Menuju konten utama

Modus Penghancuran Rumah Bersejarah

Kasus pemusnahan 'rumah cantik' di Menteng telah melenyapkan pula sebagian sejarah kota Jakarta.

Modus Penghancuran Rumah Bersejarah
Rumah tua di kawasan Menteng diselimuti daun rambat. tirto.id/Andrey Gromico

tirto.id - Setiap bermain ke Taman Suropati, Taman Menteng, dan Situ Lembang, Muhammad Ikrom bersama kawan-kawannya selalu mampir ke 'rumah cantik'. Ini rumah bergaya kolonial di antara persimpangan Jl. Teuku Cik Ditiro No. 32 dan Jl. Ki Mangunsarkoro No 62. Pemiliknya, Ibu Sari Shudiono, 75 tahun, selalu menyediakan guci besar berisi air di atas pagar rumah tersebut. Pengunjung seperti Ikrom biasanya minum air itu lewat centong batok kelapa. "Segar minum air itu," kata dia.

Rumah cantik ini dikagumi banyak orang. Halaman depannya, dirimbuni rumput yang rapi, ditumbuhi tanaman-tanaman bunga aneka warna. Rumah ini pernah menjadi lokasi syuting untuk video klip band pop Jikustik. Namun, 'rumah cantik' sekarang tinggal kenangan. Musababnya faktor ekonomi.

Sari Shudino menjual rumah tersebut karena tak mampu membayar pajak bumi dan bangunan sebesar Rp16 juta per tahun. Walaupun sudah diberi potongan pajak, ia tetap merasa berat.

Kasus 'rumah cantik' milik Sari Shudino menggambarkan kompleksnya pemerintah setempat menangani rumah unik bernilai sejarah, yang akhirnya lepas ke tangan orang lain, lalu berubah bentuk atau fungsi sehingga pengawasan atas rumah itu sepenuhnya lenyap.

Jani Malau, Kepala Seksi Pembinaan dan Penghunian Dinas Perumahan DKI Jakarta, menceritakan bahwa setelah Belanda hengkang, pemerintah memberikan surat izin penghuni (SIP) bagi perseorangan di bekas rumah milik Belanda. Surat ini sebagai bukti legalitas warga Indonesia menguasai dan menempati rumah atau bangunan Belanda. Data Dinas pada 2014 menyebut ada 1.280 rumah dan bangunan peninggalan Belanda yang tersebar di wilayah Jakarta. Dari jumlah ini, hanya 200 orang yang memperpanjang per tiga tahun sekali.

Pada era Basuki Tjahaja Purnama, sempat ada komunikasi antara Pemprov DKI Jakarta dan Komisi Pemberantasan Korupsi mengenai aset bekas rumah Belanda. Saat itu KPK dan Ahok menilai pegawai negeri atau pejabat yang menguasai rumah Belanda dengan SIP hanya bisa memperpanjang atau memutasi kepada anaknya, bukan kepada orang berduit. Jani berkata memang ada celah SIP diperjualbelikan kepada pihak lain karena tidak ada aturan tetap siapa yang boleh menerimanya.

"Aturan tadi tidak mengunci mutasi itu ke siapa. Akhirnya sulit memantau ruang privat perorangan untuk melakukan suatu hubungan hukum. Mungkin yang punya rumah enggak sanggup biaya perawatan. Ketika ada yang menawarkan, ya diambil," kata dia.

Pelbagai cara dilakukan pemodal untuk bisa menguasai rumah bersertifikat SIP. Contohnya pemodal sudah melakukan hubungan hukum atau perjanjian jual beli dengan akta notaris tanpa sepengetahuan Dinas Perumahan DKI. Selanjutnya notaris mendatangi Dinas untuk perubahan nama SIP dari pemilik lama menjadi milik pemodal. Usai diverifikasi kedua belah pihak, Dinas baru mengeluarkan SIP atas nama pemilik baru.

Saat memiliki SIP, pemodal melakukan peningkatan hak penguasaan rumah. Dari SIP menjadi sertifikat hak milik (SHM) di Badan Pertanahan Nasional. Beres prosedur, si pemodal mengubah rumah itu sesuai keinginannya. Hal ini yang menyebabkan pembiaran, perubahan bangunan, hingga penghancuran.

Chandrian Attahiyat, Tim Ahli Cagar Budaya Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI Jakarta, mengatakan ada dua cara hancurnya rumah bekas Belanda: pertama, pembiaran bangunan tak terawat usai pembelian; kedua, penelantaran bangunan karena pemilik tak diketahui.

Menurut Chandrian, kasus terbanyak pembiaran rumah Belanda lazim pakai skenario memugar bangunan itu. Saat melakukan pemugaran, "sering kali mereka di luar jalur yang kami rekomendasikan. Bahkan ada perubahan rumah Belanda oleh pemilik baru tanpa sepengetahuan Tim sidang pemugaran Dinas Pariwisata Kebudayaan DKI Jakarta," kata dia.

"Skenario ini sering kita lihat di daerah Menteng. Rumah dengan arsitektur lama berubah menjadi rumah modern," kata sang arkeolog lulusan Universitas Indonesia dan pernah menjabat Kepala Balai Konservasi Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI dan Kepala Unit Pelaksana Teknis (UPT) Kota Tua tahun 2008.

Kata dia, tak semua rumah kolonial di Menteng berstatus cagar budaya, tetapi masuk dalam kawasan pemugaran sesuai Keputusan Gubernur Ali Sadikin tahun 1975. Artinya, rumah kolonial tak bisa sembarangan direnovasi maupun dihancurkan meski bangunannya belum terdaftar.

Infografik HL Indepth Cagar Budaya

Lemahnya Pengawasan

Kasus pada 'rumah cantik' bisa dipakai untuk menjelaskan lenyapnya seluruh arsitektur lama.

Semula Tim Ahli Cagar Budaya mempermasalahkan atap dan kusen jendela rumah tersebut dibongkar oleh pemilik baru. Meski Tim memanggil si pemilik untuk menjelaskan soal perombakan sebagian rumah tersebut, tetapi yang datang justru adalah arsitek rumah. Pertemuan ini, kata Chandrian Attahiyat, menghasilkan rekomendasi agar bentuk asli 'rumah cantik' tetap dipertahankan.

Toh, kenyataannya berbeda. "Sekarang seperti rumah berbenteng," katanya.

Tim memanggil beberapa kali si pemilik agar menerapkan rekomendasi, "tapi tetap saja tidak digubris," ujar Chandrian.

Chandrian berkata bahwa 'rumah cantik' termasuk dalam cagar budaya golongan C. Artinya, pemugaran rumah ini harus mempertimbangkan empat aspek, sebagaimana diatur dalam pasal 21 Perda 9/1999 tentang pelestarian dan pemanfaatan lingkungan bangunan cagar budaya.

Pertama, perubahan bangunan tetap mempertahankan pola tampak muka, arsitektur utama, dan bentuk atap. Kedua, detail ornamen dan bahan bangunan disesuaikan arsitektur di sekitarnya agar selaras dengan lingkungan. Ketiga, penambahan bangunan di persil hanya bisa dilakukan di belakang bangunan cagar budaya, dan harus sesuai arsitektur bangunan utama. Keempat, fungsi bangunan dapat diubah sesuai rencana kota.

Sayangnya, saat kepemilikan sudah dialihkan dan rumah tersebut diajukan untuk "pemugaran", yang terjadi adalah perubahan total.

JJ Rizal, sejarawan yang terlibat dalam kampanye menyelamatkan rumah Cimanggis warisan kolonial abad 18, menyebutkan meski regulasi tentang cagar budaya sudah disusun berlapis-lapis, "tetapi persoalannya regulasi itu hanya macan kertas."

"Enggak pernah ada tindakan hukum bagi perusak cagar budaya," Rizal berkata.

Padahal, jika merujuk Undang-Undang 11/2010 tentang cagar budaya, perusak cagar budaya bisa divonis minimal 1 tahun dan maksimal 15 tahun penjara atau denda antara Rp500 juta dan Rp5 miliar. Regulasi yang sama juga menyebut "orang yang tanpa izin mengalihkan kepemilikan cagar budaya" bisa dipidana antara 3 bulan dan 5 tahun penjara atau denda antara Rp400 juta dan Rp1,5 miliar.

Chandrian mengatakan kasus seperti 'rumah cantik' maupun rumah-rumah cagar budaya lain di kawasan Jakarta karena "pengawasannya tidak rutin dan personil yang minim di lapangan." Tim pengawas, meliputi orang-orang dari Dinas Cipta Karya, Tata Ruang, dan Pertanahan DKI, secara umum sebatas memperhatikan bangunan tetapi minim mengawasi bangunan cagar budaya.

Chandrian berharap ada supervisi soal pengawasan sehingga bangunan-bangunan kolonial tetap dirawat dan dilestarikan demi pondasi sejarah bagi generasi muda Indonesia.

Perusak 'rumah cantik' di Menteng telah melenyapkan sebagian sejarah kota di Jakarta. Juga memori warga biasa seperti Muhammad Ikrom yang kerap rehat di sana saat berjalan-jalan santai. Ikrom kesal sejarah personalnya hilang terhadap kota Jakarta.

"Bangunan dulu lebih teduh, halamannya luas. Pohonnya besar-besar. Enggak kayak sekarang," kata Ikrom.

Baca juga artikel terkait BANGUNAN CAGAR BUDAYA atau tulisan lainnya dari Reja Hidayat

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Reja Hidayat
Penulis: Reja Hidayat
Editor: Fahri Salam