Menuju konten utama

Mitos: Semua Korban Perkosaan Tidak Pernah Orgasme

Telah jamak di masyarakat anggapan bahwa perempuan yang mengalami orgasme saat dipaksa melakukan hubungan seks berarti tidak terlibat dalam perkosaan.

Mitos: Semua Korban Perkosaan Tidak Pernah Orgasme
Ilustrasi orgasme. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Wacana tentang perkosaan kerap kali menempatkan perempuan di posisi pelik. Sekalipun dalam mayoritas kasus perkosaan perempuan menjadi korban, mereka malah sering kali mesti bergelut dengan berbagai kendala yang mempersulit proses advokasi diri.

Stigmatisasi masyarakat tentang cara berperilaku serta berpenampilan perempuan, plus pelumrahan perkawinan korban dengan pelaku untuk menghindari cemooh dan menutupi momok menjadi ganjalan bagi para korban untuk menegakkan keadilan bagi mereka. Belum lagi kendala material yang dibebankan kepada para korban perkosaan seperti biaya visum, padahal tidak semua korban berkemampuan finansial mumpuni.

Perkosaan yang telah lama terjadi dan berada dalam konteks ikatan perkawinan pun membuat para korban sulit menghadirkan bukti, sementara trauma psikologis terus menghantui dan mesti ditanggung sendiri oleh mereka. Kendala-kendala ini membuat banyak kasus perkosaan yang tidak tercantum dalam laporan lembaga-lembaga advokasi perempuan atau dibawa ke meja hijau.

Hal lain yang lazim diamini mayoritas masyarakat dan merupakan kesalahkaprahan adalah bahwa perempuan yang diperkosa dan mengalami orgasme berarti menikmati hubungan seks paksa tersebut. Sangat sedikit laporan atau studi yang menguak fakta bahwa ada perempuan-perempuan korban perkosaan yang mengalami orgasme.

Pertama, dari sisi korban, umumnya mereka malu mengakui hal tersebut lantaran kuatnya anggapan salah kaprah masyarakat. Alih-alih menyalahkan pelaku yang jelas melanggar batasan pribadinya, para korban justru menyalahkan diri sendiri karena orgasme yang dirasakannya saat peristiwa traumatis tersebut terjadi.

Kedua, tidak hanya masyarakat awam saja yang melanggengkan anggapan semacam ini, di kalangan pakar pun, terdapat pihak-pihak yang menyatakan orgasme tidak mungkin terjadi pada korban perkosaan. Andrew Pari, psikoterapis yang telah dua dekade membantu penyembuhan mental korban-korban perkosaan, menyampaikan dalam situs National Association of Social Workers California pandangan salah seorang terapis seks bersertifikasi.

“Saya pikir, perempuan yang mengalami perkosaan tidak mungkin mendapatkan orgasme. Orgasme membutuhkan penyerahan diri dan perasaan aman. Orgasme bukan seperti menekan tombol. Bagi perempuan, mencapai orgasme membutuhkan serangkaian kondisi kompleks, bukan hanya respons fisik. Satu pikiran negatif saja bisa membatalkan siklus respons [dalam berhubungan seks],” demikian pandangan terapis itu.

Pada kesempatan lain, Pari mendapatkan surat berbasis pengalaman dan bernada keluhan dari salah seorang perempuan yang sedang menjalani pelatihan sebagai fasilitator lembaga yang menangani kasus perkosaan. Dalam surat itu dinyatakan, fasilitator seniornya yang merupakan terapis juga berkata tidak pernah mendengar laporan korban perkosaan mengalami orgasme.

Lebih jauh lagi, fasilitator senior itu berpendapat bila seorang korban mencapai orgasme artinya mereka tidak diperkosa. Si penulis surat merasa tidak sepakat dengan pandangan tersebut dan merasa seniornya malah menyebarkan mitos yang membuat sebagian korban yang menghubungkan diri dengan wacana perkosaan dan orgasme semakin tidak nyaman.

Menanggapi pandangan-pandangan dominan yang tak melulu benar semacam ini, Pari berargumen bahwa ada temuan-temuan di mana korban merasakan orgasme saat diperkosa. Perasaan terangsang dan orgasme merupakan proses normal dan adaptif yang terjadi pada tubuh manusia saat berhadapan dengan kondisi intimidatif. Menyadari bahwa hal ini adalah proses alamiah yang mungkin terjadi, Pari menolak anggapan bahwa korban yang diperkosa dan mencapai orgasme menikmati hal tersebut.

Argumen Pari ini diperteguh dengan satu dari sedikit sekali kajian ilmiah yang dilakukan oleh Levin dan Berlo (2004) tentang orgasme pada kasus perkosaan. Dalam tulisan yang dimuat di Journal of Clinical Forensic Medicine 11, mereka memaparkan serangkaian argumen mengapa perempuan diperkosa dapat mencapai orgasme.

Sebelum masuk ke pembahasan utama, Levin dan Berlo menjelaskan tentang orgasme: titik puncak dalam aktivitas seksual yang dipicu oleh rangsangan yang menyebabkan manifestasi fisik (perubahan fisiologis) dan mental yang bersifat subjektif.

Perubahan fisiologis pada perempuan saat terangsang yang umum ditemukan adalah peningkatan tekanan darah, kecepatan bernapas, aliran darah yang menyebabkan puting mengeras, dan munculnya lubrikasi atau cairan pada vagina. Sementara ketika mencapai orgasme, lazimnya perempuan mengalami kontraksi otot panggul yang konstan selama beberapa saat.

Kondisi orgasme perempuan lebih sulit diukur dibanding laki-laki yang mayoritas hampir berbarengan dengan ejakulasi. Ada perempuan yang mencapai orgasme begitu intens sampai bisa tidak sadarkan diri sesaat, ada pula yang menangkap perubahan dalam dirinya saat terjadi orgasme.

Kepekaan seseorang sampai bisa mencapai orgasme pun beragam, ada yang dengan sedikit rangsangan fisik dapat mencapai klimaks, sementara lainnya tidak begitu mudah merasakan orgasme hanya dengan kontak fisik dan mesti melibatkan rangsangan psikologis. Levin dan Berlo juga menambahkan argumen mereka tentang orgasme bahwa kesadaran tidak melulu dibutuhkan untuk menciptakan orgasme karena bahkan orang yang tertidur pun dapat merasakannya.

Di satu sisi, memang benar kemunculan orgasme melibatkan banyak faktor mental dan fisik. Namun di lain sisi, pada kasus-kasus hubungan seks tanpa-persetujuan yang melibatkan ancaman dan kekerasan, faktor-faktor yang mengontrol orgasme tersebut bisa tidak berlaku. Para perempuan yang mudah sekali terangsang misalnya, dalam kondisi terintimidasi pun dapat mengeluarkan cairan vagina, bahkan mencapai orgasme.

Infografik Perkosaan

Sehubungan dengan munculnya cairan vagina ini, Levin dan Berlo menyatakan ada mekanisme otonom dalam tubuh perempuan korban perkosaan yang mengaktivasi peningkatan aliran darah di area genital. Peningkatan aliran darah inilah yang memicu lubrikasi.

Dalam pandangan mereka, lubrikasi yang terjadi pada kejadian perkosaan merupakan bentuk pertahanan diri dari rasa sakit saat penetrasi dilakukan pelaku. Dapat dikatakan bahwa rangsangan genital yang memicu lubrikasi dan orgasme mungkin terjadi kepada perempuan sekalipun tidak ada rangsangan seksual pada sentral (otak) secara sadar.

Studi tentang orgasme pada korban-korban perkosaan yang dilakukan Levin dan Berlo dikuatkan dengan testimoni-testimoni segelintir tenaga medis yang pernah mendapat laporan tak lazim dari pasien-pasien korban perkosaan. Tiga tenaga medis menyatakan pernah mendapat kesaksian korban-korban perkosaan yang mengalami orgasme saat kekerasan seksual itu menimpa mereka.

Salah satu perawat senior di salah satu klinik konsultasi seksual dan relasi perkawinan di Inggris juga menyatakan bahwa 1 dari 20 perempuan yang datang ke tempatnya bekerja mengaku mengalami orgasme saat dipaksa berhubungan seks.

Meskipun penelitian Levin dan Berlo telah menawarkan pandangan alternatif tentang orgasme dan perkosaan, perjalanan panjang untuk menggeser anggapan dominan, stigmatisasi, dan penyalahan korban masih harus ditempuh. Hambatan kembali lagi kepada pembuktian karena sangat sedikit kasus perkosaan melibatkan saksi dan sangat tinggi kecenderungan korban untuk tidak melaporkan kejadian sesegera mungkin, bisa karena trauma atau rasa malu yang sangat besar.

Di ujung tulisannya, Levin dan Berlo mengungkapkan, bila ketidakberdayaan yang dirasakan korban tidak bisa dibuktikan, pelaku perkosaan bisa memanfaatkan ketidakmampuan korban untuk menolak hubungan seks paksa sebagai suatu bukti persetujuan melakukan hal tersebut.

Baca juga artikel terkait SEKSUALITAS atau tulisan lainnya dari Patresia Kirnandita

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Patresia Kirnandita
Penulis: Patresia Kirnandita
Editor: Maulida Sri Handayani