Menuju konten utama

Momentum Politik I Leave My Heart in Lebanon

Berdekatan dengan Pilpres 2009, ada trilogi film Merah Putih, sedangkan di akhir tahun ini ada I Leave My Heart in Lebanon. Kedua film yang lekat dengan dunia militer ini sulit untuk tak diasosiasikan dengan tokoh politik tertentu, apalagi dirilis di masa-masa pemilu.

Momentum Politik I Leave My Heart in Lebanon
Cuplikasn Adegan film I Leave my Heart in Lebanon. YOUTUBE

tirto.id - Sebuah pesta kadet-kadet Sekolah Tentara Rakyat harus berantakan karena diserang Tentara Belanda. Banyak yang meninggal, ada pula yang berhasil lolos dan meneruskan perjuangan melawan Tentara Belanda. Begitulah cerita film perjuangan Merah Putih (2009).

Film ini adalah seri pertama dari trilogi Merah Putih yang total menelan biaya produksi sebesar Rp60 miliar. Dua film setelah seri Merah Putih, yakni Darah Garuda dan Hati Merdeka, masih berkisar soal perjuangan kadet-kadet yang lolos tadi. Meski bersetting revolusi kemerdekaan Indonesia 1945-1949, alur cerita dan karakter tokohnya fiktif.

Hashim Djojohadikusumo, adinda dari orang nomor satu di Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) Prabowo Subianto Djojohadikusumo, adalah orang di balik ketiga film tersebut. Media Desa Indonesia milik Hashim dan Margate adalah distributor film ini. Tak tanggung-tanggung, aktor macam Lukman Sardi, Darius Sinathrya, Donny Alamsyah, dan Teuku Wisnu terlibat dalam film ini.

Kadet-kadet macam dalam film tersebut, memang benar-benar ada dalam revolusi. Paman Hashim dan Prabowo, ada yang kadet dalam Akademi Militer Tangerang yang dipimpin Mayor Daan Mogot, yakni Soejono Djojohadikusumo. Dan, seorang lagi adalah perwira TNI zaman revolusi, Subianto Djojohadikusumo.

Kedua paman tersebut gugur dalam Peristiwa Lengkong dalam usaha pengambilalihan senjata militer Jepang yang berakhir dengan insiden tembak menembak. Di mana Mayor Daan Mogot yang ikut dalam pengambilalihan yang semula berjalan lancar itu namun berakhir kacau itu, juga terbunuh.

Dua orang itu tentu saja jadi kebanggaan Prabowo yang puluhan tahun berkarir di militer. Jika sang paman yang mati muda itu gugur sebagai kadet dan letnan, maka Prabowo yang lulusan Akademi Militer Magelang itu berakhir karir militernya sebagai letnan jenderal.

Film Merah Putih sama sekali tidak bercerita tentang Soejono dan Subianto, melainkan orang-orang bernama Amir, Thomas, Marius, Wisnu, dan Soerono. Kadet Akademi Militer yang dihabisi musuh bisa menjadi benang merah antara tokoh-tokoh dalam film trilogi Merah Putih dengan paman Hashim dan Prabowo.

Merah Putih tadi mulai ditonton publik ketika Gerindra mulai menampakan diri sebagai partai yang kuat di tahun 2009. Kita tahun di tahun 2009 Prabowo mencalonkan diri sebagai Wakil Presiden dan 2014 sebagai Presiden.

Nah, menjelang Pilgub DKI awal tahun depan, akan dirilis film I Leave My Heart In Lebanon. Sulit bagi orang-orang untuk tak menautkannya dengan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), yang jadi salah satu kandidat gubernur DKI Jakarta. Libanon dan tugas militer dengan mudah mengingatkan publik pada salah satu anak mantan presiden itu.

Semua orang yang mengikuti berita tentang keluarga SBY, tentu tahu bahwa AHY adalah salah satu perwira yang pernah dikirim ke Libanon sebagai salah satu perwira pasukan perdamaian dalam Kontingen Garuda.

Filmnya sendiri memang tak bercerita tentang seorang perwira bernama Agus, melainkan seorang perwira bernama Satria. Mirip, tapi beda nama. Film ini berkisah soal percintaan Satria dengan perempuan Libanon, meski ia sudah punya pacar di Indonesia bernama Diah. Diah, yang diperankan Revalina S. Temat, didandani agak mirip dengan Annisa Pohan, istri AHY.

Infografik Film Patriotik atau Politis

Film ini diproduksi oleh TB Silalahi Pictures, milik Letnan Jenderal Purnawirawan Tiopan Bernhard Silalahi alias TB Silalahi, yang setahun silam merilis film ToBa Dreams. Dalam film, para pemeran anggota pasukan perdamaian termasuk Satria, mendapat gemblengan 4 hari di Batalyon elit Kostrad 328 di Cilodong.

Di Kostrad pula AHY pernah mengabdi sebagai anggota TNI yang rajin sekolah. Karena film ini mengisahkan soal TNI, maka Panglima TNI pun memonitor produksinya. Bagi TNI, film ini dianggap mampu meningkatkan moral prajurit. Setidaknya, film ini bicara soal keindonesiaan dan nasionalisme.

Di masa kepresidenan SBY, TB Silalahi pernah menjadi Anggota dan Ketua Pertimbangan Presiden sejak 2006 hingga 2010. Sebelumnya, dari 2004 hingga 2006, TB adalah Penasehat Khusus Presiden. Tapi hati-hati, jangan mengelirukannya dengan jenderal bermarga Silalahi yang satu lagi: Sudi Silalahi.

Sudi, ”begitu dekat dengan profil SBY... Dia disebut-sebut tangan kanan SBY di Tim Penilai Akhir,” tulis buku Cikeas Menjawab (2010). Sudi telah lama menjadi sekretaris SBY. Mulai SBY jadi menkopolkam era Megawati, kemudian menjadi Sekretaris Kabinet Indonesia Bersatu jilid I, lalu Sekretaris Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II.

Beda Sudi dengan TB adalah soal umur dan senioritas. TB pernah menjadi menteri pendayagunaan aparatur negara era Orde Baru. Tapi keduanya kemudian sama-sama jadi tokoh Partai Demokrat yang dipimpin oleh SBY.

Di Indonesia, film yang terkait tokoh politik atau tokoh publik sudah banyak dirilis. Sudah ada film tentang Sukarno, Habibie, Soedirman, bahkan Joko Widodo. Namun, film macam I Leave My Heart in Lebanon dan trilogi Merah Putih menarik untuk dikaitkan dengan momen politis ketika film-film itu dirilis.

Para pembuatnya bisa saja menyatakan tidak ada agenda politik dibalik produksi film-film tersebut, tapi para penonton bisa dan berpendapat lain. Lagipula, tidak ada yang salah dengan kampanye halus lewat produk kebudayaan seperti film.

Baca juga artikel terkait I LEAVE MY HEART IN LEBANON atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Film
Reporter: Petrik Matanasi
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Maulida Sri Handayani