Menuju konten utama
William Sabandar:

"MRT Sendiri Tidak Bisa Menyelesaikan Persoalan Kemacetan"

MRT harus terintegrasi dengan beragam transportasi publik lain seperti LRT, termasuk menerapkan jalan berbayar, agar macet Jakarta bisa berkurang.

Ilustrasi William Sabandar. tirto.id/Sabit

tirto.id - Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tengah menuntaskan tahap pertama proyek mass rapid transit Koridor Selatan-Utara—yakni Lebak Bulus-Bundaran Hotel Indonesia, yang rencananya selesai pada Maret 2019. Namun, di balik pengerjaan itu, masih ada sejumlah masalah yang kini menyandera proyek tersebut, salah satunya soal kompensasi lahan warga.

Sedikitnya enam warga pemilik lahan melayangkan gugatan perdata kepada Pemprov DKI Jakarta karena menilai ganti ruginya tak sesuai perhitungan riil. Mereka menang di PN Jakarta Selatan, tetapi pemprov mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung, bukan dengan tahap banding lebih dulu. Belakangan, pemprov menawarkan mekanisme konsinyasi bagi para penggugat.

Proyek MRT yang digarap oleh Jokowi pada akhir 2013 ini menyebabkan ratusan usaha mati suri bahkan tutup di sepanjang Jalan Raya Fatmawati, Jakarta Selatan. Meski begitu, Pemprov Jakarta dan pemerintahan Jokowi jalan terus.

Mereka mengklaim, MRT bisa jadi salah satu pemecah ampuh mengatasi problem kemacetan akut warga Jakarta. Kepada reporter Tirto, William P. Sabandar, Direktur Utama PT MRT Jakarta, berkata problem macet ibu kota takkan teratasi jika tidak ada integrasi penyediaan transportasi umum dengan kebijakan yang dibuat pemerintah.

“Maka harus ada kebijakan pemerintah yang bersinergi dan terintegrasi untuk mendorong pemanfaatan ruang transportasi publik,” ujar William melalui sambungan telepon, Jumat pekan lalu. Berikut petikan wawancaranya.

Bagaimana perkembangan proyek MRT tahap satu?

Tahap satu per September kemarin sudah 80,15 persen, terdiri pembangunan bawah tanah (underground) 90 persen, dan pembangunan layang (elevated) 70 persen.

Masih ada hambatan soal kompensasi lahan terdampak proyek, apakah berpengaruh?

Yang di Cipete sudah selesai. Sudah dieksekusi. Yang di Haji Nawi (Stasiun MRT Haji Nawi) menghambatlah. Itu ada tiga lahan yang belum bisa dimasuki, belum bisa dieksekusi karena masih ada gugatan yang masih berproses di Mahkamah Agung. Kita masih menunggu putusan dan untuk daerah lain tidak ada masalah.

Soal gugatan ini, para penggugat menerima surat pemutusan hubungan hukum yang dikirim oleh Badan Pertanahan Nasional?

Badan Pertanahan Nasional mengeluarkan status pencabutan. Ada gugatan yang diajukan oleh warga tapi prosesnya sampai saat ini masih berjalan. Pemerintah Provinsi DKI mengajukan banding ke Mahkamah Agung dan saat ini sedang menunggu putusan Mahkamah Agung.

[Catatan: surat pemberitahuan pemutusan hubungan hukum itu memaksa tanah penggugat dikuasai oleh negara dengan basis hukum “untuk kepentingan umum” demi menggeber target penggarapan MRT tahap satu.]

Apa yang jadi problem itu sehingga muncul gugatan perdata dari warga terdampak?

Problemnya di harga, karena ganti rugi yang ditetapkan pemerintah Rp33 juta/meter persegi untuk beberapa lahan. Tapi yang diminta oleh penggugat Rp140 juta sampai Rp150 juta per meter persegi. Jadi perbedaannya terlalu jauh, selisih terlalu jauh dengan 110 lahan yang kita proses itu. Tidak adil kalau enam orang yang melakukan gugatan ini kemudian melakukan permintaan ganti rugi setinggi itu.

Klaim para penggugat: lokasi properti di lokasi calon stasiun MRT dan lahan dipakai usaha bisnis sehingga harus disertakan dalam penghitungan ganti rugi?

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sudah menggunakan tim penilai independen untuk menaksir harga.

[Catatan: Gugatan perdata dikabulkan oleh majelis hakim tetapi nilai ganti rugi disetujui Rp60 juta/meter persegi. Pemprov Jakarta menolak dan mengajukan kasasi ke MA.]

Soal eksekusi lahan di Cipete, pada 28 September 2017 ada penolakan dari pemilik tanah karena status lahan masih dalam proses hukum?

Ya kalau dieksekusi pasti ada yang tidak puas. Tetapi negara, kan, tetap melakukan kewajibannya. Dan itu memang sudah hak warga melakukan gugatan.

Proyek MRT direncanakan rampung Maret 2019. Tetapi tahun depan akan Asian Games?

Asian Games itu yang kita selesaikan adalah trotoar. Jadi jalan Jenderal Sudirman dan Jalan MH Thamrin itu sudah dalam kondisi baik, yang akan diselesaikan sebelum Asian Games.

Baca juga: Pembersihan trotoar bikin penebangan pohon di sepanjang Jl Sudirman-Thamrin

Berapa tarif yang akan ditetapkan jika MRT sudah beroperasi?

Belum. Sekarang dalam proses pembicaraan. Jadi kita menghitung secara cermat. Nanti akan ada harga keekonomian. Pemerintah akan memberikan subsidi untuk tiket MRT.

Sama seperti subsidi kepada TransJakarta?

Iya. Dan saat ini sedang dihitung oleh konsultan kita.

Bila sudah beroperasi, rencana MRT dengan transportasi publik lain bagaimana?

Ya harus terintegrasi. Artinya MRT sendiri tidak bisa menyelesaikan persoalan kemacetan. Maka harus ada kebijakan pemerintah untuk mendorong pemanfaatan ruang transportasi publik. Memberikan ruang senyaman-nyamannya untuk masyarakat agar menggunakan transportasi publik, salah satunya menyiapkan MRT ini.

Tapi harus ada pengintegrasian kereta cepat ringan (light rail transit/ LRT), pedestrian jalan yang enak, ruang bersepeda yang baik, kebijakan penerapan jalan berbayar (electronic road pricing), dan peningkatan nilai parkir. Jadi semua pekerjaan ini terintegrasi. Barulah kemacetan bisa diatasi.

Apa ada perhitungan biaya yang akan dihemat akibat kemacetan jika MRT beroperasi?

Di awal dulu, ketika diputuskan membangun MRT, kerugian akibat kemacetan mencapai Rp60 triliun per tahun.

Saat ini sedang dibahas kelanjutan proyek MRT tahap dua, apa hambatannya?

Kendala terkait lahan di depo Kampung Bandan, Mangga Dua, Jakarta Utara. Kita bahas dengan PT Kereta Api Indonesia.

Bukankah lahan itu sudah diserahkan untuk dipakai?

Bukan diserahkan. Jadi PT KAI berkirim surat kepada Gubernur DKI Jakarta dan sepakat jika depo itu dapat dibangun Stasiun MRT Kampung Bandan. Tapi ini harus dibicarakan karena hak pengelola lahan di sana ada yang dipegang Pemprov DKI dan ada yang masih dipegang oleh pihak ketiga.

Baca juga artikel terkait PROYEK MRT atau tulisan lainnya dari Arbi Sumandoyo

tirto.id - Indepth
Reporter: Arbi Sumandoyo
Penulis: Arbi Sumandoyo
Editor: Fahri Salam