Menuju konten utama
30 Januari 2001

Modernisme Islam Berasas Filsafat, Warisan H.M. Rasjidi untuk Umat

H.M. Rasjidi bermain di arena Islam politik dengan dasar ilmu pengetahuan & filsafat yang kokoh. Ia menentang sekularisasi.

Modernisme Islam Berasas Filsafat, Warisan H.M. Rasjidi untuk Umat
H.M. Rasjidi. tirto.id/Sabit

tirto.id - Mohammad Rasjidi mengembuskan napas terakhir di Rumah Sakit Islam Cempaka Putih Jakarta pada 30 Januari 2001, tepat hari ini 20 tahun lalu. Kecuali keluarga Rasjidi, tak ada satu pun di rumah sakit itu yang mengenalinya sebagai Menteri Agama RI kedua (menjabat 14 November 1945-2 Oktober 1946).

Pihak keluarga meminta bantuan salah satu staf Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), Hardi Arifin, untuk membantu pengurusan dan pemulangan jenazah. Arifin segera menghubungi Kementerian Agama yang lantas dengan sigap mengurus semua hal hingga almarhum dimakamkan di tanah kelahirannya, Kotagede, Yogyakarta. Arifin mengisahkan peristiwa ini kepada saya setelah kami mengunjungi istri dan putra Rasjidi di rumahnya, Jl. Bojonegoro, Menteng, Jakarta Pusat, pada Februari 2013.

Selain itu, ia juga mengisahkan kunjungan Abdurrahman Wahid ke sana, dua tahun sebelum Rasjidi meninggal. Gus Dur yang baru dilantik sebagai Presiden RI merasa perlu meminta nasihat dari sahabat ayahnya itu. Setelah berdiskusi beberapa jam, Gus Dur pamit dengan berpesan kepada Rasjidi, “Biarlah saya mengurus ‘Islam Kultural’, sedangkan Bapak mengurus ‘Islam Politik’, demi umat Islam yang lebih baik.”

Dua istilah bertanda petik itu, semenjak diperkenalkan Robert W. Hefner dalam Civil Islam: Muslims and Democratization in Indonesia (2000), sering membelah kehidupan sosial umat Islam Indonesia hingga sekarang. Namun, melampaui persoalan teoretis di atas, Rasjidi tetap mengamini harapan Gus Dur.

Moderasi yang Lurus

Jika Kementerian Agama sekarang sedang demam ‘moderasi beragama’, teladan tentangnya dalam pikiran dan tindakan sudah terdapat pada sosok Rasjidi. Pengalaman mencari ilmu dan mengajarkannya, yang berbarengan dengan kerja-kerja politik di luar negeri mewakili Indonesia, membentuk kesadaran diri yang berkomitmen kuat pada Islam dan bangsa.

Rasjidi adalah putra "abangan" kelahiran 1915 yang mondok di pesantren milik Muhammadiyah dan al-Irsyad, dua organisasi kaum modernis. Selepas dari sana, ia melanjutkan kuliah di bidang filsafat dan agama di Universitas Kairo, kemudian menyelesaikan disertasinya tentang Serat Centini di Universitas Sorbonne, Paris. Karier akademiknya berlanjut sebagai dosen Institute of Islamic Studies di Universitas McGill, Montreal; Fakultas Hukum Universitas Indonesia; dan Program Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Tulisan Soebagijo I.N. bertajuk “Dari Saridi ke Rasjidi” yang mengawali buku 70 Tahun Prof. Dr. H. M. Rasjidi suntingan Endang Basri Ananda (1985) adalah biografi intelektual terbaik tentang Rasjidi. Di sana, terdapat pula kisah pengalamannya menjadi Menteri Agama RI, berkeliling negara-negara di Timur Tengah untuk berdiplomasi, dan menjabat Duta Besar RI untuk Mesir, Arab Saudi, Iran, dan Afganistan. Sukarno mulai memperhitungkan kecemerlangan suami Siti Sa’adah ini dalam beberapa aktivismenya di Jakarta, bersama Partai Islam Indonesia di masa pendudukan Jepang dan Masyumi setelah kemerdekaan.

Pengalaman yang kaya membuat Rasjidi memahami Islam secara mendalam dan cakrawala yang luas. Dalam esainya, “Unity and Diversity in Islam”, yang menutup buku suntingan Kenneth W. Morgan Islam the Straight Path (1958), ia menunjukkan beberapa "persetujuan umum" di kalangan umat.

Ada tiga hal penting yang menjadi persetujuan itu, yakni kesamaan sumber ajaran, dasar keimanan, dan kewajiban-kewajiban bagi seorang muslim. Di luar itu, kita memang menyaksikan keragaman dalam konseptualisasi keyakinan dan mazhab-mazhab fikih. Yang perlu menjadi perhatian umat adalah menjadikan semua itu asas dalam menghadapi masalah yang berbeda-beda di setiap zaman. Dengan berfokus pada penyelesaian masalah, umat tidak akan disibukkan dengan perdebatan akibat perbedaan aliran, apalagi sampai memunculkan aliran baru.

Posisi ini membuat Rasjidi tak nyaman dengan kehadiran buku salah satu muridnya, Harun Nasution. Setelah membaca buku Harun, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya (1974), ia menemukan kemiripan dengan pendekatan orientalis yang terlalu menonjolkan sisi-sisi perbedaan di kalangan umat sejak dahulu. Konsekuensi dari hal ini adalah kesan bahwa umat Islam tidak pernah bersepakat dalam hal-hal utama, apalagi jika mereka mulai melibatkan kepentingan politik untuk meruncingkan perbedaan itu.

Rasjidi memang mengakui bahwa pandangan-pandangan keislaman tertentu muncul bukan karena Islam memungkinkan adanya keragaman, melainkan karena jumud. Obat dari kejumudan ini adalah pembaruan pemikiran Islam yang menurutnya harus "berdasarkan petunjuk-petunjuk ilmu pengetahuan mutakhir." Pandangan ini dapat kita temukan pada sosok modernis lain hampir di semua belahan dunia Islam yang berasumsi bahwa ilmu pengetahuan modern adalah netral dan sejalan dengan Islam. Mereka bersemangat memajukan umat dengannya.

Ini juga yang mungkin menjadi alasan Rasjidi menerjemahkan karya Maurice Bucaille, Bibel, Qur’an, dan Sains Modern (1976), untuk menunjukkan banyak bukti dalam penjelasan Al-Qur'an yang sesuai temuan sains modern. Tanpa proses metodologis yang rumit dan filsafat ilmu berasaskan epistemologi Islam, buku ini memang sangat laris di kalangan pembaca berlatar aktivis muslim modern. Buku Filsafat Agama (1975), yang disadurnya dari karya David Trueblood, juga hendak menunjukkan 'kebenaran agama' dengan cara-cara filosofis yang spekulatif, sehingga rentan berubah.

Meski demikian, modernisme Islam Rasjidi tak membuatnya memusuhi tradisi. Di antara para modernis, ia adalah sebagian kecil yang masih mengakses dan mengapresiasi fikih, kalam, dan tasawuf klasik. Sebagai contoh, ketika beberapa modernis menyebut al-Ghazali sebagai sumber kemunduran umat, ia tanpa ragu menyebut sang Hujjatul Islam ini "telah dan sedang memberikan sumbangan yang berharga pada kehidupan umat Islam di seluruh dunia."

Dengan tetap berusaha sebisa mungkin berpijak pada tradisi, Rasjidi tetap dapat menimbang batas-batas yang seharusnya dikenali secara pasti oleh mereka yang menghendaki pembaruan. Moderasinya adalah moderasi yang tegas pada jalan lurus, bukan kompromi basa-basi untuk menyenangkan semua orang. Itulah mengapa karya-karya ilmiahnya sering muncul dalam bentuk kritik, tetapi tanpa mengumbar kebencian apalagi menggerakkan penyerangan. Ia masih menjalin hubungan yang hangat dengan orang-orang yang dikritiknya.

Menentang Sekularisasi Cak Nur

Selain kritik terhadap karya Harun yang terekam dalam Koreksi terhadap Harun Nasution tentang Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya (1977), Rasjidi juga mengritik sosok jenius lain, Nurcholish Madjid. Pidato Nurcholish yang terkenal, “Keharusan Pembaharuan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat”, yang dibacakan di Menteng pada Januari 1970, mendapat kritik begitu tajam dari Rasjidi. Ia menilai Cak Nur, yang waktu itu menjabat sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam, mengartikan sekularisasi secara "semau gue" lantaran tak mendasarkan pendapatnya pada pandangan filosofis tertentu.

Dalam “Ke Cak Nur Saya ‘Mengaji’” di buku All You Need is Love! Cak Nur di Mata Anak Muda suntingan Ihsan Ali Fauzi dan Ade Armando (2012), Burhanuddin Muhtadi dengan percaya diri menyebut bahwa Rasjidi kecele karena kritiknya itu. Sayangnya, Cak Nur sendiri sudah mengakui kritik Rasjidi terhadapnya. Dalam artikel “Sekitar Usaha Membangkitkan Etos Intelektualisme Islam di Indonesia”, Cak Nur mengakui bahwa pandangannya tentang sekularisasi keliru.

Menurut Cak Nur, “terdapat perbedaan cukup prinsipal antara pengertian ‘sekularisasi’ secara sosiologis dan secara filosofis. Dan karena sedemikian kontroversialnya istilah ‘sekular’, ‘sekularisasi’ dan ‘sekularisme’ itu, maka adalah bijaksana untuk tidak menggunakan istilah-istilah tersebut.” Pengakuan ini, yang juga menjadi bagian dari buku 70 Tahun Prof. Dr. H. M. Rasjidi, adalah ungkapan rendah hati yang tulus, terlepas dari pendirian Cak Nur yang masih tak selalu sejalan dengan Rasjidi.

Infografik Mozaik HM Rasjidi

Infografik Mozaik H.M. Rasjidi. tirto.id/Sabit

Moderasi Rasjidi mengemuka pula dalam pandangannya yang menolak sekularisasi dalam wacana nasionalisme. Seperti tokoh Masyumi lain, ia memanfaatkan peluang menerapkan syariat Islam di Indonesia secara konstitusional, bukan dalam forum-forum kenegaraan seperti Konstituante (karena ia tak menjadi politisi) melainkan dunia kampus. Semenjak menjadi guru besar islamologi di FH UI, ia selalu mewacanakan keunggulan syariat Islam dibanding pemikiran hukum yang berkembang di Barat.

Kala kesempatan menerapkan syariat Islam itu surut dibedil Orde Baru, Rasjidi dan teman-teman seperjuangannya tetap setia kepada Republik dan mendirikan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia. Seperti ungkapan terkenal Mohammad Natsir saat pendirian lembaga ini, jika dulu mereka berdakwah lewat politik, kini mereka akan berpolitik lewat dakwah.

Salah satu peluang buruk Orba yang sudah dibaca Rasjidi adalah soal ideologisasi Pancasila. Ketika berbincang dengan filsuf Amerika, Sidney Hook, ia berpendapat bahwa Pancasila sangat mungkin menjadi ideologi tertutup di tangan Orba yang berkuku besi.

Sebagai seorang demokrat, Rasjidi merasa kebebasan warga akan terbelenggu oleh pemerintah yang mendefinisikan Pancasila secara sepihak. Mereka bisa saja memberi predikat ‘Pancasila’ pada segala sesuatu, seperti ‘etika Pancasila’ atau ‘demokrasi Pancasila’, meski cuma berisi ajaran normatif yang sudah hidup di tengah masyarakat sebelum perumusan Pancasila. Catatan tentang diskusi ini, yang melibatkan beberapa intelektual muda dan ilmuwan sosial-humaniora Indonesia termasuk Rasjidi, terdapat dalam Percakapan dengan Sidney Hook tentang 4 Masalah Filsafat suntingan Harsja W. Bachtiar (1974).

Tak lama setelah percakapan di atas, apa yang Rasjidi khawatirkan terjadi. Melalui Sidang Umum MPR 1978, Orba membahas Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang salah satu isinya adalah penerapan asas tunggal Pancasila. Sokongan intelektual atas kebijakan ini datang dari intelektual CSIS, A.M.W. Pranarka. Dalam wawancaranya dengan harian Suara Karya, 14 April 1978, ia menjangkarkan gagasan nasionalisme Indonesia (dan Pancasila di dalamnya) pada pemikiran filsuf idealis Jerman, Hegel.

Menurut Hegel, nasionalisme adalah ‘roh absolut’ yang muncul dari kesadaran dialektis suatu masyarakat, sehingga keberadaannya tak terhindarkan dan segala penghambatnya harus dilawan. Rasjidi dengan dingin menulis Strategi Kebudayaan dan Pembaharuan Pendidikan Nasional (1980) untuk menanggapi itu. Ia menguraikan pemikiran Hegel, menguak motif Pranarka yang hendak menyokong Orba, serta kekeliruan tafsir Hegelian dalam menjelaskan kemunculan nasionalisme di Indonesia. Ia sampai pada simpulan bahwa nasionalisme di Indonesia muncul dari kesadaran keberislaman dan perjuangan melawan penjajah, sehingga tidak boleh dimaknai secara sekular dan tidak bisa diidentikkan dengan pemerintah yang berkuasa.

Serba-antara

Riwayat Rasjidi dengan tepat dirangkum Azyumardi Azra dengan artikel jurnalnya di tahun 2004, "Menjaga Iman Umat". Ia berada di situasi serba-antara: antara tradisi dan modernitas, antara stagnasi dan pembaruan, antara filsafat dan agama, antara syariat dan nasionalisme. Situasi itu mampu diatasinya ketika berhadapan dengan persoalan-persoalan konkret seperti telah disinggung di atas, sehingga menyisakan pelajaran berharga bagi kita sekarang.

Tanpa kepekaan memahami situasi serba-antara itu, kita sering terjebak pada persoalan klise yang sama hari-hari ini. Perdebatan tentang sains dan agama beberapa bulan lalu atau tentang hubungan Islam dan nasionalisme yang gaduhnya minta ampun dan seperti tak berkesudahan menjadi bukti kecil bagaimana kondisi klise mengantarkan pada ketegangan tak perlu. Xenophobia atas nama penjagaan pada kemurnian agama, yang mengantarkan pada sikap anti-Barat, juga bisa dijadikan contoh lain.

Bagi umat Islam, cara terbaik melampaui situasi itu sambil tetap melestarikan warisannya adalah dengan melakukan banyak usaha intelektual, terutama dengan mengacu pada tradisi metafisika Islam. Salah satu muridnya di Universitas McGill berhasil melakukan itu dengan baik, yakni Syed Muhammad Naquib al-Attas.

==========

Ismail Al-'Alam adalah alumnus Program Studi Falsafah dan Agama, Universitas Paramadina. Saat ini menjadi Manajer Program Yayasan Bentala Tamaddun Nusantara dan Rumah Pengetahuan Amartya. Ia bermukim serta melanjutkan pendidikan di Yogyakarta.

Baca juga artikel terkait ISLAM MODERNIS atau tulisan lainnya dari Ismail Al-‘Alam

tirto.id - Humaniora
Penulis: Ismail Al-‘Alam
Editor: Ivan Aulia Ahsan