Menuju konten utama

MTI Minta Pemerintah Bereskan Sistem Angkutan Umum daripada O-Bahn

MTI meminta pemerintah untuk membereskan penataan angkutan umum di daerah daripada mengurus sistem transportasi O-Bahn.

MTI Minta Pemerintah Bereskan Sistem Angkutan Umum daripada O-Bahn
Kereta api ringan atau Light Rail Transit (LRT) melintas saat uji coba di lintasan koridor Kelapa Gading-Velodrome, Jakarta, Sabtu (16/2/2019). ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso/foc.

tirto.id - Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) menilai, pemerintah sebaiknya mengutamakan realisasi dari program sistem penataan angkutan umum di daerah dengan konsep “Buy The Service”.

Wakil Ketua MTI Djoko Setijowarno mengatakan, program ini sebaiknya diselesaikan terlebih dahulu dibanding berancang-ancang beralih ke konsep lain seperti O-Bahn.

Djoko juga menjelaskan, penataan angkutan umum ini sebenarnya sudah cukup baik lantaran tidak memerlukan prasarana khusus baru seperti rel atau terowongan bagi O-Bahn. Sebaliknya, program yang sedianya akan direalisasikan pada tahun 2020 ini cukup menggunakan armada bus dan jaringan jalan yang sudah ada.

Ia menyebutkan, program ini tergolong murah karena per koridornya hanya menghabiskan Rp15-25 miliar per tahun. Bagi daerah yang belum memiliki infrastruktur memadai dapat disesuaikan misalnya dengan mengoperasikan bus berlantai rendah agar tidak perlu membangun halte Bus Rapid Transit (BRT).

“Tidak perlu lagi harus membangun prasarana khusus, cukup dengan jaringan jalan yang sudah ada. Tidak perlu ada bangunan halte, jika belum punya anggaran, cukup diberikan rambu pemberhentian bus (stop bus),” ucap Djoko saat dihubungi reporter Tirto pada Senin (24/6/2019).

Plus minusnya juga lebih mengarah pada kemungkinan adanya pembatasan kendaraan pribadi sebagai respons dari program ini.

Namun, lanjutnya, melalui program ini paling tidak dapat membenahi penyakit angkutan umum daerah yang hanya mandek pada pembagian bus tanpa perbaikan sistem angkutan umum.

Di samping itu, Djoko juga yakin bahwa program ini tidak akan banyak menimbulkan gejolak di kalangan pengusaha angkutan umum bila ada sosialisasi yang baik. Sebabnya, sopir akan mendapat gaji bulanan dan tidak lagi dipusingkan dengan setoran pemilik armada.

Dengan demikian, program ini dianggap masih lebih menjanjikan baik dari segi dasar hukum dalam UU No. 22 Tahun 2009 tentang lalu lintas dan angkutan jalan. Lalu kemungkinan respons dari pemilik angkutan umum di daerah juga diprediksi positif karena tidak sampai menggusur mereka.

“Mudah berarti tidak memerlukan teknologi baru, cuma sistemnya yang baru. Konsep ini memindahkan atau mengalihkan dari sistem setoran ke sistem gaji bulanan, bukan menggusur operator yang sudah beroperasi. Operator yang ada tetap beroperasi dengan pola manajemen baru yang lebih sehat,” pungkas Djoko.

Baca juga artikel terkait TRANSPORTASI UMUM atau tulisan lainnya dari Vincent Fabian Thomas

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Vincent Fabian Thomas
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Dewi Adhitya S. Koesno