Menuju konten utama

Mobil Kalong Pasar Minggu-Depok, Ilegal tapi Dibutuhkan

Mari berkenalan dengan mobil kalong, yang setia mengantar para pekerja Pasar Minggu-Depok sejak malam hingga dini hari.

Mobil Kalong Pasar Minggu-Depok, Ilegal tapi Dibutuhkan
Salah satu 'Mobil Kalong' yang mangkal di persimpangan lampu lalu lintas di depan stasiun Pasar Minggu Baru, Jakarta Selatan. Foto/Istimewa

tirto.id - Waktu menunjukkan pukul satu dini hari, enam penumpang telah duduk di bak belakang. Dua lelaki tua dengan kaus dan celana gantung, satu ibu-ibu yang membawa bungkusan termos dan botol minum, tiga lagi pria muda termasuk saya.

Para penumpang terlihat letih. Mata mereka sayu, lampu temaram membuat kantuk kian menjadi, beberapa bahkan sudah tertidur dan menyender di tiang tenda yang sengaja dipasang di bak belakang mobil. Sebagian lain berusaha menahan kantuk dengan bermain gim di gawai atau berselancar di media sosial, seperti yang dilakukan Wahyu.

Pria 24 tahun ini sehari-hari bekerja sebagai office boy di Senayan City. Ia tinggal di Lenteng Agung. Wahyu biasanya pulang sekitar pukul 11 malam, dan sampai di Pasar Minggu satu jam setelahnya.

Tak banyak pilihan transportasi bagi orang-orang seperti Wahyu. Memang ada taksi dan angkutan daring, tapi biayanya cukup mahal menurut ukuran isi kantongnya. KRL pun sudah tak beroperasi. "Untungnya ada angkutan kayak gini," kata Wahyu kepada saya.

Sunarya juga menyampaikan hal serupa. Kontraktor di Depok yang tinggal di Jagakarsa ini bersyukur masih ada angkutan yang pas dengan kantongnya. Cuma butuh Rp6.000 untuk sampai tujuan.

Mobil yang saya tumpangi malam itu bentuknya sederhana. Sebuah pikap hitam yang baknya telah dimodifikasi sedemikian rupa agar bisa mengangkut penumpang.

Ada dua kursi panjang di kanan dan kiri bak, masing-masing bisa muat hingga enam orang. Pintu penutup belakang dilepas, memudahkan penumpang naik dan turun.

Untuk melindungi dari hujan, bak diberi atap yang terbuat dari rangkaian besi dan kain tenda dengan jenis poliester yang anti-air. Hanya ada satu penerangan di bak belakang, sebuah bohlam senter di langit-langit atap. Warnanya redup.

Antara sopir dan penumpang terpisah kepala pikap. Agar memudahkan komunikasi jika penumpang hendak turun, pikap dilengkapi tombol pada salah satu besi di dekat kursi penumpang. Jika tombol ditekan, akan muncul bunyi yang pasti terdengar sopir.

Sensasi duduk di kursi penumpang sama saja seperti naik angkot pada umumnya, bergoyang dan berisik jika mobil melewati jalan yang tak rata. Namun duduk di bak apalagi di paling ujung dekat tempat masuk bikin khawatir, lantaran tidak ada penutup bak. Ketika jalan menanjak atau tak rata, penumpang harus mencari pegangan. Saya musti berpegang pada pembatas tempat duduk yang berada di ujung. Fungsinya memang untuk menahan agar tidak jatuh.

Begitulah penampakan mobil kalong. Kenapa dinamakan kalong? Karena ia mulai beraktivitas sejak malam hingga subuh. Mobil jenis ini berjejer di persimpangan Jalan Raya Pasar Minggu dan Jalan Raya Ragunan, tepatnya di tempat putar balik arah ke Depok.

Mobil kalong akan bergerak dari Jalan Pasar Minggu menuju Tanjung Barat Raya, kemudian melewati Jalan Raya Lenteng Agung dan Margonda Raya. Sesampainya di persimpangan Jalan Arif Rahman Hakim, mobil akan berputar arah untuk kembali ke Pasar Minggu.

Mobil kalong mulai beroperasi ketika angkutan kota pelat kuning sudah tidak ada. Angkot 04 tujuan Depok biasanya sudah balik kanan sebelum pukul 11 malam. Kereta rel listrik juga berhenti beroperasi pukul 01.00. Pilihan satu-satunya yang relatif murah, ya cuma mobil kalong ini.

Selasa (30/10/2018) lalu, Hamami tiba di tempat ngetem pukul 22.50. Pria 61 tahun ini adalah salah satu sopir kalong. Ia memarkirkan mobilnya, turun, lalu duduk di pembatas jalan. Wajahnya mengantuk, sesekali melihat ke sana-sini.

Tak lama setelah duduk, Hamami memesan kopi dari penjual minuman.

"Kalau ngantuk sih enggak terlalu, karena emang sudah kebiasaan begadang. Kalau saya siangnya tidur," cerita Hamami kepada saya.

Hamami dan sopir lain biasa bekerja sejak 23.00 hingga 05.00. Dalam semalam ia bisa bolak-balik Pasar Minggu–Depok tiga trip, sekitar enam kali jalan.

Antara pukul 23.00 hingga 00.00 adalah waktu paling sepi. Waktu yang paling ramai itu setelah pukul 02.00.

Sistem angkut penumpang dilakukan bergiliran. Sopir yang datang pertama akan membawa trip pertama, sopir yang datang kedua dapat giliran selanjutnya, begitu seterusnya. Jika sopir pertama kembali, ia menunggu dari urutan paling buncit.

Sopir tak bekerja sendiri. Untuk menarik penumpang mereka dibantu orang lain. Ada banyak penyebutannya, temer, tamer, atau timer. Tugasnya mencari penumpang dengan cara meneriakkan lokasi tujuan atau bertanya kepada orang yang mendekat. Jika ada yang hendak naik, akan diarahkan ke mobil sesuai urutan tadi. Temer ini lazim dijumpai di tiap tempat angkot ngetem.

"Kami enggak nunggu sampai penuh, biasanya kalau ada dua atau tiga orang yang naik juga berangkat. Selebihnya nanti cari yang mau naik di jalan," kata Hamami.

Jumlah mobil kalong tujuan Pasar Minggu–Depok yang beraktivitas bisa dihitung jari. Sopirnya pun rata-rata sudah menggeluti profesi ini sejak lama. Hamami bahkan sudah menjadi sopir kalong sejak tahun 1975. Pada awal dia narik, mobilnya dirombak sedemikian rupa sehingga tampak seperti sekarang. Total pengeluarannya saat itu Rp600 ribu.

Sampai kini ia masih rutin narik, di usianya yang kian tua penyakit mulai. Batu ginjal, kata dokter suatu hari.

"Mungkin karena saya kurang minum atau istirahat," kata Hamami.

Empat anaknya perempuan semua, tiga sudah berumah tangga, satu lagi masih kuliah. Anaknya sering mengingatkan untuk istirahat saja di rumah, tak perlu kerja lagi. "Tapi ya bagaimana lagi, saya juga masih punya kebutuhan. Pengin ini itu,” cerita Hamami.

Pendapatannya dalam semalam tak menentu. Kadang cukup untuk memenuhi kebutuhan, kadang juga tidak.

Mobil berpelat hitam sebetulnya dilarang jadi angkutan umum. Yang diizinkan adalah mobil berpelat kuning. Namun, menurut Hamami ia tak pernah kena tilang, mungkin karena jam kerjanya memang ketika para polisi sudah beristirahat. Atau mungkin ada alasan lain. Yang jelas ia membawa mobil sebaik-baiknya. Kecepatan selalu dijaga di angka 60 kilometer per jam.

Terlepas dari legal atau tidak, bagaimana pun Hamami dan sopir mobil kalong lain hanya memanfaatkan apa yang tak disediakan pemerintah.

Baca juga artikel terkait TRANSPORTASI UMUM atau tulisan lainnya dari Rizky Ramadhan

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Rizky Ramadhan
Penulis: Rizky Ramadhan
Editor: Rio Apinino