Menuju konten utama
Stefanus Ridwan:

"Moratorium Malah Membuat Mal-mal di Jakarta Lebih Survive"

Mal-mal baru memang tidak boleh lagi dibangun di Jakarta. Namun, itu tidak berarti bisnis mal mati, tapi justru bertahan karena permintaan yang tinggi sementara pasokan rendah.

Stefanus ridwan. Tirto/Sabit

tirto.id - Mantan Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo mengumumkan moratorium pembangunan mal di akhir masa jabatannya pada 2011. Ia tak akan memberi izin buat pusat perbelanjaan dengan luas lahan lebih dari 5 ribu meter persegi. Kendati demikian, mal-mal yang sudah mengantongi izin sebelum moratorium tetap boleh dibangun.

Moratorium itu justru membuat mal-mal di Jakarta bisa bertahan. Dengan tidak adanya lagi izin mal baru, maka ruang ritel pun semakin terbatas. Padahal, permintaan untuk ruang usaha cukup tinggi. Ketua Asosiasi Pengelola Pusat Perbelanjaan Indonesia Stefanus Ridwan mengklaim bahwa para penyewa mengantre untuk mengisi mal.

“Moratorium malah membuat mal-mal di Jakarta lebih survive. Sebab tempat penjualannya (mal) tidak ditambah, sedangkan yang butuh bertambah. Pabrik produksi, kan, harus dilempar ke pasar, mau tidak mau ke mal,” kata Stefanus via telepon kepada Dieqy Hasbi Widhana dari Tirto, Sabtu pekan lalu. Melalui Asosiasi, persaingan antarpemilik mal dipantau.

Stefanus adalah Direktur PT. Pakuwon Jati Tbk. Seluruh malnya tersebar di Jakarta Selatan, yakni Kota Kasablanka, Gandaria City, dan Plaza Blok M. Bagaimana strategi mal-mal dalam menghadapi persaingan? Benarkah pertumbuhan mal di Jakarta benar-benar tidak ada? Berikut perbincangan lengkap antara reporter kami, Dieqy Hasbi Widhana dengan Stefanus.

Di Amerika, jumlah mal menyusut sampai industrinya bangkrut. Bagaimana di Indonesia?

Saya kira mal di Asia, Amerika atau Eropa beda sekali. Kalau di Amerika dan Eropa itu hampir tidak ada mal baru dari belasan tahun terakhir. Amerika juga begitu, belasan tahun terakhir tidak ada mal baru. Di Amerika rata-rata malnya di daerah luar kota. Malnya mereka rata-rata cuma ada toko dan restoran saja di dalamnya. Sudah titik, itu saja.

Sedangkan mal di Indonesia ada entertainment-nya, ada tempat buat pendidikan anak-anak dan balita berupa kursus, misalnya. Memang di sini beda. Pamerannya pun berubah-ubah. Kalau di luar negeri kan monoton, isi tokonya juga enggak macam-macam. Kayak kafe ya kafe biasa banget. Kalau di kita kan masih ada yang beda-beda. Ada pengalaman, ada engagement, dan mal-mal sekarang kan sudah mengawinkan antara online dan offline.

Kita di sini mainannya di komunitas, media sosialnya juga kenceng banget. Jadi menurut saya, mal-mal di Asia akan berbeda sekali. Kalau kita datang ke Amerika, enggak ada mal bagus tuh. Samalah seperti Jepang, enggak ada kemajuan malnya. Tapi di China, Thailand, Singapura, Malaysia, dan Indonesia, malnya unik dan bagus-bagus.

Kalau di Jakarta, konsep mal seperti apa yang paling ramai diminati?

Kalau yang high in banget kita lihat tetap Plaza Indonesia yang masih leading, masih bagus. Walaupun jumlah yang datang ke sana tidak luar biasa banyak, tapi kan daya belinya luar biasa, sehingga hidup terus.

Kalau yang luar biasa pengunjungnya saya lihat di Kepala Gading bagus. Kemudian kita lihat Kota Kasablanka kan selalu penuh sekali. Itu sampai yang mau nyewa antre. Itu sebabnya mereka banyak kegiatan komunitas dan macam-macam. Jadi saya kira perlu ada kegiatan-kegiatan seperti itu biar ramai. Misalnya kegiatan seperti Marketing Week (Jakarta Marketing Week) Hermawan (Kartajaya) itu ada di sana. Gebyar Batik Muda Nusantara juga ada di sana (Mal Kasablanka). Kadang-kadang juga kedatangan pemilihan puteri Indonesia dan segala macam. Mereka ada kegiatan-kegiatan seperti itu, sedangkan di luar negeri kan jarang, mereka dagang ya dagang saja. Kalau di kita kan banyak libatkan masyarakat, atriumnya juga ganti-ganti. Jadi ada suasana baru terus-menerus.

Kemudian restorannya beda. Restoran yang dari dulu sampai sekarang tidak berubah, sudah tidak zamannya, sudah tutup pasti. Gantinya yang ada experience, cara makannya juga yang unik. Intinya ada yang bisa diceritakanlah ke orang. Kalau dulu kan orang cuma experience, kalau sekarang ditambah story, misalnya saya tadi makan ini caranya gini, makannya pakai gunting, lho. Itu kan lucu, beda.

Sesudah moratorium meski sebatas omongan dari gubernur, apa yang terjadi pada pertumbuhan mal di Jakarta?

Moratorium itu sebenarnya dibilang ada, tapi aturannya enggak ada, lho. Itu hanya lisan saja. Waktu itu mau Pilkada, Fauzi Bowo yang bilang. Tapi sampai sekarang memang untuk daerah tertentu, memang tidak dibangun mal. Moratorium malah membuat mal-mal di Jakarta lebih survive. Sebab tempat penjualannya (mal) tidak ditambah, sedangkan yang butuh bertambah. Pabrik produksi kan harus dilempar ke pasar, mau tidak mau ke mal.

Seperti Kota Kasablanka, kalau mau masuk sana ya antre, panjang banget. Kalau mal yang tidak ada renovasi, harus direnovasi segera, jika tidak akan ditinggalkan pengunjungnya.

Apa moratorium akan bermasalah bagi mal dengan lahan sempit?

Saya kira bukan masalah lebar atau tidaknya, tergantung mau mengubah dagangannya, toko-tokonya, dan suasananya. Supaya lebih menarik. Mal kecil enggak apa-apa, tapi kalau suasananya menarik banget kan asik. Kalau dulu orang cukup kreatif saja bisa. Kalau sekarang enggak cukup kreatif saja, harus super kreatif.

Bagaimana upaya menyiasati persaingan antar-mal di Jakarta?

Soal persaingan, justru itu APPBI ada. Kita menyarankan kepada mereka (pemilik mal) semua, jangan jualan barang yang sama, jangan punya atraksi yang sama. Kalau bisa semuanya punya diferensiasi, sehingga orang harus pergi ke semua mal. Tapi ada perbedaan di masing-masing mal.

Maksud menjual perbedaan ini bagaimana?

Tenant-nya biarpun namanya sama tapi presentasinya beda. Contohnya Eat and Eat di Kasablanka kan desainnya seperti di Maroko. Kalau di Gandaria kan seperti gudang di pabrik-pabrik gitu lho. Jadi ada hal-hal yang berbedalah di satu mal dengan yang lain. Sehingga ada deferensiasi, merek sama tapi suasana beda. Setiap orang harus pergi ke semua mal.

Bagaimana prospek mal-mal tua di Jakarta dalam menghadapi persaingan mal baru?

Itu enggak masalah. Mereka harus tunggu saat berbenah diri. Mereka harus punya desain yang lebih punya daya tarik. Mereka semua tahu, kok. Kita kan ada seminar-seminar yang penuh terus. Itu karena orang ingin tahu mal yang baru itu seperti apa sih, kemudian trennya ke mana, harus punya keistimewaan seperti apa sih. Sekarang kan enggak bisa kalau cuma jualan begitu saja, mesti ada online-nya bagaimana, mesti ada faktor x.

Kalau munculnya tren transaksi dan lapak online seberapa berpengaruh bagi mal?

Sekarang saja cuma di bawah 1 persen. Pengaruhnya enggak signifikan. Mereka itu ya memang besar sekali, sebabnya tokonya sendiri tidak menarik. Sudah belasan tahun tidak ada mal baru, ya bagaimana lagi. Ekonominya lagi hancur-hancuran kan.

Tingkat okupansinya bagaimana?

Semua rata-rata di atas 90 persen. Masih bagus. Tapi di ITC lebih rendah sedikitlah. Kebanyakan yang Trade Center lebih rendah sedikit. Tapi kalau yang mal sewa, masih tinggi-tinggi banget.

Bagaimana soal mal tanpa tempat parkir yang langsung terintegrasi pada jalur kendaraan umum?

Parkiran itu di persyaratannya wajib ada. Kalau integrasi dengan MRT, di Blok M Plaza itu kan ada sedikit renovasi dan tenant-nya diubah. Terus mereka punya jembatan penghubung langsung dari stasiun. Jadi dari MRT langsung bisa masuk ke dalam mal.

Kenapa mal-mal lebih terkonsentrasi di Jakarta Pusat dan Selatan daripada di Jakarta Timur?

Kalau di Jakarta Timur, tanahnya enggak ada. Meski kita mau, tapi tanahnya enggak ada. Kalau ada biasanya tanah sengketa, terus ada yang peruntukannya beda, itu repot. Anda kasih lah ke saya tanah di Jakarta Timur, nanti saya bangunin mal. Itu benar, serius.

Apa pertimbangan sebuah mal dibangun di daerah tertentu? Apa melihat jumlah penduduknya besar?

Itu tidak juga. Yang lebih cocok, daya beli masyarakat dilihat dari income penduduk di sekitarnya. Kalau banyak penduduknya, tapi income mereka rendah, ya percuma saja. Jadi bangun mal juga harus cocok dengan lingkungan di sekitarnya terkait kemampuan ekonomi dan sebagainya. Kalau jauh pun letaknya dari pusat warga, asal ada jalan gede yang enak kan enggak masalah, misalnya kayak Kokas, kebanyakan ambil orang malah dari Depok sama Bekasi.

Untuk ke depan, apa masih perlu memperpanjang moratorium mal?

Moratorium ini ya untuk sementara biarkan saja. Kalau mau cabut ya silakan. Toh tidak ada orang yang mau bangun mal doang. Enggak untung atau lama untungnya. Kalau ramai sekali sukses, itupun even point-nya (break even point/BEP) 10 tahun. Kalu tidak bagus bisa sampai 12 tahun atau lebih. Jadi ngeri kan.

Jadi kalau dia bangun harus serius, ada apartemennya, misalnya. Itu kan malnya disubsidi sama apartemen. Nah itu bisa bagus. Tapi kalau cuma mal yang dibangun, enggak ada yang mau sekarang.

Dampak kemacetan yang ditimbulkan mal bagaimana?

Kalau soal kemacetan, kira-kira tergantung kapan macetnya. Kalau Sabtu dan Minggu mungkin iya, tapi enggak fatal banget biasanya. Yang fatal itu pagi-pagi sama jam pulang kantor. Kalau pagi-pagi bukan karena mal dong, malnya belum buka. Orang biasa bilang mal bikin kemacetan, itu pagi kan belum buka, bukanya jam 10 (pagi).

Biasanya juga banyak angkot yang berhenti, itu yang bikin kemacetan sebenarnya. Ada juga gara-gara pedagang kaki lima. Kalau semua enggak ada, ya lancar-lancar saja.

Berarti tidak ada mal yang menyumbang kemacetan?

Ada sedikit tapi tidak banyak. Orang pulang kantor pun lihat jalanannya macet, malah mampir ke mal. Daripada macet-macet, hangout di mal saja. Banyak kan yang begitu. Kalau macet jam 10 malam ya itu mungkin gara-gara mal, tapi kan jarang macet jam 10 malam.

Bagaimana soal wilayah resapan air yang disedot untuk operasional mal?

Kita kan bikin mal ada persyaratannya. Kita kan bikinin yang namanya sumur resapan, kolam resapan. Kan waktu mengajukan izin kita sudah menggunakan itu. Jadi soal daerah resapan air enggak ada masalah.

Baca juga artikel terkait MAL atau tulisan lainnya dari Dieqy Hasbi Widhana

tirto.id - Bisnis
Reporter: Dieqy Hasbi Widhana
Penulis: Dieqy Hasbi Widhana
Editor: Fahri Salam