Menuju konten utama

Molly's Game: Perempuan di Meja Judi dan Debut Aaron Sorkin

Penulis skenario ternama Aaron Sorkin kembali dengan film pertamanya sebagai sutradara. Mengkritik seksisme di Hollywood.

Molly's Game. FOTO/STXFilms

tirto.id - Sejak kecelakaan yang membuat tulang belakangnya bengkok—dan musti diluruskan dengan besi—Molly Bloom (Jessica Chastain) berikrar tidak akan terjun lagi ke dunia ski. Namun, Larry Bloom, ayah sekaligus pelatihnya (Kevin Costner) mendesak Molly untuk terus bertanding. Tak peduli apapun kondisinya, Molly, pikir Bloom, harus bisa jadi atlet ski nomor satu.

Pada 1990an, Molly yang sudah beranjak dewasa berpartisipasi dalam ajang kejuaraan lokal. Ia dapat nomor urut terakhir dan sedikit nervous. Demi membuang gugup, ia mendengarkan musik dari iPod-nya. Namun, keberuntungan ternyata belum menaungi Molly. Di tengah aksinya, Molly tergelincir dan gagal melanjutkan pertandingan.

Guna mengubur kenangan buruk tersebut, Molly pindah ke Los Angeles dengan bekal uang tabungannya. Molly berencana tinggal setahun di LA, mencari uang dengan kerja serabutan, dan melanjutkan sekolah hukum yang tertunda.

Namun, cita-cita itu gagal. Sebab, hidup Molly berubah seketika: dari atlet gagal jadi ratu poker bawah tanah.

Dialog Cerdas

Film ini terinspirasi kisah nyata Molly Bloom yang dibukukan dalam Molly’s Game: The True Story of the 26-Year-Old Woman Behind the Most Exclusive, High-Stakes Underground Poker Game in the World (2014). Film Molly’s Game (selanjutnya Molly’s) mengisahkan sepak terjang Molly mengelola bisnis poker bawah tanah hingga ia ditangkap FBI. Molly didakwa melanggar regulasi federal dan terlibat dengan jaringan mafia Rusia.

Molly’s adalah debut penyutradaraan Aaron Sorkin. Sebelumnya, Sorkin dikenal sebagai penulis naskah A Few Good Men (1992), The American President (1995), The Social Network (2010), Moneyball (2011), sampai Steve Jobs (2015) serta kreator serial televisi macam The West Wing (1999-2006) maupun The Newsroom (2012-2014).

Selama jadi penulis naskah, Sorkin banyak dipuji para kritikus. Peter Bradshaw dari The Guardian, misalnya, menyebut naskah Sorkin di The Social Network adalah gambaran betapa cerdasnya dialog-dialog yang mengalir di antara cerita film yang berkutat pada kumpulan kutu buku, geeks, dan nama besar Facebook.

Sementara Peter Travers dari Rolling Stone mengatakan naskah Sorkin untuk Steve Jobs merupakan “kecermelangan belaka.” Sorkin, kendati tidak mengikuti biografi Jobs yang ditulis Walter Isaacson, berani membentuk struktur dan sudut pandang tersendiri tentang Jobs. Kritikus film kondang, Roger Ebert, pernah menyatakan bahwa diskusi-diskusi abstrak yang ditulis Sorkin di Moneyball berhasil merefleksikan konflik emosional antar karakter yang begitu dalam.

Sepanjang mengikuti sepak terjang Sorkin, saya memang menemukan dialog-dialog yang cerdas, sarkas, dan mengalir seolah semuanya dibebaskan begitu saja. Simak bagaimana Erica Albright (gebetan Zuckenberg) mengatakan kepada Zuckenberg bahwa ia tidak disukai perempuan bukan karena ia kutu buku, melainkan karena ia brengsek.

Atau ketika pengacara Winklevoss bersaudara bertanya apakah ia layak mendapat perhatian Zuckenberg. Tanpa tedeng aling-aling, Zuckenberg menjawab tidak sembari memberi alasan bahwa perhatiannya berada di kantor Facebook, bukan kepada si pengacara maupun kliennya yang dianggap hanya mengumbar kebohongan.

Kemudian dalam Steve Jobs (2015), dialog khas Sorkin lagi-lagi muncul tatkala permintaan Steve Wozniak untuk menyebutkan tim Apple II di acara launching sebagai bentuk apresiasi ditolak Jobs. Penolakan tersebut membuat Wozniak murka dan mengumpat Jobs dengan sebutan "orang yang tidak bisa merancang kode maupun program."

Dengan tenangnya, Jobs menjawab: “Aku memainkan orkestra dan kamu seorang musisi yang baik. Kamu duduk di sana dan jadi yang terbaik di barisan.”

Selain dialog, Sorkin juga punya ciri khas lain dalam mendesain karakter utama. Dalam The Social Network, kita diperlihatkan sisi lain dari Zuckenberg yang angkuh, egois, serta memble dalam urusan asmara di balik statusnya sebagai jutawan pendiri Facebook. Atau di Steve Jobs, misalnya. Alih-alih memaparkan kebesaran Jobs dan Apple, Sorkin justru menyorot sisi sentimentil berupa relasi dengan putrinya.

Kedua hal tersebut kembali disajikan Sorkin dalam Molly’s. Sepanjang film, dialog khas Sorkin bergulir dengan cepat. Dari pertengkarannya dengan Bloom di meja makan tatkala membahas Sigmund Freud, hingga ketika Molly dan pengacaranya (Idris Elba) berdebat mengenai upaya yang ditempuh untuk menghindari tuntutan pengadilan.

Sorkin pada dasarnya bisa menggali narasi yang lebih umum tentang kasus Molly seperti sepak terjang bisnis pokernya, jaringan selebriti dan pengusaha kelas kakap yang bermain dengannya, atau mungkin kehidupan percintaannya.

Akan tetapi, Sorkin menolak mengambil jalan itu. Ia memilih mengangkat narasi-narasi yang menegaskan bahwa di balik kehidupan glamor dan gelontoran dolar yang keluar-masuk meja kasirnya, Molly hanyalah seseorang yang kesepian dan punya relasi buruk dengan sang ayah.

Relasi buruk tersebut tak bisa dilepaskan dari didikan ayahnya yang terlampau keras. Molly dipaksa tunduk pada aturan-aturan yang dibuat Bloom. Ia tak punya kesempatan untuk meminta sesuatu yang benar-benar menjadi kebutuhannya.

Bagi Molly, jadi atlet dengan prestasi bagus adalah hal yang tak bisa ditawar sesuai kehendak ayahnya. Adegan saat Molly dipaksa berlatih meski ia dilanda kelelahan atau tatapan mata sang ayah yang menyiratkan kekecewaan kala Molly dioperasi, merupakan beberapa contoh betapa keras sikap ayahnya. Kekangan itu pun tidak memudar saat Molly beranjak dewasa.

Seiring waktu, kekangan itu membuat Molly berontak. Adegan pertengkaran di meja makan adalah sebagian kecil perwujudan sikap mbalelo Molly pada Bloom. Puncaknya terjadi kala Molly pindah ke LA untuk memulai hidup barunya meski ditentang sang ayah.

Ini yang justru membuat penonton berempati pada Molly. Bukan karena ia berbisnis ilegal, ditangkap FBI, dan dituduh punya koneksi dengan mafia Rusia. Tapi, karena ia punya keluarga yang tak sempurna yang terus memaksanya jadi sempurna.

Melawan Seksisme Hollywood

“Aku tidak merasa cemas. Sorkin adalah penulis pria kulit putih yang sangat sukses. Mari kita jujur: untuk debut seorang sutradara, ia bisa menceritakan kisah yang ia inginkan. Tapi, Sorkin memutuskan untuk menulis tentang perempuan ini dan perjuangannya melawan patriarki … Saya sangat terinspirasi olehnya karena ia mengakui bahwa telah berbuat salah, menyesalinya, serta bekerja untuk mengubah industri ini.”

Kalimat di atas muncul dari Jessica Chastain, pemeran utama Molly’s, sebagai jawaban atas pertanyaan yang disodorkan TIME mengenai bagaimana perasaannya bekerja dengan sutradara yang pernah dikritik gara-gara dianggap seksis serta mengerdilkan peran perempuan dalam jagat Hollywood.

Saat The Social Network rilis, tidak sedikit pihak yang menyayangkan penggambaran stereotip perempuan di film tersebut. Namun, Sorkin menolak dianggap menyudutkan perempuan. Ia berdalih hanya membuat cerita tentang pendirian Facebook.

src="//mmc.tirto.id/image/2018/02/22/mollys-game--mild--nadya_ratio-9x16.jpg" width="859" height="1527" alt="infografik mollys game" /

Lalu, serial buatannya, The Newsroom, juga tak luput dari sasaran tembak. Beberapa pihak mengatakan karakter perempuan pada serial yang bercerita tentang kegiatan di balik layar stasiun televisi rekaan bernama Atlantis Cable News (ACN) tersebut semata hanya digunakan pelengkap tokoh laki-laki.

Yang paling heboh tentu saja saat skandal bocornya email Sony pada 2014. Sorkin termasuk pihak yang isi emailnya dibocorkan ke publik. Waktu itu, ia mengirim pesan ke kolumnis The New York Times. Ia menulis bahwa pria yang memenangkan Oscar (Aktor Terbaik) memainkan peran yang lebih sulit daripada perempuan (Aktris Terbaik).

Berkali-kali dikritik, berkali-kali Sorkin membela diri. Namun, semua hanya diutarakan lewat kata-kata. Hingga akhirnya, ia menjalani debut penyutradaraannya lewat Molly’s. Menggandeng Chastain—dikenal getol menyuarakan kesetaraan dalam Hollywood—Sorkin ingin menjadikan Molly’s sebagai langkah awalnya mendukung perubahan di Hollywood yang selama ini dianggap kurang ramah kepada perempuan.

Apa yang terjadi dalam Molly’s adalah pesan kepada dunia luar. Pesannya: perempuan bisa berkuasa dan menentukan jalan hidupnya sendiri seperti yang dilakukan Molly dengan bisnis poker bawah tanahnya.

Lewat bisnisnya, Molly memegang kontrol penuh atas apa yang dilakukannya. Ia tak tunduk pada intervensi laki-laki yang dibuktikannya dengan menolak berhubungan seks bersama pemain poker. Molly, dengan bisnis ini, menjual keuletan, kegigihan, dan kerja keras. Baginya, semua tak diperoleh dengan cuma-cuma. Ada keringat dan pengorbanan yang harus dibayarkan.

Di lain sisi, Molly’s juga mengkritik penempatan perempuan di posisi tanpa daya tawar. Adegan di mana gaji Molly diputus sepihak oleh bosnya (Jeremy Strong) dengan alasan Molly sudah menerima banyak tip dan adegan ketika ia dihajar mafia Rusia karena menolak bekerjasama adalah gambaran pahit tentang kebiasaan-kebiasaan yang menuntut perempuan tunduk pada laki-laki.

Namun, sekali lagi Molly menolak menyerah. Kendati diragukan, dihajar, dan dikhianati, ia tetap bangkit. Ia merangkum semua itu dengan mengatakan:

“Saya dibesarkan untuk jadi juara. Tujuan saya menang. Menang pada apa dan melawan siapa, itu cuma detil cerita.”

Baca juga artikel terkait FILM HOLLYWOOD atau tulisan lainnya dari M Faisal

tirto.id - Film
Reporter: M Faisal
Penulis: M Faisal
Editor: Windu Jusuf