Menuju konten utama
16 Juni 1976

Mr. Assaat: Presiden yang Tak Dihitung oleh Negara

Tidak diingat.
Paduka sesaat yang
luput tercatat.

Mr. Assaat: Presiden yang Tak Dihitung oleh Negara
Mr. Assaat (18 September 1904-16 Juni 1976), acting Presiden Republik Indonesia di zaman Republik Indonesia Serikat (RIS). tirto.id/Gery

tirto.id - Saat zaman Republik ini baru berdiri, tak banyak kaum terpelajar. Seorang advokat seharusnya tajir dan ke mana-mana pakai mobil. Namun, itu tidak terjadi di awal tahun 1950 di Yogyakarta pada diri Assaat. Padahal, dia punya ijazah Meester in Rechten (Mr) dari tahun 1939 dari Universitas Leiden nun jauh di negeri Belanda, meski beberapa tahun pertama studi hukumnya dijalani di Recht Hoge School (RHS) Batavia.

Sejak tahun 1940, Assaat sudah jadi advokat di Jakarta. Ia adalah advokat yang hidup sederhana. “Dari rumah ke kantornya sehari-hari kadang-kadang berjalan kaki dan bersepeda,” tulis Marthias Dusky Pandoe, dalam Jernih Melihat Cermat Mencatat (2010:1958). Biasanya dia melintasi daerah Malioboro, Yogyakarta. Waktu adalah hari-hari terakhir Yogyakarta menjadi ibukota Yogyakarta. Mr Assaat bukan orang sembarangan waktu itu.

Assaat seharusnya dimuliakan seperti Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Ketika Sukarno menjadi Presiden dan Hatta menjadi Perdana Menteri dari Republik Indonesia Serikat (RIS) yang terbentuk setelah Pengembalian Kedaulatan 27 Desember 1949, terjadi kekosongan di kursi Kepresidenan Republik Indonesia (RI). Maka, Mr Assaat menjadi pejabat Presiden untuk sementara waktu.

“Mr. Assaat sebagai Presiden RI, dan Ir. Soekarno sebagai Presiden RIS,” tulis Ahmad Mansyur Suryanegara dalam Api Sejarah 2(2017:283).

Seharusnya, Assaat dipanggil Paduka Yang Mulia, panggilan presiden. Namun, Assaat tak mau.

“Mr Assaat tidak mau dipanggil Paduka Yang Mulia, tapi kalau mau, panggil Bung Presiden,” tulis Marthias Dusky Pandoe. Setelah RIS bubar pada 17 Agustus 1950 dan menjadi Republik Indonesia, Sukarno menjadi presidennya.

Belakangan, Assaat bernasib sama dengan orang bergelar Meester in Rechten (Mr) lain yang pernah jadi Ketua Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI), Mr Sjafruddin Prawiranegara. Tak banyak orang Indonesia tahu bahwa Mr. Assaat pernah menjadi pejabat Presiden ketika Sukarno harus mengampu kepemimpinan Republik Indonesia Serikat.

Sebelum menjabat presiden pada 1949, sejak 3 Maret 1947 Mr. Assaat diangkat menjadi Ketua Badan Pekerja (BP) Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Setelah Assaat tak jadi pejabat presiden, dirinya pernah jadi Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia 1950-1951.

Ketika ada gerakan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), Assaat bersama istrinya Siti Hazah pergi ke Sumatera. Assaat lalu ikut serta dalam pemerintahan yang dianggap makar tersebut, seperti dilakukan Sjafruddin Prawiranegara. Assaat dijadikan Menteri Dalam Negeri.

Mestika Zed dan Hasril Chaniago dalam Ahmad Husein: Perlawanan Seorang Pejuang (2001:351) menyebut Assaat pernah menjadi Ketua Majelis Presiden di PRRI. Rosihan Anwar dalam Sukarno, Tentara, PKI: Segitiga Kekuasaan Sebelum Prahara Politik, 1961-1965 (2006:63), Assaat baru menyerah pada 10 September 1961 di Padang Sidempuan. Menurut catatan Ajip Rosidi dalam Sjarifuddin Prawiranegara Lebih Takut Kepada Allah SWT (1986:222,237), Assaat pernah ditahan di Medan lalu Jalan Tembok, Jakarta Kota dan baru dibebaskan pada Juli 1966 bersama tokoh PRRI lainnya.

Laki-laki kelahiran Banuhampu, Bukit Tinggi, Sumatera Barat, tanggal 18 September 1904 ini terlahir sebagai remaja yag sangat beruntung di zamannya. Gelar adatnya saja Datuk Mudo. Setidaknya, ia mencicipi sekolah elit pribumi sejak tingkat dasar hingga perguruan tinggi. Dia mencicipi SD elit pribumi HIS, SMP elit pribumi MULO, sebentar di STOVIA, lalu di AMS.

Setelahnya, dia belajar juga di sekolah hukum Recht Hoge School (RHS). Kurang apalagi? Namun, nyatanya dia kemudian ikut serta dalam pergerakan nasional. Sejak masih sekolah di Betawi, Assaat ikut serta dalam Jong Sumatranen Bond, organisasi pemuda bagian pergerakan nasional. Ikut serta pula dia dalam kepanitiaan Kongres Pemuda 28 Oktober 1928 di Jakarta.

Setelah lulus dari Leiden (1939), selain pernah jadi advokat di Jakarta (1940), menurut catatan Orang-orang Indonesia Yang Terkemuka di Jawa (1986:280), dia pernah bekerja di NV Centrale Hulp Spaar en Hypotheekbank di Jakarta. Waktu zaman Jepang, dia menjadi pegawai di Somubu Indonesia Bunshitu. Assaat pernah juga menjadi camat Gambir dan Wedana Mangga Besar kala zaman Jepang.

Terkait pergerakan nasional, dia pernah menjadi bendahara Pemuda Indonesia (1939) dan bendahara pada Indonesia Muda (1941-1942). Menurut catatan Sutan Mohamad Rasyid Rasjid 70 (1981:15), dia pernah aktif mendukung Mr. Sartono di Partai Indonesia (Partindo) ketika masih kuliah bersama Amir Sjarifuddin dan Muhammad Yamin.

Menurut catatan Hatta dalam Mohammad Hatta Memoir (1979:414), awal zaman Jepang, bersama kawan-kawannya yang bergelar Mr, Assaat menawarkan diri bekerja kepada Hatta. Namun, akhirnya, bersama Mr. Wilopo, Assaat bekerja di bawah seorang Jepang bernama Harada.

Pada zaman Indonesia Merdeka dia termasuk yang ikut Republik. Dia aktif dalam organisasi yang mirip parlemen bernama Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), di mana Assaat jadi ketuanya sejak awal 1947. Di KNIP, Assaat adalah wakil dari Partai Sosialis. Ketika ibukota Republik Indonesia diduduki militer Belanda, pada 19 Desember 1948, Assaat termasuk salah satu yang ditangkap.

Pada 22 Desember 1948, bersama Sukarno, Hatta, Sutan Sjahrir, Haji Agus Salim, Mr. Gafar Pringgodigdo, dan Komodor Suryadi Suryadarma—sebagai tawanan militer Belanda—Assaat dibawa keluar ibukota yang telah diduduki. “Masing-masing boleh membawa pakaian dalam koper. Kira-kira pukul 08.00 kami dibawa dengan jeep ke Maguwo. DI Maguwo kami diminta naik ke dalam sebuah Bomber(pesawat pembom),” aku Hatta (1979:543).

Infografik Mozaik Assaat

Assaat memprediksi mereka semua akan dibawa ke Saparua, seperti yang sebelumnya dialami Sam Ratulangi. Rupanya, pesawat itu mendarat di lapangan terbang tertua di Indonesia, Cililitan (kini Halim Perdanakusumah). Mereka singgah sebentar dan semuanya buang air.

Sebelum terbang menuju Bangka, pesawat tiba di lapangan terbang Pangkal Pinang (kini Depati Amir). Hatta bersama Gafar, Assaat, dan Suryadarma dibawa ke Menumbing. Setelah Belanda ditekan dunia internasional, pada 1949 Republik Indonesia pun dipulihkan. Pemimpin-pemimpin republik, termasuk Assaat, dibebaskan.

Assaat kembali ke Yogyakarta dan setelah 27 Desember 1949 dia jadi pejabat Presiden RI untuk beberapa bulan. Ketika hendak mengisi jabatan pejabat Presiden, Assaat ditanyai Subakir, seperti dicatat dalam Skets Parlementer (1950:16).

“Nama Tuan disebut-sebut sebagai salah satu yang mungkin akan menjadi acting Presiden Republik Indonesia. Sampai dimana betulnya ini?”

Sambil tertawa, Assaat menjawab, “Ah buat saya itu terlalu muda.” Umur Assaat kala itu mendekati 46 tahun.

Subakir lalu bikin Assaat ikut tertawa dengan bilang, “Datuk Mudo yang terlalu muda.”

Sebelum ibukota RI kembali lagi ke Jakarta, demi mengenang Yogyakarta sebagai kota perjuangan, Assaat memprakarsai pembangunan Masjid Syuhada. Selama menjadi acting Presiden, Assaat adalah penandatangan statuta pendirian Universitas Gadjah Mada (UGM).

“Menghilangkan Assaat dari realitas sejarah kepresidenan Republik Indonesia sama saja dengan tidak mengakui Universitas Gadjah Mada sebagai universitas negeri pertama yang didirikan oleh Republik Indonesia," ujar sejarawan Bambang Purwanto dalam pidato pengukuhan guru besarnya di UGM, 17 Januari 2008.

Assaat, pejabat presiden yang tercatat itu, tutup usia pada 16 Juni 1976, tepat hari ini 42 tahun lalu.

=========

RALAT:

Sebelumnya tertulis bahwa istri Assaat yang menyertai Assaat saat meletus PRRI di Sumatera adalah Roesiah. Yang benar, istri yang menemani Assaat di Sumatera bernama Siti Hazah. Ia adalah istri yang dinikahi Assaat setelah Roesiah meninggal dunia.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Humaniora
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Maulida Sri Handayani