubernur Sumatra Utara dalam laporannya menyampaikan bahwa MTQ Nasional kali ini diikuti 1.550 peserta dari 34 provinsi.

Kelahiran MTQ dan Pandangan Masyarakat

MTQ sudah dikenal di Indonesia sejak 1940. Kegiatan ini bermula dari Jam’iyyah al-Qurra’ wa al-Huffadz, sebuah lembaga di bawah naungan Nahdlatul Ulama yang mewadahi para qari, qariah, dan penghafal Alquran. Saat Menteri Agama dijabat K.H. Muhammad Dahlan, Musabaqah Tilawatil Quran tingkat nasional mulai dilembagakan dan edisi pertamanya digelar pada 1968 di Makassar.

Selanjutnya Menteri Agama bersama K.H. Ibrahim Hossen, K.H. Zaini Miftah, dan Prof. Dr. H.A. Mukti Ali mendirikan Yayasan Ihya Ulumuddin pada 23 Januari 1970. Setahun kemudian yayasan ini merintis berdirinya Perguruan Tinggi Ilmu Alquran (PTIQ), yakni perguruan tinggi yang secara khusus menghafal dan mempelajari Alquran.

MTQ tingkat nasional digelar setiap tahun dengan penyelenggaraan berpindah-pindah dari satu kota ke kota lainnya. Selama 26 tahun diadakan, kegiatan ini telah melahirkan beberapa qari yang populer, seperti Muammar Zainal Asyikin dan Chumaidi.

Tanggapan masyarakat Muslim di Indonesia atas penyelenggaraan MTQ secara umum positif. Mereka melihat kegiatan ini sebagai syiar dakwah yang harus didukung dan dilestarikan.

M. Quraish Shihab, yang sempat menjadi Menteri Agama di pengujung pemerintahan Orde Baru, menulis dalam Lentera Al-Quran (2008) bahwa MTQ merupakan tradisi baik yang dampak positifnya dapat dirasakan di tingkat nasional maupun internasional.

Sementara Agus Ahmad Safei dalam Sosiologi Dakwah: Rekonsepsi, Revitalisasi, dan Inovasi (2016) menyebut Musabaqah Tilawatil Quran merupakan media syiar dakwah bagi masyarakat luas agar terdorong secara bersama-sama membaca, mendalami, dan mengamalkan kandungan Alquran di level dan lingkungan masing-masing.

Lain lagi dengan Zuhairi Misrawi. Alumnus Universitas Al-Azhar Mesir ini menilai MTQ sebagai gambaran bahwa di Indonesia membaca Alquran di hadapan orang ramai tidak terlarang bagi perempuan (qariah), bahkan diberi keleluasaan, tidak seperti di beberapa negara lain yang mayoritas dibacakan laki-laki.

“Di Kanada dan Amerika Serikat, menurut Syekh Faraz Rabbani, pandangan para ulama terhadap kalangan perempuan Muslimah sama halnya dengan pandangan ulama di Timur Tengah. Jangankan untuk mendengarkan suara perempuan membaca Alquran, melihat perempuan dalam forum keagamaan amatlah sulit, karena mereka diletakkan di lantai yang terpisah,” tulisnya dalam Pandangan Muslim Moderat: Toleransi, Terorisme, dan Oase Perdamaian (2010).

Alat Propaganda Orde Baru

1968 adalah tahun pertama gelaran Musabaqah Tilawatil Quran secara nasional. Warsa tersebut merupakan saat-saat awal pemerintahan Orde baru mengambilalih tampuk kekuasaan yang diawali dengan peristiwa berdarah yang menggiring Partai Komunis Indonesia sebagai pesakitan.

Orang-orang komunis dan yang dituduh komunis dibabat habis yang beberapa di antaranya “diamankan” di Pulau Buru. Mereka kerap dianggap sebagai kaum tak bertuhan. Pramoedya Ananta Toer dalam dua jilid memoar Nyanyi Sunyi Seorang Bisu yang mula-mula terbit pada 1995 dan 1997 menceritakan kisahnya selama berada di kamp tersebut. Menurutnya, para tahanan kerap dinasihati para ustaz yang berceramah agar mereka kembali ke jalan Tuhan.

Dalam skala yang lebih besar, usaha-usaha rezim Orde Baru untuk memadamkan kaum komunis ini berlangsung di hampir segala lini kehidupan. Jika menilik lirik mars MTQ yang digubah Agus Sunaryo, kita akan mendapati bahwa kampanye tentang Pancasila Sakti—sebagai frasa yang muncul setelah peristiwa G30S—menelusup dalam bait-bait tentang keagungan Alquran dan nasionalisme.

Perhatikan bait pertama dan kedua lirik lagu tersebut:

"Gema Musabaqah Tilawatil Quran / pancaran Ilahi / cinta pada Allah, Nabi, dan Negara / wajib bagi kita / Limpah ruah bumi Indonesia / adil makmur sentosa / baldatun tayyibatun warabbun ghafur / pasti terlaksana.

Musabaqah Tilawatil Quran agung / wahyu kalam Tuhan / Pancasila Sakti dasar Indonesia / pujaan bangsaku / gemah ripah tanah air kita / aman damai sentosa / baldatun tayyibatun warabbun ghafur / Nusantara jaya."

Lalu berikut bait terakhirnya:

"Musabaqah Tilawatil Quran jaya / firman suci Tuhan / Pancasila Sakti bagi kita semua / Indonesia jaya / limpah ruah alam kaya raya / bahagia semua / baldatun tayyibatun warabbun ghafur / cita-cita kita."

Infografik MTQ

Lirik lagu tersebut jelas menghamparkan tiga hal: keagungan Alquran, nasionalisme dan pujaan terhadap negeri, serta penegasan bahwa Pancasila adalah dasar negara yang harus diterima semua orang.

Tiga tahun setelah gempa politik 1965, lirik lagu untuk menggelorakan perlombaan pelbagai kemahiran dalam mengakrabi Alquran itu membutuhkan pengulangan menyebut Pancasila Sakti. Mula-mula “Pancasila Sakti dasar Indonesia”, lalu ditegaskan bahwa “Pancasila Sakti [adalah] bagi kita semua”. Betapa propaganda Orde Baru hadir dalam perayaan keagamaan tersebut.

Jika itu dianggap terlampau mencurigai lirik lagu sehingga digiring kepada sudut pandang politik, tetap saja MTQ bukan tanpa cela. Seperti diungkapkan M. Quraish Shihab dalam Lentera Al-Quran bahwa di tengah perlombaan itu sisi terpenting Alquran justru belum banyak dirasakan dalam kehidupan bermasyarakat.

“Alquran memperkenalkan dirinya sebagai hu-dan li al-nas (petunjuk untuk seluruh manusia). Inilah fungsi utama kehadirannya,” imbuh Quraish.

Sementara Rahmat Abdullah, salah satu pendiri Partai Keadilan, sempat menyinggung perlombaan baca Alquran ini dalam Warisan Sang Murabbi (2008). Meski tidak secara eksplisit menyebut MTQ, dalam refleksinya soal tantangan dakwah di tengah kondisi umat Islam Indonesia yang bagaikan “seonggok kemanusiaan [yang] terkapar”, Rahmat merasa prihatin sebab Alquran dilombakan di tengah budaya korupsi yang begitu telanjang.

Baca juga artikel terkait ORDE BARU atau tulisan lainnya dari Irfan Teguh

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Irfan Teguh
Editor: Ivan Aulia Ahsan