Menuju konten utama

Moody's Sebut Swasta akan Semakin Susah Cari Pendanaan di 2020

Penyaluran kredit masih akan berdenyut, tapi bank dan investor akan semakin selektif.

Moody's Sebut Swasta akan Semakin Susah Cari Pendanaan di 2020
Ilustrasi kredit rumah. FOTO/iStock

tirto.id - Lembaga konsultan keuangan, Moody’s Investor Service memprediksi tahun 2020 akan menjadi tahun yang sulit bagi swasta untuk mencari pendanaan.

Vice President Senior Credit Officer Moody’s, Jacintha Poh menjelaskan tahun 2020, sumber pendanaan dalam negeri (onshore) maupun luar negeri (offshore) akan cukup pilih-pilih.

“Likuiditas akan semakin ketat bagi swasta. Dari pendanaan, perbankan akan semakin selektif terhadap perusahaan yang lemah,” ucap Jacintha dalam paparannya di Hotel Hyatt, Rabu (4/12/2019).

Penyaluran kredit ini kata Jacintha diprediksi masih berdenyut di tahun 2020, tetapi jumlahnya mungkin tidak banyak. Semakin maju sampai 2022, ia mengatakan akan ada seolah-olah tembok yang akan semakin menahan penyaluran kredit ini.

Jacintha menyatakan kehati-hatian perbankan di dalam negeri ini juga akan diikuti oleh investor di luar negeri. Menurutnya, kedua kombinasi ini akan semakin mengunci swasta yang membutuhkan modal bagi aktivitas bisnisnya.

“Investor dari luar negeri akan mempertimbangkan keseimbangan risiko dan nilai. Dengan kondisi likuiditas luar dan dalam ini, maka kondisinya semakin sulit,” ucap Jacintha.

Namun, secara sektor, mereka yang paling terdampak adalah perusahaan tambang dan perkebunan seperti kelapa sawit. Sementara itu, industri lain seperti kimia, properti menurutnya masih memiliki harapan.

Penyebabnya, bank dan investor katanya memilih untuk berhati-hati terhadap sektor yang terpengaruh pada pelemahan harga komoditas. Belum lagi, kebijakan energi sejumlah negara mulai mengarah pada energi yang lebih bersih.

Analis Moody’s, Tengfu Li menyatakan sikap hati-hati perbankan dan investor memang beralasan. Ia menuturkan tingkat utang korporasi Indonesia dalam bentuk mata uang asing cukup tinggi dibanding negara sekawasan ASEAN. Di saat yang sama, kemampuan membayar utang (debt servicing ability) cukup lemah di kawasan itu.

Sementara itu, perbankan di dalam negeri juga masih mewaspadai dampak dari penurunan harga komoditas seperti yang terjadi di 2013. Ia bilang pada waktu itu, jumlah restrukturisasi utang di Indonesia bertambah cukup signifikan. Ia mengatakan tingkat risiko pinjaman usai penurunan harga komoditas pun nyatanya masih cukup tinggi hingga 2016 lalu.

“Ada risiko terkait utang korporasi dalam mata uang asing. Lalu salah satu risiko yang diwaspadai bank adalah harga komoditas,” ucap Tengfu dalam paparannya di Hotel Hyatt, Rabu (4/12/2019).

Baca juga artikel terkait LIKUIDITAS atau tulisan lainnya dari Vincent Fabian Thomas

tirto.id - Bisnis
Reporter: Vincent Fabian Thomas
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti