Menuju konten utama

Model Evaluasi Daerah yang Telah Usang di Era Disrupsi

Sistem evaluasi yang tidak mampu memahami perubahan kondisi dan risiko di era disrupsi selalu akan usang dan berjalan tanpa makna.

Model Evaluasi Daerah yang Telah Usang di Era Disrupsi
Ilustrasi Safya Auliya Achidisti

tirto.id - Setiap tahun, pemerintah pusat punya tradisi mengadakan perangkingan kinerja daerah. Biasanya Kemendagri menetapkan peringkat Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (EPPD) yang diperoleh melalui pengumpulan laporan setiap pemerintah daerah.

Melalui skema perangkingan dan pemberian penghargaan, pemerintah pusat berharap akan muncul motivasi daerah untuk tampil sebaik-baiknya. Masuk semester kedua tahun berjalan, pegawai-pegawai di kantor pemerintah daerah mendadak sibuk mengumpulkan laporan-laporan kinerja, mengejar penyelenggaraan acara yang sudah direncanakan di awal tahun, dan mempercepat capaian-capaian belanja pemerintahnya. Semua dilakukan demi ranking yang tampak baik dalam penilaian oleh pemerintah pusat.

Terhitung lebih dua dekade sejak Reformasi 1998, tuntutan desentralisasi telah menghasilkan pondasi yang menempatkan daerah sebagai entitas otonomi yang kokoh. Dalam besarnya kewenangan daerah, evaluasi diamanatkan perundangan melalui UU No. 23/2014 sebagai landasan, dan diatur lebih lanjut pada PP No. 13/2019. Daerah wajib menyampaikan kinerja satu tahun anggaran kepada Pusat, DPRD, dan masyarakat.

Masalahnya, platform evaluasi selalu lemah: belum bisa menjadi instrumen kontrol kualitas (quality control) kinerja karena gagap melihat perkembangan jaman. Sistem evaluasi kinerja pemerintahan daerah hingga kini belum menemukan nilai strategisnya, selain hanya laporan tebal berisi angka dan narasinya. Niat memotivasi daerah untuk tampil sebaik-baiknya, praktis hanya menjadi “rapor” (perangkingan) dan penghargaan dari pusat.

Evaluasi Usang

Pada tahun 1995, Clayton M. Christensen mempopulerkan istilah “era disrupsi”, dalam artikel berjudul “Disruptive Technologies: Catching the Wave” dan bukunya The Innovator’s Dilemma (1997). Konteks disrupsi adalah mengenai perubahan atas kondisi (demand, supply, dan marketing methods-nya). Konsekuensinya, tanpa kemauan dan kapasitas adaptasi yang tepat di masa kini, siapapun akan tergerus relevansinya.

Perubahan di seluruh sendi kehidupan tak ubahnya terjadi pada konteks daerah. Daerah adalah ekosistem yang terdiri dari masyarakat, pasar, dan pemerintahan itu sendiri. Ada kebutuhan publik (demand), yang selalu diikuti tawaran pasar atas pemenuhan kebutuhan (supply). Dalam laju perkembangan yang sangat dinamis ini, di mana peran pemerintah?

Sebagaimana diatur konstitusi (UUD 1945) dan perundangan (UU No. 23/2014), pemerintah daerah harus menjalankan agenda-agenda penyejahteraan. Artinya, pemerintah daerah mesti beradaptasi dengan ukuran dan metode pencapaian kesejahteraan yang selalu berkembang.

Civil society dan private sector kini sangat leluasa tampil sebagai penyedia kebutuhan publik. Perkembangan teknologi membuat segala aktivitas bisa dilakukan dengan efektif dan efisien. Contohnya, kebutuhan mobilitas penduduk yang dipenuhi dengan layanan transportasi berbasis teknologi, atau pendidikan keterampilan yang bisa mudah didapat dari berbagai platform digital. Tugas-tugas yang awalnya mengandalkan negara pun (seperti pelestarian budaya, alam, dan kelompok marginal), kini sudah menjadi “lifestyle” masyarakat dengan swadaya serta kekuatan crowdfunding.

Dengan perubahan ini, pemerintah daerah harus menemukan titik krusial mengevaluasi kinerjanya. Menjadi tidak relevan ketika evaluasi dilakukan hanya atas dasar indikator kinerja berupa laporan realisasi belanja (pembelian barang/jasa) atau penyelenggaraan acara (diklat, seminar, dan baksos). Sementara, narasi panjang disajikan dengan cantik dalam menjelaskan kondisi normatifnya. Seperti potensi daerah, ketersediaan PNS setiap sektor, capaian indeks sektoral, bahkan perubahan perilaku publik yang sebenarnya bukan hasil kerja pemerintah.

Metode penilaian mandiri (self-assessment) evaluasi tidak merangkum ukuran kinerja dalam jangkauan pertanggungjawabannya. Sebagai contoh, kita akan sulit menemukan hubungan antara penyelenggaraan seminar dengan meningkatnya keaktifan pemuda sampai peningkatan omset usaha. Hal-hal tersebut nyatanya lebih ditentukan faktor eksternal, yaitu perkembangan informasi dan tatanan baru ekonomi kreatif.

Sistem evaluasi yang tidak mampu memahami perubahan kondisi dan risiko di era disrupsi selalu akan usang dan berjalan tanpa makna.

Evaluasi Ranah Kerja

Model evaluasi kinerja hingga kini masih parsial. Pemerintah Pusat belum menerapkan target dan standar kinerja meski telah diberi kewenangan menyelenggarakan evaluasi. Perangkingan dibuat bukan dalam rangka menemukan contoh keberhasilan (best-practice), melainkan hanya pengurutan skor.

Problem mendasar ini bisa jadi karena tidak adanya paradigma pembangunan dalam logika evaluasi. Padahal, peran pembangunan adalah faktor pembedanya dengan civil society dan privat sector. Di era disrupsi ini, tugas pemerintah “tinggal” bagaimana memastikan semua pihak terlindungi kepentingannya, memberikan ruang-ruang kesempatan berusaha yang sehat, dan penjaminan pelayanan publik.

Lantas, apa yang bisa dijadikan tawaran penyempurnaan evaluasi di era disrupsi? Fokus kinerja yang dievaluasi harus mampu memotret empat area dalam ranah kerja pemerintah daerah.

Pertama, kualitas kebijakan, yaitu apakah daerah telah memproduksi dan mengawal kebijakan yang dibutuhkan masyarakat. Kedua, kualitas tata kelola pemerintahan, yaitu apakah daerah mampu menata birokrasi secara efisien dan efektif sehingga bisa merespon perkembangan.

Ketiga, kualitas dan aksesibilitas pelayanan, yaitu sejauh mana daerah mampu menyediakan pelayanan publik sesuai kebutuhan dan memastikan seluruh masyarakat bisa mengakses dalam prinsip adil dan merata. Keempat, kapasitas pembangunan, yaitu seberapa jauh Daerah mampu mengelola dan memaksimalkan potensi daerah yang ada untuk menyejahterakan rakyatnya.

Evaluasi di area terfokus ini akan menjadi kontrol kinerja yang efektif dalam kebutuhan era disrupsi dengan mengukur sisi keluaran (output) masing-masingnya. Fokus pertama dan keduanya, adalah pengukuran kinerja berbasis kerja di dalam (inward) pemerintahan. Sedangkan ketiga dan keempat, adalah pengukuran yang berbasis kerja keluar (outward).

UU No.23/2014 menyebut bahwa kepala daerah wajib menjalankan urusan dalam kewenangan daerah, tata pemerintahan yang baik, dan melaksanakan program strategis nasional (Pasal 67). Artinya, penerapan keempat fokus yang ditawarkan itupun bisa menguatkan evaluasi atas kewajiban yang diatur perundangan.

Ke depan, hasil evaluasi yang lebih baik akan mengembangkan nilai strategis lain, yaitu terbukanya peluang investasi dan geliat usaha di daerah. Evaluasi yang clean and clear pada empat fokus itu akan membantu meyakinkan minat usaha dan investasi dalam menentukan langkahnya. Harapan peningkatan daya saing yang sering disebut-sebut selama ini pun akan menemukan titik terang, karena pusat bisa dengan lebih mudah mengidentifikasi masalah dan memutuskan dukungan yang tepat bagi daerah.

*) Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.