Menuju konten utama

MTI: Korban Kecelakaan Bus Sriwijaya Terbesar 10 Tahun Terakhir

MTI menjelaskan kecelakaan bus PO Sriwijaya yang jatuh di jurang Sungai Liku Lematang, di Sumatera Selatan bisa jadi yang terbesar dalam 10 tahun terakhir.

MTI: Korban Kecelakaan Bus Sriwijaya Terbesar 10 Tahun Terakhir
Petugas gabungan dari SAR Pagaralam, TNI, Polri, BPBD dan Tagana melakukan evakuasi korban kecelakaan Bus Sriwijaya dengan rute Bengkulu - Palembang yang masuk jurang di Liku Lematang, Prahu Dipo, Dempo Selatan, Pagaralam, Sumatera Selatan, Selasa (24/12/2019). ANTARA FOTO/Handout/Dok Basarnas Palembang.

tirto.id - Ketua Bidang Advokasi Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), Djoko Setijowarno mengatakan kecelakaan bus PO Sriwijaya yang jatuh di jurang Sungai Lematang, Pagar Alam, Sumatera Selatan bisa jadi yang terbesar dalam 10 tahun terakhir.

Menurut Djoko, kecelakaan yang mengakibatkan 31 orang meninggal dunia ini menjadi pertanda kalau ada yang memang tidak beres dalam manajemen keselamatan transportasi di Kemenhub.

“Tragedi kecelakaan bus umum ini terbesar dalam satu dekade terakhir. Angka kecelakaan lalu lintas juga tidak pernah turun drastis. Sementara institusi Direktorat Keselamatan Transportasi Darat malah hilang,” ucap Djoko dalam keterangan tertulis, Rabu (25/12/2019).

Djoko mencatat jumlah korban meninggal terbanyak terakhir adalah sebanyak 27 orang pada kecelakaan bus pariwisata di Kampung Dawuan, Subang, Jawa Barat pada Sabtu (10/2/2018). Kejadian ini disusul jumlah korban meninggal sebanyak 20 orang pada kecelakaan bus di Jalan Raya Puncak, Bogor, Jawa Barat pada Rabu (21/8/2013).

Djoko menjelaskan kemungkinan terulangnya kecelakaan seperti ini seharusnya bisa diperkecil jika pemerintah mempertahankan Direktorat Keselamatan Transportasi Darat yang ada di bawah Dirjen Perhubungan Darat Kemenhub.

Masalahnya, saat institusi ini hilang, program dan anggaran untuk meningkatkan keselamatan berkendara juga ikut tersunat.

“Dampaknya, program dan anggaran untuk keselamatan pasti minim. Direktorat keselamatan harus segera diadakan lagi,” ucap Djoko.

Selain aspek struktural, Djoko juga menyoroti adanya potensi besar kalau supir bus nahas itu memang kurang istirahat. Ia bilang rute PO bus AKAP dari Bengkulu ke Palembang ditempuh 10 jam hingga 12 jam. Kalau mau lebih singkat dengan lewat Sekayu, maka jarak tempuhnya masih 8-10 jam.

Djoko bilang lama mengemudi itu perlu diimbangi dengan istirahat paling singkat setengah jam usai empat jam berturut-turut berkendara. Jika lebih dari 8 jam sehari, maka harus ada dua pengemudi dalam satu bus. Ketentuan ini diatur jelas dalam Pasal 90 UU Nomor 22 Tahun 2009.

“Setiap Perusahaan Angkutan Umum wajib mematuhi dan memberlakukan ketentuan mengenai waktu kerja, waktu istirahat, dan pergantian pengemudi,” ucap Djoko.

Sementara itu, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menduga ada masalah dalam sistem uji KIR yang kerap hanya sebatas formalitas. Ketua Harian YLKI, Tulus Abadi pun meminta investigasi dilakukan karena kenyataannya bus yang mengalami kecelakaan justru tercatat laik jalan.

“Selama ini praktir uji KIR lebih banyak formalitasnya. Ada dugaan permainan patgulipat antara pemilik PO Bus dengan petugas. Jika praktik uji kir tak beranjak dari anomali semacam itu, sebaiknya uji KIR diswastanisasi saja,” ucap Tulus dalam keterangan tertulis, Selasa (24/12/2019).

Baca juga artikel terkait KECELAKAAN BUS atau tulisan lainnya dari Vincent Fabian Thomas

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Vincent Fabian Thomas
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Maya Saputri