Menuju konten utama

MK Putuskan Pengadilan Pajak dari Kemenkeu Dialihkan ke MA

Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan bahwa Pengadilan Pajak yang sebelumnya di Kemenkeu, menjadi wewenang penuh Mahkamah Agung.

MK Putuskan Pengadilan Pajak dari Kemenkeu Dialihkan ke MA
Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman memimpin sidang uji materi di Gedung MK, Jakarta, Selasa (7/2/2023).ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/hp.

tirto.id - Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan bahwa Pengadilan Pajak menjadi wewenang penuh Mahkamah Agung. Hal tersebut efektif berlaku paling lambat 31 Desember 2026.

Hal itu berlaku setelah Mahkamah membacakan putusan perkara Nomor 26/PUU-XXI/2023 yang dibacakan Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman saat membacakan putusan di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis (25/5/2023) dan ditayangkan di Youtube MKRI.

"Menyatakan sepanjang frasa “Departemen Keuangan” dalam Pasal 5 ayat (2) UU Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat," ujar Anwar, Kamis (25/5/2023).

"Sehingga Pasal 5 ayat (2) UU 14/2002 selengkapnya berbunyi, “Pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan bagi Pengadilan Pajak dilakukan oleh Mahkamah Agung yang secara bertahap dilaksanakan selambat-lambatnya tanggal 31 Desember 2026," tambahnya.

Dalam pertimbangannya, hakim konstitusi menilai bahwa ada dualisme dalam pengelolaan Pengadilan Pajak sesuai Pasal 5 ayat (2) UU 14/2002 tentang Pengadilan Pajak. Sebagai catatan, pasal 5 menyatakan bahwa pembinaan teknis peradilan Pengadilan Pajak adalah wewenang Mahkamah Agung.

Sementara itu, pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan bagi Pengadilan Pajak dilakukan oleh Departemen Keuangan sesuai pasal 5 ayat 2.

Pemohon, yakni advokat Nurhidayat dkk mempersoalkan frasa Departemen Keuangan di pasal 5 ayat 2 Undang-Undang 14 tahun 2002 yang tidak dimaknai sebagai Mahkamah Agung telah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 pasal 1 ayat 3, pasal 24 ayat 1 dan 2 serta pasal 28D ayat 1 Undang-Undang Dasar sehingga memicu ketidakadilan.

Meskipun pasal 3 menyatakan bahwa 'dualisme' pengelolaan pengadilan pajak menuntut hakim harus tetap bebas dalam memutus sengketa pajak, Mahkamah mengacu pada putusan MK dengan nomor 6/PUU-XIV/2016 yang menyatakan bahwa Pengadilan Pajak sebagai bagian dari lingkungan peradilan tata usaha negara.

Selain itu, putusan MK tersebut juga mendorong agar Pengadilan Pajak memiliki sistem peradilan mandiri atau One Roof System atau peradilan satu atap. Sistem ini memberi ruang bahwa pembinaan teknis yudisial maupun organisasi, administrasi dan finansial menjadi wewenang penuh Mahkamah Agung.

Mahkamah juga memutuskan memasang tenggat waktu karena perlu waktu untuk menyatukan kewenangan Pengadilan Pajak yang sebelumnya ada di dua sektor, yakni Kementerian Keuangan dan Mahkamah Agung.

Hakim konstitusi juga mendorong agar semua pemangku kepentingan menyiapkan segala kebutuhan hukum, termasuk hukum acara dalam peningkatan profesionalitas sumber daya manusia pengadilan pajak dan pengintegrasian wewenang Pengadilan Pajak di bawah Mahkamah Agung.

"Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum di atas, telah ternyata ketentuan norma Pasal 5 ayat (2) UU 14/2002 menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan sebagaimana yang didalilkan para Pemohon, namun oleh karena pemaknaan yang dimohonkan oleh para Pemohon dalam petitumnya berbeda dengan pemaknaan yang dilakukan oleh Mahkamah sebagaimana tertuang dalam amar putusan perkara a quo. Oleh karena itu, dalil permohonan para Pemohon adalah beralasan menurut hukum untuk sebagian," ujar Mahkamah dalam pertimbangan yang dibacakan.

Baca juga artikel terkait PENGADILAN PAJAK atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Hukum
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Maya Saputri