Menuju konten utama

Motivasi Peningkatan Kualitas Mengajar Guru Indonesia Rendah

Masalah dunia pendidikan saat ini yakni rendahnya motivasi guru untuk meningkatkan kualitas mengajar karena hanya mengejar karir sebagai PNS.

Motivasi Peningkatan Kualitas Mengajar Guru Indonesia Rendah
Guru agama memandu doa ratusan siswa dan orang tua/wali murid di halaman SMP Katolik Santa Maria, Tulungagung, Jawa Timur, Sabtu (29/4). ANTARA FOTO/Destyan Sujarwoko.

tirto.id - Konselor pendidikan Itje Chodijah membeberkan banyaknya persoalan pendidikan yang masih dialami di Indonesia. Salah satunya yakni rumitnya penataan administrasi guru memperoleh karir sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS). Hal ini mengakibatkan rendahnya motivasi guru untuk meningkatkan kualitas mengajar akibat hanya mengejar karir sebagai PNS.

“Motivasi administratif yang sangat sederhana cuma pengin jadi PNS. Saya malah suka bilang apa sih masalahnya kalau mau jadi guru jadi guru aja. Jangan kejar-kejaran hanya untuk jadi PNS hanya untuk dapat pensiun. Kalau motivasi itu sudah dicapai habis yang lainnya," ungkapnya usai mengisi diskusi bertema “Refleksi Revolusi Mental dan Pendidikan dalam Penguatan Karakter Guru dan Siswa” di kantor Walhi, Tegal Parang, Jakarta Selatan, Senin (1/5/2017).

"Memang ada sih dia ingin jadi PNS dan dia emang berkualitas maka ketika masuk dia tetep saja bagus, tapi berapa jumlahnya? Sedikit sekali yang seperti itu dan ini faktor utama, kegagalan pendidikan kita ada di gurunya,” imbuhnya.

Ia kemudian mengungkapkan adanya disparitas sosial sebab tidak meratanya kualitas pendidikan di Indonesia. Ia mencontohkan perbedaan kualitas lulusan sarjana dari kampus biasa dengan sarjana yang berasal dari kampus yang memiliki akses luas meski keduanya sama-sama lulusan S1. Karenanya, ia berharap pemerintah bisa menghadirkan lembaga pendidikan yang berkualitas dengan merata di seluruh Indonesia.

Ketimpangan lulusan S1 yang tidak seimbang juga diperparah dengan penerimaan guru saat perekrutan yang banyak menggunakan nepotisme atau menggunakan koneksi dalam, bukan dengan melihat standar kompetensi. Fenomena ini menjamur terlebih di sekolah-sekolah swasta yang berupa yayasan.

Lebih dari itu, di sekolah-sekolah secara umum, banyak guru yang enggan mengikuti pelatihan-pelatihan untuk menunjang kemampuan mengajar apabila pelatihan tersebut tidak terikat dengan kerja dinas. Pelatihan bagi seorang guru, kata dia, merupakan pola penting yang berbasis pada peningkatan kualitas mengajar, bukan sekadar kelengkapan administrasi.

Permasalahan rendahnya motivasi guru dalam meningkatkan kualitas mengajar dan berkembang juga dialami oleh DKI Jakarta. Menurutnya, guru-guru di DKI Jakarta yang memiiki TKD tinggi tidak diimbangi dengan kualitas. “Buktinya sekarang DKI, guru negeri dengan TKD tinggi, emang identik dengan kualitas? Gak. DKI tunjangan daerah besar tapi tidak identik dengan kualitas,” tambahnya.

Menurutnya dari kebanyakan guru-guru negeri yang mendapatkan Tunjangan Kinerja Daerah (TKD) tinggi, mayoritas menganggapnya sebagai hak, namun tidak diiringi dengan kewajiban yang serupa.

Sebagai peringatan Hari Pendidikan Nasional, ia menghimbau kepada masyarakat keseluruhan untuk menjadikan peringatan hari pendidikan nasional sebagai titik balik memperbaiki kualitas pendidikan Indonesia. Pendidikan Indonesia menurut evaluasi dari berbagai lembaga internasional, lanjutnya, masih menunjukan bahwa indeks pendidikan nasional masih lemah.

“Saya rasa itu harus menjadi titik balik untuk mempelajari apa yang menjadi kesalahan dalam tindakan-tindakan yang dilakukan oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah untuk mengembalikan pendidikan sebagai alat utama untuk menyiapkan bangsa ini menjadi bangsa yang lebih baik dan beradap,” ujarnya.

Baca juga artikel terkait HARI PENDIDIKAN atau tulisan lainnya dari Chusnul Chotimah

tirto.id - Pendidikan
Reporter: Chusnul Chotimah
Penulis: Chusnul Chotimah
Editor: Akhmad Muawal Hasan